Skip to main content

[Cerpen]: "Menyembelih Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 24 Desember 2017)
 
    Suatu hari dalam sebuah mimpi, seorang kekasih menyembelih Kenangan sehingga kenangan meronta-ronta sebelum kejang, lalu kepalanya menggelinding ke kolong meja. Kau tahu bentuk Kenangan? Ia serupa makhluk bawah tanah, namun lebih seram dan menjijikkan. Lebih buruk dari iblis jahanam.
    Ketika Kenangan berjaya—sebelum disembelih dahulu kala—ia suka berjoget dan bikin ribut di ruang tengah. Sang kekasih, yang mendengkur di dunia nyata, mendelik tak keruan di alam mimpi sembari membawa pedang.
    "He, Kenangan!" pekiknya penuh murka. "Kau harus mati sekarang!"
    Tapi Kenangan licik, sehingga sulit dibunuh. Ia menggelinjang dan menjelma apa saja. Benar-benar busuk! Kadang serupa bocah mungil tanpa dosa. Kadang bayi kucing yang mengeong sehingga kekasih—yang tekadnya bulat mau menyembelih—tidak tega, lalu masuk kamar dan menutup kuping dengan bantal.

    Si kekasih sering tidur dalam mimpinya jika dalam kondisi sebal begini, sehingga diriku bingung dan bertanya: Bagaimana mungkin seseorang tidur di tidurnya? Atau: bagaimana bisa tidur di dunia mimpi? Apakah kalau kita tidur di dunia mimpi, maka Tuhan memberi kita alam mimpi dalam wujud dunia fana?
    Entahlah.
    Kau tidak usah mencari tahu. Kau cukup tahu, bahwa Kenangan di mata seorang kekasih sangat menjengkelkan. Tidak ada sesuatu pun di bumi ini yang ingin dibunuh selain Kenangan. Deskripsi fisik Kenangan di luar radius jangkau akal manusia normal sepertimu, juga sepertiku, yang jika meneror mimpi kita tiap malam, maka kita pahami keputusan si kekasih.
    Kenangan dapat menjadi sesuatu yang manis dan lucu, tetapi kau suka bertempur dalam pertaruhan nyawa penuh gengsi—walau kau pengecut—jika Kenangan menjelma menjadi ular berkepala banyak seperti dalam film Hercules, atau lelaki berbadan sebesar gorila, bermata satu, dengan kulit botak penuh lendir yang sangat amis.
    Bisa kau bayangkan wujud terseram apa pun, terserah kau saja, sebab Kenangan di kasus ini—atau tepatnya di mimpi seorang kekasih—bisa menjelma jadi apa saja tanpa toleransi. Ia boleh jadi menggigit dan mengisap darah dari lehermu, tetapi ia mungkin tiba-tiba menjadi gadis manis yang menciumimu tanpa henti dan malu di depan banyak orang. Kau bayangkan betapa luas dan beragam imajinasi manusia dapat dijangkau dan ditiru oleh Kenangan laknat. Ilmu mahal leluhur iblis didapatnya dari pertapaan panjang seribu masa dalam otak manusia-manusia lemah.
    Sayangnya si kekasih tak mau disebut lemah. Ia beralasan: teror Kenangan adalah bagian dari takdirnya, karena ia sudah ingin membunuh makhluk buruk rupa itu sedari dulu. Dengan datangnya teror, barangkali ia mampu lebih mudah membunuhnya tanpa harus dianggap gila. Kau tahu, dalam alam mimpi tidak ada yang tidak mungkin.
    Aku kira jangan-jangan Tuhan mencatat bahwa si kekasih ini butuh ketenangan sehingga Kenangan itu harus mati dengan cara terburuk: disembelih! Maka dibentuklah sebuah tim khusus untuk mewujudkan tujuan mulia: membunuh kenangan agar teror masa lalu tidak lagi hadir.
***
    Suatu hari di suatu mimpi, alam raya bersatu membantu seorang kekasih bertempur melawan kenangannya sendiri. Mereka berduel dengan sengit. Jurang curam batas surga dan neraka terbentang. Ada jembatan selebar rambut terbelah tujuh, sehingga udara panas menggosongkan sekeliling. Kau bayangkan seolah-olah keduanya tokoh dalam game dua dimensi, yang bertanding dalam lingkungan panas dan memiliki jurus andalan masing-masing.
    Si kekasih punya jurus pedang maut. Dengan itu, nanti ia menyembelih kenangan. Sedang si Kenangan, jurusnya berubah menjadi apa saja—seperti yang kusebut di atas, sehingga si lawan menjadi tidak tega hanya karena saat itu kenangan menjelmakan diri serupa nenek-nenek tukang ngemis di pertigaan, misalnya.
    Tunggu dulu!
    Kurasa itu berlebihan. Kita tidak boleh senang-senang di atas penderitaan seorang kekasih yang ingin menyembelih kenangannya. Jangan berbuat tidak senonoh dengan menganggap pertempuran ini serupa game, lalu kupilih si kekasih sebagai tokohku, dan kaupilih kenangan itu sebagai tokohmu, dan kita pun bertarung dengan sengit lewat dua unit joystick sambil sesekali mengumpat dan mengudap semangkuk kacang goreng di meja. Ya Tuhan, ampuni aku!
    Sebaiknya kita anggap si kekasih bertarung dengan kenangannya di ruang tengah. Sederhana dan umum. Ada meja TV, ada lemari, ada karpet, ada kursi, segala perabotan rumah tangga. Haruskah kuperinci?
    Mungkin letak kesalahanku dalam cerita ini adalah: membocorkan ending yang manis dari peperangan besar di alam mimpi, yaitu disembelihnya si Kenangan sehingga kepalanya menggelinding ke kolong meja makan.
    "Kau tak perlu menyesal," ucap si kekasih tiba-tiba. "Bila tiba saatnya kusembelih kenangan itu, kau kuberi upah karena menghiburku dengan janji masa depan gemilang!"
    Hahaha. Kau dengar? Ya, barusan suara dari dunia mimpi pada suatu hari. Suara dari seorang kekasih yang membenci dan melaknat kenangannya sendiri.
    Entah apa yang terjadi. Kukira masa lalu sesuatu yang buruk bagi kekasih itu, lalu ia tak tahan membawanya ke mana-mana seumur hidup, sehingga diputuskan bahwa kenangan itu harus mati. Ia ingin hidup tenang tanpa embel-embel masa lalu.
    Kau pasti paham bahwa kenangan, bagaimanapun kasusnya, selalu melekat di otak manusia. Kenangan-kenangan tertentu tidak bisa lepas sampai mati, kecuali yang tidak berarti, bahkan barangkali sampai kita dibawa ke kubur, digiring ke Padang Mahsyar usai kiamat. Semua misteri. Dan yang jelas: kenangan tidak mungkin hilang selama kau waras dan jantungmu berdegup dan kau masih bisa membedakan kelamin manusia!
    Alangkah tak masuk akal memang, tapi—sekali lagi—tak ada yang tak mungkin di alam mimpi.
    Pada hari bersejarah itu, seorang kekasih mengangkat pedang tinggi-tinggi dan si Kenangan menggelinjang dalam wujud baru sebagai seorang berkepala plontos berkulit pucat. Si Kenangan meringis dan memamerkan gigi geligi penuh lumuran darah. Tapi sang kekasih tiak takut. Ia melompat, menerjang, menindih Kenangan yang menjijikkan dan amis, lantas menggoroknya sampai mampus.
    Ketika kepala Kenangan menggelinding ke kolong meja, si kekasih tertawa penuh kemenangan. Kepala itu berhenti di sana dan menjadi santapan tikus yang gemuknya menyamai anak kucing. Darah membanjir, tetapi si kekasih tidak sudi membersihkan bekas pertempuran. Ia jilati saja pedang dan ubin yang begitu manis dan lengket di bibir oleh karena tumpahan darah Kenangan. Jangan kaget. Dalam mimpi, segalanya berbalik seratus delapan puluh derajat.
    Merayakan kemenangan, sang kekasih mau mengundang kita guna membikin acara syukuran. Ia bilang padaku agar menyiapkan suguhan nasi kuning plus lauk pauk paling enak sejagat raya sebanyak puluhan porsi, sesuai jumlah penghuni kompleks perumahan ini. Lalu kepadamu ia minta dipanggilkan seorang ustaz guna mendoakan dirinya yang lepas dari kenangan jahat agar tidak lagi dilingkupi hal serupa sampai tua.
    "Bagaimana caranya? Dia 'kan cuma di dalam mimpi?"
    "Sesudah menyembelih kenangan, ia tidur di mimpinya itu, dan kembali bermimpi dalam situasi fana."
    "Aku sungguh tidak mengerti maksudmu! Apakah ia sekarang ada di dunia nyata?"
***
    Seorang wanita mengajak pemuda temannya main ke rumah. Di sana sangat gelap, padahal listrik tidak mati. Si pemuda berkali-kali menyapu wajahnya yang gatal. Suara dengung sayap-sayap mungil. Aroma sangar tak terlacak. Segalanya tiba-tiba ganjil!
    Si wanita santai berkata: sebaiknya mereka duduk di ruang tamu, sebab di ruang tengah barusan digelar perang antara masa lalu dan masa depan. Si pemuda tentu saja heran, karena merasa ada sesuatu yang tidak asing.
    "Maksudmu pertempuran antara seorang kekasih dan Kenangan?" tanya si pemuda.
    "Ya."
    "Bukankah itu ceritamu?"
    "Ya."
    "Shit!"
    Kalang kabut, si pemuda mencari saklar. Ketika terang benderang menyerbu ruang, ia terjajar mundur dan muntah-muntah saat itu juga. Sebutir kepala tergeletak di kolong meja. Dua tikus berebut bola mata. Kenangan mati dengan tubuh penuh belatung dan si wanita tertawa cekikikan. Besok, orang-orang tahu, sejatinya tidak ada yang disembelih di otak wanita itu—termasuk dalam alam mimpi sekalipun—kecuali akal sehatnya. [ ]
   
    Gempol, 2015-2017
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri