Skip to main content

[Review Film]: Karakter Psikopat Paling Hebat dalam 10 Tahun Terakhir


Judul: The House That Jack Built
Sutradara: Lars von Trier
Genre:  Psychological horror
Skenario: Lars von Trier
Cerita: Jenle Hallund, Lars von Trier
Pemain: Matt Dillon, Bruno Ganz, Uma Thurman, Siobhan Fallon Hogan, Sofie Gråbøl, Riley Keough, Jeremy Davies
Tahun rilis: 2018
Negara: Denmark, Swedia, Prancis, Amerika Serikat, Inggris

"The House That Jack Built" (2018) baru sempat kutonton kurang lebih enam bulan sejak rilis pada November 2018 di Amerika Serikat, padahal jauh-jauh hari sudah kusiapkan diri untuk menontonnya. Ternyata film ini jauh melebihi ekspektasiku. 


Menurutku, ini film Lars Von Trier terbaik kedua setelah "Dogville" (2003). Sutradara asal Denmark yang kerap meneror dengan sudut pengambilan gambar dan dialog-dialognya yang bernyawa dan kuat ini, kali ini tidak bermain terlalu vulgar; tercatat hanya ada satu adegan "buka baju" yang biasanya kerap kita jumpai di film-film Von Trier sebelumnya. Barangkali inilah film Von Trier yang paling "friendly" untuk penikmat bioskop umumnya (selain "Dancer in the Dark" (2000)--kalau kamu tahu maksudku), namun sekaligus paling padat dan kaya.

"The House That Jack Built" mengisahkan seorang insinyur psikopat penyendiri bernama Jack yang mengidap OCD (obsessive compulsive disorder); Jack selalu terobsesi untuk membersihkan segala benda sampai dia benar-benar yakin tidak ada sepercik pun noda/kotoran yang tersisa di TKP (tempat kejadian perkara).

Dalam salah satu dialog, tokoh Jack dicap sangat konyol. Bagaimana mungkin seorang pembunuh mengidap OCD hingga harus membersihkan bercak darah korban (atau yang dikiranya masih ternoda bercak darah) secara berulang-ulang?

Film ini dibagi dalam lima episode pembunuhan yang dilakukan Jack dalam periode 12 tahun. Korbannya ada puluhan, tetapi lima peristiwa itu sajalah yang paling membekas di kepalanya. Kelima korban tersebut, setelah difoto di TKP, disimpan dalam ruang pendingin miliknya selama bertahun-tahun. Fotonya? Tentu saja untuk dia simpan.

Jack bermimpi ingin membangun rumah, tapi selalu gagal. Sepanjang perjalanan film, di sela adegan-adegan dalam lima episode tadi, Jack digambarkan juga tengah mengobrol dengan sesosok malaikat (atau setan?) atau bagian dari dirinya sendiri yang tersembunyi dan menampakkan diri dengan wujud lelaki tua bernama Verge, yang di satu titik malah mengingatkanku pada sosok Virgil. Kepada Verge, Jack mengisahkan sudut pandangnya tentang kematian, aksi-aksinya, para korban, dan detail-detail yang membuat penonton melongo.

Lars Von Trier agaknya meledek film-film psikopat sejenis yang digarap terlalu biasa dan seringnya tanpa mendalami karakter si pembunuh. Inilah yang berhasil dia lakukan pada Jack. Sosok Jack benar-benar seorang psikopat paling sempurna dari ratusan film dengan tokoh psikopat yang pernah kutonton. Barangkali yang mampu nyaris menyaingi kedalaman karakter Jack dalam film-film serupa sepuluh tahun terakhir ini hanyalah karakter utama dalam film Modus Anomali (2012) garapan sutradara Joko Anwar (yang diperankan Rio Dewanto) dan karakter Martin Lomax (diperankan oleh Laurence R. Harvey) dalam film The Human Centipede 2 (2011), serta karakter Jerry (diperankan oleh Ryan Reynolds) dalam film The Voices (2014). Sebelum kamu terjebak dan menyesal, kusampaikan dulu di sini betapa sebaiknya kamu jangan nonton trilogi The Human Centipede yang kontroversial dan dilarang di banyak negara itu.

Bagian terbaik dari "The House That Jack Built" bagiku saat Jack pergi berpiknik bersama istri dan kedua anaknya dengan akhir hari yang gila. Terbaik kedua adalah saat dia gotong kembali mayat korbannya ke TKP untuk mendapatkan hasil foto yang bagus. Ketiga, saat rumah impian itu akhirnya berhasil Jack rampungkan.

Penasaran? Tonton saja.

Nilai dariku 9/10.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri