Skip to main content

Bahagiamu adalah Bahagiamu, Belum Tentu Milik Orang Lain

Gambar dari pixabay.com

    Sebagian orang lebih suka menyendiri dan menunda pernikahan. Bahkan beberapa orang merasa menikah bukan sesuatu yang perlu terjadi. Tak semua orang menganggap waktu untuk menikah adalah yang utama, tapi bukan berarti orang-orang ini sama sekali tidak butuh atau tidak tahu cinta.
    Cinta itu sepotong bagian dari bangunan hidup seorang individu. Bayangkan ada manusia bernama A hidup sebagai bingkai puzzle dengan potongan cinta yang begitu kecil dengan bentuk segitiga, lalu seorang lain (sebut saja B) juga hidup sebagai bingkai puzzle yang juga mempunyai potongan cinta di dalamnya.
    Apakah bentuk potongan cinta dalam bingkai B sama persis dengan milik A? Tidak. Boleh jadi bentuk cinta di bingkai B berupa lingkaran dan ukurannya cukup besar hingga menduduki nyaris separuh dari seluruh jatah tempat dalam bingkai puzzle-nya.
    B boleh jadi merasa bangga dengan percintaan (atau pernikahan) yang dapat segera terjadi padanya, yang kemudian dijalaninya amat lama; anggap lebih dari separuh masa hidupnya. Tapi, apakah kebanggaan (juga kebahagiaan yang mungkin didapat) si B bisa berlaku sama sifatnya di mata si A? Belum tentu.
    A boleh jadi hanya akan tertawa geli demi melihat orang-orang menertawakannya karena dianggap sudah terlalu tua tapi tak kunjung menikah. Dalam hati, A boleh jadi sedang berkata, "Tahu apa kalian soal kebahagiaanku?"
    Suatu hari saya dicurhati seorang teman tentang lingkungan sekitarnya yang terus mendesak dirinya untuk segera menikah. Dia begitu sedih dan tertekan, dan demi menyudahi perasaan tak enak lantaran ditekan itu, dia rela menikah dengan siapa pun yang mau dengannya.
    Ya, siapa pun.
    Dia bahkan tak lagi peduli pada latar belakang orang yang akan menjadi teman sehidup sematinya tersebut dan tak mempersoalkan watak-watak buruk yang mungkin dimiliki calonnya nanti.
    Saya bilang, "Buat apa kamu menikah kalau kamu tidak nyaman dari awal?"
    "Aku tidak nyaman dengan keadaanku sekarang," katanya.
    "Untuk saat ini, apakah status belum-menikah membuatmu baik-baik saja andai mendadak Tuhan memindahkanmu ke suatu tempat yang sangat jauh, benar-benar jauh, dari jangkauan saudara, teman-teman, dan tetanggamu yang usil tadi, hingga kamu pun tinggal di lingkungan yang tak pernah memaksakan pernikahan pada usia tertentu bagi seseorang?"
    Sampai di sini, dia bilang, "Aku akan tetap baik-baik saja, kalau itu yang terjadi."
    "Berarti persoalannya ada di lingkunganmu, bukan kamu."
    Apakah teman saya itu harus pindah ke luar negeri terlebih dahulu (kalau perlu ke kutub selatan sana atau mungkin ke planet lain sekalian) agar hidupnya bisa nyaman tanpa desakan untuk segera menikah, padahal dia tidak merasa perlu untuk buru-buru menikah?
    Persoalan menikah jelas adalah urusan personal yang tak bisa dan tak boleh kita terapkan standar diri sendiri pada orang lain. Yang menjalani siapa dan yang ribut kok siapa?
    Saya pernah bercanda di depan beberapa teman soal orang-orang usil yang suka bertanya "kapan nikah" tapi tak mau memberi bantuan modal atau mencarikan jodoh, misal.
    Saya bilang, "Kalau memang tidak bantu, berarti mereka cuma ngeledek dong?"
    Seorang teman menyahut, "Mereka bukannya meledek, tapi peduli."
    "Peduli untuk apa?"
    "Agar teman-teman yang belum menikah segera bahagia dengan pernikahannya."
    Saya jelas tertawa. See? Orang suka menetapkan jenis kebahagiaannya sendiri dan menganggapnya juga berlaku pada diri orang lain seenak jidat. Apa benar orang-orang macam ini peduli? Bagaimana kalau semisal si X, teman yang tak kunjung menikah itu, justru bahagia 100% dengan hidupnya yang selama ini dicap oleh teman-temannya sendiri sebagai hidup yang menyedihkan karena belum juga ada suami/istri? Bagaimana kalau nanti X malah menderita tak keruan setelah menikah, seperti yang dialami oleh sebagian orang di luar sana?
    Bahagianya seseorang bukanlah apakah dia telah menikah atau belum. Seseorang bisa disebut bahagia jika dia nyaman, baik-baik saja, dan semangat mengejar mimpi dan harapan.
    Bro dan Sist, hidup ini bukan hanya soal menikah saja. Kamu, saya, dia, mereka, dan semua orang di dunia adalah individu-individu dengan ciri khas dan keistimewaan masing-masing. Kita adalah bingkai-bingkai puzzle dengan potongan cinta beragam bentuk dan ukuran.
    Bingkaimu adalah bingkaimu, begitu pula bingkaiku adalah bingkaiku, dan bingkai mereka adalah bingkai mereka. Jangan paksakan potongan "cinta"-mu yang besar dan mencolok itu untuk dijejalkan ke dalam spot kecil di bingkai mereka yang kamu anggap kalah bahagia darimu, padahal boleh jadi, diam-diam, mereka justru jauh lebih bahagia darimu tanpa kamu sadari. Andai di dunia ini digelar "lomba-merasa-paling-bahagia", saya yakin siapa pun dapat meraih juara, bahkan mereka yang tak pernah menemui cinta dalam hidupnya.
   
Gempol, 2019

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri