Skip to main content

[Review Film]: "Menikmati Teror Perempuan Tanah Jahanam"


Judul: Perempuan Tanah Jahanam / Impetigore
Genre: Psychological horror, mystery
Sutradara: Joko Anwar
Skenario: Joko Anwar
Pemeran: Tara Basro, Aryo Bayu, Marissa Anita, Christine Hakim, Asmara Abigail, Kiki Narendra, Zidni Hakim, Faradina Mufti, Abdurrahman Arif, Mian Tiara, Teuku Rifnu Wikana
Negara: Indonesia
Tahun rilis: 2019

"Perempuan Tanah Jahanam" (2019) membuatku kembali percaya kalau film horor Indonesia tak dapat punah kengeriannya (setidaknya belum untuk bertahun-tahun ke depan) jika digarap oleh orang-orang seperti Joko Anwar. Aku pernah beranggapan, horor Indonesia tak akan bisa segar dan akan selalu "itu-itu" saja lantaran formula dan visi yang dipakai nyaris selalu sama antara film satu dan film lainnya, dari tahun ke tahun. Sejak remake "Pengabdi Setan" (2017), aku mulai percaya anggapanku itu sedikit memiliki kekeliruan. Setelah menonton "Perempuan Tanah Jahanam", sebagai pencinta film horor, aku justru mulai optimis.

"Perempuan Tanah Jahanam" (2019) mengisahkan Maya yang berjuang mati-matian di kota untuk bertahan hidup dengan pekerjaan halal. Ia berjuang bersama sahabat dekatnya, Dini. Mereka suatu kali terpaksa berhenti dari pekerjaan terakhir sebagai petugas di loket gerbang tol setelah peristiwa mengerikan nyaris membuat Maya mati; peristiwa ini, berkaitan dengan jejak masa lalu Maya di desa tempatnya berasal.

Maya tak pernah benar-benar tahu di mana desa asal keluarganya. Ia hanya ingat mulai tinggal di kota bersama seorang bibinya sejak usia lima tahun. Tak pernah ada keterangan apa-apa tentang desa atau bahkan orang tua Maya yang didapatnya dengan begitu baik, sehingga begitu peristiwa di gerbang tol itu terjadi, rasa penasaran akan masa lalunya pun meningkat.

Maya mencoba menelusuri jejak masa lalunya dan menemukan fakta bahwa dulu kedua orang tuanya mungkin adalah pasangan kaya raya; tampak dari foto mereka, rumah keluarganya di desa terlihat besar dan mewah. Terdesak kebutuhan ekonomi dan bisnis kios baju bersama Dini yang tersendat-sendat, Maya mencoba untuk mencari tahu apakah ia bisa mendapatkan warisan dari keluarganya yang kemungkinan besar kaya raya.

Apa yang Maya dan Dini temukan setelah menempuh perjalanan panjang ke desa tersebut justru tak mereka harapkan; rumah besar milik keluarga Maya yang dibiarkan terbengkalai, serta sambutan tak ramah dari para warga dan kepala desa yang juga sekaligus seorang dalang, Ki Saptadi. Ini membuat Dini ketakutan dan mendesak Maya untuk kembali pulang ke kota. Dini beranggapan kalau para warga Desa Arjosari sama sekali membenci keluarga besar orang tua Maya, yang bernama Ki Donowongso, entah apa alasannya. Karena tak ada tempat menginap, mereka terpaksa tidur di rumah milik keluarga Maya yang sudah kosong selama 20 tahun.

Sejak menuju desa ini, Maya sendiri mulai mengalami peristiwa mistis; ia beberapa kali melihat bayangan tiga gadis cilik di hutan dan sekitar rumahnya. Peristiwa itu bermula setelah luka yang ia dapatkan dari peristiwa di gerbang tol beberapa bulan sebelumnya menguak sejenis jimat dari balik kulit pahanya. Sebuah jimat yang kata seorang dosen sastra Rusia yang ia temui di sebuah bus: jimat yang dibuat oleh orang jahat untuk menjaga seseorang dari gangguan arwah.

Meski begitu, Maya tetap bersikukuh untuk setidaknya memastikan apakah rumah besar itu masih milik keluarganya atau sudah menjadi punya orang; ia harus tahu itu untuk kepastian masa depannya bersama Dini sang sahabat. Sayangnya, sebelum memastikan itu, peristiwa mengerikan menimpa Dini, yang sebetulnya mencoba melindungi Maya terkait identitas dirinya sebagai seorang bocah dari desa ini yang sempat nyaris membuatnya mati di gerbang tol. Dini mengaku sebagai sosok bernama Rahayu, yang tak lain adalah nama masa kecil yang disandang Maya. Berkat kebohongannya, ia harus celaka dan tak mungkin menemui Maya lagi sampai kapan pun.

Sejak kematian karakter Dini inilah, teka-teki satu per satu dimunculkan dan disibak dengan apik; mulai dari kenapa tak ada satu pun anak kecil di Desa Arjosari, hingga kenapa para warga di sana sengaja menolak pembangunan jalan untuk memudahkan akses orang luar jika ingin pergi ke desa mereka.

Andil Nyi Misni, ibu kandung dari Dalang Ki Saptadi, sangat besar pada perkembangan desa dan watak orang-orangnya yang misterius dan tertutup dari dunia luar selama 20 tahun terakhir semenjak kepergian Maya dan seorang bibinya ke kota. Maya sampai sejauh itu belum tahu sampai ia mendapakan bantuan dari seorang perempuan yang tengah hamil muda di desa tersebut, yang bernama Ratih. Ratih berbeda dari orang-orang desa itu; ia tak percaya tradisi-tradisi tertentu yang diimani seluruh warga serta yang digagas oleh Nyi Misni beserta sang putra.

Seluruh scenes sejak perkenalan Maya dan perempuan muda tersebut di warung nasi Ratih, dapat dibilang adalah bagian-bagian paling menegangkan, yang bahkan terus berlangsung hingga film kelar dan kita hanya diberi jeda bernapas beberapa saat saja. Ini sungguh sesuatu yang jarang kujumpai dalam film horor mana pun. Joko Anwar benar-benar sukses menjebak kita pada atmosfer "kesesatan" orang-orang desa Arjosari. Berbagai plot twists serta visual tone yang tepat untuk sebuah desa dengan seorang dalang sebagai kepala desanya menjadikan film ini lumayan meninggalkan teror di kepala.

Maya dengan segala ketidaktahuannya tentang masa lalunya, yang berusaha memperbaiki hidup dengan berharap mendapat sedikit warisan, justru menemui sesuatu yang mungkin tak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya. Kematian Ki Donowongso dan Nyai Shinta (kedua orang tua Maya), serta kematian para bayi selama puluhan tahun ternyata hanya akibat dari sebuah peristiwa yang barangkali terdengar klise: cinta terlarang. Nyi Misni dalam salah satu adegan berkata, "Kamu kesalahan yang harus aku hapus." Maya adalah kesalahan "kecil" yang memang harus ia hapus.

Bagian terbaik dari "Perempuan Tanah Jahanam" ada ketika Maya mendapati seluruh latar belakang kutukan yang menimpa desa di masa lalu berkelebatan dalam kepalanya. Aku tak sungkan memberi skor lebih dari 9 bintang untuk "Perempuan Tanah Jahanam", karena nyaris tak ada celah untuk dikritik. Hanya pada dialog-dialog tertentu yang membuatku agak terganggu, yakni kekurang-medhok-an lidah Asmara Abigail dan Aryo Bayu pada beberapa dialog, padahal di beberapa scenes lain mereka bisa berlogat selaiknya orang Jawa Timur; terutama Abigail yang di awal kemunculannya benar-benar sukses terlihat ndeso. Secara keseluruhan, aku sangat menikmati terornya.

Skor dariku untuk "Perempuan Tanah Jahanam": 9.8 dari 10.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri