Skip to main content

[Review Film]: "Midsommar Tak Sehoror yang Dikata Orang"


Judul: Midsommar
Genre: drama, thriller, mystery
Sutradara: Ari Aster
Penulis: Ari Aster
Pemeran: Florence Pugh, Jack Reynor, William Jackson Harper, Vilhelm Blomgren, Will Poulter, Isabelle Grill
Negara: Amerika Serikat, Swedia
Tahun rilis: 2019

"Midsommar" (2019) tak semenakjubkan apa kata orang-orang. Memang alasan kita pergi menonton film tak seharusnya cukup berdasarkan "konon katanya film itu bagus", tapi harus benar-benar murni karena kita ingin nonton saja (faktor-faktor lain yang kita pikirkan silakan saja dipilih semau kita). Maksudku, menontonlah tanpa dasar "paksaan". Nah, kebetulan aku tak berharap apa-apa pada "Midsommar" ini, dan setelah filmnya kelar kutonton, aku juga tak mendapat apa-apa, kecuali merasa waktuku terbuang sia-sia.

"Midsommar" mengisahkan sekelompok mahasiswa asal Amerika Serikat yang melakukan kunjungan ke sebuah desa terpencil di Swedia, Hårga. Salah satu dari empat bersahabat itulah yang berasal dari desa tersebut, yakni Pelle. Christian, seorang mahasiswa antropologi, salah satu dari empat bersahabat ini, terpaksa mengajak serta pacarnya, Dani, demi memperbaiki hubungan mereka yang sempat renggang karena peristiwa mengerikan di keluarga Dani terjadi belum lama itu; adik Dani bunuh diri setelah menghabisi kedua orang tua mereka.

Christian memang tak cukup peka untuk membaca perempuan. Hanya dengan mengajak serta Dani ke Swedia, Christian mengira usahanya untuk tak menceritakan rencana kepergian bersama teman-temannya tak membuat pacarnya tersebut semakin depresi. Di luar dugaan, meski kedua temannya, Josh dan Mark, tak terlalu senang kalau Dani ikut, Pelle justru terlihat bersemangat.

Di desa Hårga, saat itu akan digelar perayaan pertengahan musim panas yang dirayakan setiap 90 tahun sekali oleh seluruh anggota keluarga Pelle. Ternyata, anggota "keluarga"-nya adalah para penganut kepercayaan tertentu yang bertahan selama berabad-abad. Sebuah ritual di awal kedatangan mereka membuat Dani dan yang lain shock; ritual itu melibatkan dua orang tetua yang menjatuhkan diri dari atas sebuah tebing untuk menghilangkan nyawa mereka sendiri.

Dani, Christian, dan kawan-kawan jelas tak bisa pergi dari situ. Pelle mencoba menahan mereka dan memberi pengertian tentang kepercayaan yang telah lama "keluarga"-nya anut. Mereka memang tetap bertahan di sana. Dan, mereka juga tak akan pernah pergi meninggalkan tempat itu.

Sepanjang film, yang menurutku dibuat terlalu bertele-tele hanya untuk tiba di poin "membuat penonton merinding", aku merasa sangat mengantuk dan bosan. Bahkan ketika tiba di poin yang "mungkin saja dimaksudkan untuk membuatku merinding", aku malah tak bisa terpukau. Perlu diketahui, saat menonton ini, aku benar-benar mencoba untuk fokus dan mencermati setiap dialog dan pergerakan gambar serta tentu saja ekspresi para pemain yang berakting. Hanya karena ucapan beberapa teman yang bilang ini film paling mengerikan yang pernah mereka tonton sajalah, aku mencoba untuk bersabar. Sayangnya kesabaranku tak kunjung berbuah manis.

Ya, memang visual effect di film ini bagus. Naskah yang ditulis juga tak bisa dibilang buruk. Sinematografi jelas mumpuni. Tata cahaya dan artistik pun sangat baik. Hanya saja, ada yang kurang di sini. Seperti sebuah film yang belum kelar atau belum matang, tapi buru-buru disajikan. Dan pula, cerita semacam ini sudah tak sekali-dua kali dibuat sebagai film sejak jauh sebelum ini. 

Aku tak bisa terpukau dan memuji "Midsommar" seperti halnya teman-temanku yang (dengan terpaksa dan mohon maaf) kusebut kurang "kaya" tontonan filmnya. Film-film sejenis yang pernah kutonton bisa ditemui di beberapa karya Alejandro Jodorowsky yang sudah lama membuatku terpukau dan tetap saja membuatku terpukau meski kutonton lagi dan lagi. Dampak yang terjadi jelas berbeda, karena karya Jodorowsky membuatku terpana dan mengumpat, "Bangsat! Bagaimana mungkin orang membuat film sebagus ini di zaman ketika teknologi perfilman belum sebaik sekarang?!"

"Midsommar" (2019) tak bisa dibilang film buruk, tapi tak sebagus apa yang dibilang orang. Sejujurnya, satu-satunya yang mengobati rasa kecewaku adalah hadirnya sosok Isabelle Grill yang memerankan karakter Maja; tanpa dia yang terlihat cantik dan sekaligus "sakit", Midsommar hanya menjadi film-film lain yang mudah kulupakan bahkan sebelum 24 jam berlalu. Sayangnya, porsi kehadiran karakter Maja ini masih sangat kurang. Skor: 5 dari 10 untuk film ini.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri