Skip to main content

[Review Film]: "Kisah Luar Biasa Kiper Legenda Manchester City"

Judul: The Keeper
Genre: Biographical, drama, sport
Sutradara: Marcus H. Rosenmüller
Skenario: Marcus H. Rosenmüller, Nicholas J. Schofield
Pemeran: David Kross, Freya Mavor, John Henshaw, Harry Melling, Michael Socha, Chloe Harris, Gary Lewis
Negara: Inggris, Jerman
Tahun Rilis: 2019

"The Keeper" (2019) adalah biopic yang indah. Sensasi yang kurasa setelah menonton film ini nyaris sama dengan "The Walk" (2015). Dari kedua film tentang tokoh yang menggores sejarah penting di bidang mereka itu, kupikir biopic yang baik bukan hanya tentang "kemiripan wajah" (dari kedua film ini, kedua aktor sama sekali tak terlalu mirip dengan tokoh yang mereka perankan), melainkan juga soal kematangan naskah, detail dari masa ketika adegan-adegan itu berlangsung, serta sinematografi dan visual tone yang romantis. "The Keeper" memberikan itu, meski di awal kesannya seperti penonton tak dijanjikan sesuatu sesegar "The Walk".


"The Keeper" (2019) mengisahkan perjalanan hidup Bert Trautmann, seorang pasukan parasutis Jerman untuk Perang Dunia Kedua, yang di akhir masa perang ditangkap oleh Inggris dan menjadi tahanan di kamp Lancashire. Di kamp itu, orang-orang seperti Bert ditahan dan diinvestigasi untuk mencari tahu siapa saja di antara mereka yang melakukan kejahatan perang. Selama menunggu kepastian nasib, sebagai tahanan mereka juga diberi tugas. Tugas Bert sendiri membersihkan kotoran di toilet.


Suatu hari seorang pelatih klub bola lokal melihat penampilan bagus Bert dalam menjaga gawang ketika bermain bola bersama para tahanan lain. Dengan negosiasi yang tak terlalu rumit, Bert diperkenankan oleh Sersan Smythe bekerja pada sang pelatih, Jack Friar, sebagai buruh di toko miliknya sekaligus kiper di klubnya. Syaratnya: ia harus diantar kembali ke kamp setelah tugas-tugasnya untuk Jack Friar selesai.

Bert awalnya kerap ditolak dan kadang dilecehkan karena ia seorang prajurit Jerman. Keluarga Friar juga membencinya, kecuali Jack yang merasa nasib klubnya berada di ujung tanduk, kalau tak bisa menemukan kiper setangguh Bert untuk lolos dari zona degradasi. Saat itu hanya Jack satu-satunya orang yang sudi percaya pada Bert, meski tak dimungkiri, situasi klub yang memaksanya demikian.

Reputasi Bert kemudian justru meningkat lantaran penampilannya yang bagus dalam menjaga gawang. Pelatih klub raksasa Manchester City ketika itu, Jock Thompson, yang berburu pemain lokal berbakat, melirik kemampuan Bert dalam sebuah laga dan bermaksud untuk merekrutnya.

Sepanjang bermain di klub lokal asuhan Jack Frier, Bert memiliki hubungan spesial dengan putri sulung Friar, Margaret, meski awalnya mereka terlihat tak bakal bisa rukun. Kedekatan mereka semakin intens ketika akhirnya Bert dipanggil Jock Thompson untuk trial di Manchester City.

Masuknya Bert Trautmann di Manchester City menimbulkan gejolak amarah bagi para fans maupun pecinta sepakbola Inggris. Bagaimana tidak? Ia pasukan Jerman yang terlibat dalam perang, dan sangat mereka benci karena membunuh banyak orang.

Di antara para fans, sebuah komunitas Yahudi yang cukup berpengaruh memboikot pertandingan perdana Bert untuk City. Margaret, Jack, dan Thompson coba meyakinkan mereka bahwa Bert adalah manusia biasa yang terjebak keadaan. Perang telah usai dan setiap orang berhak untuk mendapatkan maaf. Lagi pula, semua boleh bermain bola.

Kebencian berubah menjadi cinta atas penampilan-penampilan terbaik yang Bert berikan. Lima belas tahun ia membela Manchester City dan mendapat gelar "pemain tahunan" untuk pemain asing pertama di Inggris. Ia bahkan pernah nyaris mematahkan lehernya demi memenangkan Piala FA untuk City pada 1956. Berkat momen kemenangan itulah, ia kemudian menjadi legenda klub tersebut.

Kisah Bert menampilkan bagaimana seseorang berangkat dari "zero" menuju "hero". Sebuah biopic yang apik. Bahwa setiap manusia memiliki masa lalu; kita boleh tak melupakan, tapi sejatinya semesta selalu memberi cara untuk memaafkan.

"The Keeper" (2019) berhasil menjadi romantis dan heroik tanpa berlebihan. Sosok Bert digambarkan apa adanya sebagai manusia yang memendam perasaan bersalah pada masa lalunya. Nuansa lapangan bola, tribun penonton, dan skills level para pemain pada masa itu dibuat cukup meyakinkan dalam banyak scenes. Skor 8.5 untuk film ini. Minusnya karena kurang suka dengan akting Freya Mavor sebagai Margaret.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri