(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 5 November 2017)
Cukup lama juga Brenda menjadi kolektor gigi. Ia
mengaku mendapat banyak gigi ketika masa perang masih berlangsung. Itu
bertahun-tahun lalu, ketika dia masih sangat muda, karena sekarang kami sudah
menyebutnya bau tanah.
Orang-orang tidak suka Brenda. Dari dulu hampir
selalu begitu. Brenda penganut aliran sesat, Brenda si pemuja setan, dan
lain-lain. Tuduhan serius tidak pernah Brenda masukkan hati. Sejak muda sudah
tidak punya banyak teman, dan saat tubuhnya menua, kurasa ia tidak lagi
memiliki teman, kecuali aku.
"Mereka hanya tidak betul-betul
mengerti," katanya selalu, ketika ada yang cukup dekat dengannya
mengingatkan akan kebencian semua orang terhadapnya. Brenda tidak pernah cemas
memikirkan itu.
Ada masa ketika Brenda memiliki dua atau tiga
orang pengingat, yang artinya dia masih memiliki setidaknya tiga orang yang
dianggap dekat dengannya. Aku masih amat muda waktu itu, dan tentu saja aku
tidak perlu menghabiskan waktu mampir ke rumah janda itu demi mengingatkannya
soal kebencian.
Ketika semua orang mati, yang kemudian hanya aku
tersisa untuk kehidupan sosok Brenda sang kolektor gigi, tugas-tugas
mengingatkan jatuh ke tanganku. Tugas ini tidak terlalu penting sebenarnya, dan
bahkan Brenda sendiri tidak membuat semacam tulisan agar seseorang bertugas mengingatkannya,
kemudian menyiapkan bayaran uang dengan jumlah tertentu untuk itu.
"Terserah saja kalian maunya apa. Datanglah
sesuka hati ke rumahku dan bicaralah apa yang menurut kalian perlu."
Kurasa kalimat Brenda yang satu itu dianggap sebagai izin bagi siapa pun untuk
dapat mengabdi padanya dengan ikhlas. Tentu saja Brenda tak pikun, dan ia tahu
bagaimana setiap orang di kawasan itu membencinya karena gigi-gigi manusia
tidak selayaknya dikoleksi. Tentu saja, "mengabdi" di mata
orang-orang yang juga menyukai Brenda, seperti halnya diriku, berarti adalah
membuatnya selalu ingat dan waspada.
Brenda bukan berhenti setelah tahu orang pertama
mengumumkan kebencian pada aktivitas sang kolektor gigi. Jasad-jasad tak
dikenal sering ditemukan semasa perang. Di sekitar situ ada banyak sekali
pendatang yang tidak jelas identitasnya, dan tentunya tak jelas pula siapa
keluarga mereka. Para imigran gelap, yang takut ketahuan kedatangan mereka
adalah tindakan ilegal, merasa cukup dengan hanya berdoa saja, jika memang di
keluarga mereka ada yang tewas terbunuh dan ditemukan di jalan, sebelum
kemudian masuk ke kamar jenazah. Brenda punya hubungan spesial dengan pengurus
jenazah di salah satu rumah sakit, sehingga dengan begitu, ia mudah mendapat
beberapa bilah gigi dari seonggok mayat yang keluarganya takut mendapat masalah
karena telah melanggar hukum perbatasan.
Brenda tidak ingin berhenti, dan malah membuka
museum gigi, dengan sejarahnya masing-masing, dan ditulis oleh tangannya yang
lembut, dan setiap tulisan dipajang di bawah sebilah gigi yang sudah
dibersihkan dan ditata di suatu kotak dari kaca. Setiap bilah gigi memiliki
cerita menarik, dan semua itu seakan-akan pernah terjadi di masa lalu.
"Seperti gigi yang ini," kata Brenda
pada salah satu pengunjung. "Seorang jendral pernah nyaris mematahkannya,
tapi si pemilik gigi memakai pelindung, sehingga ia bisa kabur bersama giginya.
Hari ini, semua orang tahu bahwa suatu ketika gigi ini nyaris hilang ke muka
bumi kalau tidak pemiliknya terlalu cerdas. Pada saat itu, ia menantang seorang
jendral demi cinta gadis penjual kue."
Setelah menjelaskan itu, Brenda menunjukkan
sejarah tertulis soal sebilah gigi. Dia membuatnya seolah nyata dan beberapa
orang percaya. Aku sendiri tidak percaya dan mengira Brenda tukang dongeng
andal. Suatu hari ia harus menulis novel, kataku pada salah satu orang
terdekatnya. Suatu hari ia memang harus menulis sesuatu agar dapat lebih banyak
uang ketimbang sekadar menjadi kolektor yang membuka museum gigi.
Yang kudengar setelah itu adalah sejarah Brenda
sendiri. Bahwa ia memang dapat membaca sejarah benda-benda. Orang terdekat
Brenda tidak terima kuanggap remeh cerita-cerita setiap gigi yang dia tulis,
dan mereka berkata dengan nada yang sangat tak wajar, "Sebaiknya kamu
pergi saja, atau sekalian bunuh Brenda diam-diam. Kami tidak akan
membiarkanmu!"
Sejak itu aku tahu, Brenda bukan orang
sembarangan. Ia membuktikan itu dengan rasa sayangnya kepadaku. Ia mengajakku
masuk ke ruangan pribadinya, yang mana tak setiap orang kepercayaan mendapat
kepercayaan ini. Bahkan, mereka yang cukup sering mengingatkan Brenda akan
kebencian di luar sana yang sewaktu-waktu bisa membunuh sang kolektor, belum
tentu mendapat kepercayaan ini.
Brenda mengisahkan padaku sejarah benda-benda di
ruangan pribadinya. Aku tidak bisa membantah kebenaran yang ia ungkap dari
sepatu bututku. Bahkan, kancing bajuku yang tidak berarti pun, ia tahu bukan
berasal dari baju yang kukenakan.
"Aku tahu dulu kamu mencurinya dari rumah
tukang jahit, yang pernah meledek ayahmu tukang main perempuan. Karena kamu
tersinggung, kamu curi banyak sekali kancing baju. Dan umurmu waktu itu masih
enam tahun. Bayangkan, bocah enam tahun sudah tahu konsep dendam. Kamu
benar-benar istimewa."
Kedekatanku dengan Brenda pun terjalin. Itu
terjadi bukan karena aku tahu Brenda memang mampu menelusuri sejarah
benda-benda, terutama gigi yang dia koleksi, tetapi juga karena kebencian di
luar mulai membahayakan diriku. Orang-orang kepercayaan yang biasa menjadi
pengingat, mati satu per satu. Aku masih terlalu muda dan tidak ada yang
menganggapku penting, tapi Brenda tahu aku mungkin satu-satunya pewaris yang
tepat.
Brenda mengaku punya suatu cara untuk melindungi
diri. Jika setiap warga di desa dan bahkan seluruh kota dapat membunuh
orang-orang terdekat, mereka tidak akan bisa membunuh Brenda sendiri. Aku tidak
tahu bagaimana bisa begitu, sampai kudengar ada yang tidak beres di belakang
malam itu. Brenda duduk di meja dapur sambil menunduk dan wajahnya tampak
sangat biru.
Brenda menyuruhku bersembunyi, dan kupatuhi
sarannya. Aku bersembunyi dalam ruang bawah tanah selama hampir dua puluh empat
jam. Pada saat itu perang sudah usai selama setahun lebih, dan museum yang
Brenda buka sudah beroperasi selama nyaris setahun, tetapi aku merasa
getaran-getaran dahsyat di atas mengakhiri segalanya. Aku pikir, Brenda telah
tewas. Mungkin museum yang ia dirikan tepat di samping rumahnya sudah roboh dan
tidak ada lagi yang memberiku tempat tinggal.
Aku keluar setelah kondisi mulai tenang, dan
ketakutan tak dapat lagi mencegahku menghirup udara segar. Di sana kutemukan
Brenda di rumah dan dapurnya yang masih utuh. Seluruh desa hancur lebur dan
rata dengan tanah. Aku tidak tahu apa yang Brenda lakukan, tapi ia bilang,
"Ini demi siapa pun yang percaya sejarah yang paling tak berarti,
sebenarnya adalah sejarah paling berarti."
Brenda mengeluarkan beberapa bilah gigi dari
orang-orang yang menentangnya. Ia memberikanku sebagai warisan terakhir, sebab
menurutnya, aku bisa menguak sejarah paling berarti di tempat lain.
"Lalu, bagaimana denganmu, Brenda?"
"Di sini aman. Tidak ada lagi yang
membenciku, dan tidak ada juga yang berniat merobohkan tempat ini. Tentu saja
museumku masih buka bagi para pendatang dari kota yang mau belajar sejarah.
Ingatlah, gigi adalah unsur penting dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya gigi,
manusia tidak akan bisa menikmati hidup. Percayalah, karena kalau kamu sudah
tua, kamu akan membuktikannya."
Brenda lantas menjelaskan bahwa mereka yang membencinya,
yang menuduhnya sebagai penganut aliran sesat, pemuja setan, dan entah apalah,
hanya orang-orang yang tidak pernah benar-benar bisa menghargai kehadiran gigi.
"Sesuatu yang dianggap kecil, bukan berarti
tidak bisa jadi berarti, Nak."
Sejak itu aku tinggal di kota lain, dan sesekali
mampir ke tempat Brenda yang aku tahu tidak berkembang seperti yang Brenda
harapkan. Museumnya ia tutup di tahun ke dua belas, dan rumahnya diubah menjadi
peternakan lebah sejak hari penutupan itu. Di museum yang kudirikan, pada
akhirnya seluruh gigi dan sejarah mereka masing-masing menetap hingga kini.
Brenda dapat membaca waktu, tetapi tidak mampu
mengontrol takdir. Segala yang terjadi sepenuhnya berada di luar kuasa Brenda.
Sebab, ia memang bukan Tuhan. Orang yang dahulu membencinya juga tidak dapat
mengontrol takdir. Sejarah, betapapun kecil di mata manusia, toh tidak akan
pernah benar-benar hilang. [ ]
Gempol, 2016 - 2017