(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 3 November 2017)
Ada sejuta hal yang membuat
seseorang memutuskan lari dari rumah dan kampung halamannya dan tak pernah
kembali, tetapi jika saja alasan-alasan itu berupa batu-batu kerikil, aku hanya
akan memungutnya satu, dan batu kerikil tersebut tidak lebih menarik ketimbang
yang lain.
Aku lari dari rumah dengan
alasan sederhana: aku bosan dengan kehidupanku. Aku yakin di luar sana ada
banyak peluang yang memungkinkanku tumbuh menjadi sosok yang lain dari ibu atau
ayahku. Aku yakin kehidupanku tersita di suatu tempat yang jauh dari kampung
halamanku, bahkan sesaat setelah Tuhan menitipkan ruhku ke janin yang mulai
siap di rahim ibuku.
Aku tidak tahu dari mana
pikiran ini datang, tetapi aku percaya tempat ini bukanlah tempatku dan aku
tidak akan dapat mencapainya dengan hanya duduk pasrah. Akhirnya, aku kabur
pada suatu malam dengan membawa barang-barang seadanya.
Aku pergi dan tidak
kembali, demikian isi
surat yang kutinggalkan di meja dapur kami.
Kuharap ibu dan ayahku
tidak panik, sehingga tidak melapor ke polisi. Kuharap diam-diam mereka
menyimpan sebuah rahasia, semacam keinginan sunyi yang selama ini tidak pernah
benar-benar mereka mampu ungkapkan: "Semoga suatu hari nanti anak bodoh
ini segera pergi dari tempat ini!"
Demikianlah, aku pun pergi.
Memang sejak dulu banyak
yang menganggapku bodoh, dan inilah faktor yang pas untuk seseorang menilaiku;
mengapa dia hanya ingin mengambil sebutir kerikil sebagai wujud alasan, dari
sejuta kerikil yang tersedia, yang tentu saja akan memberinya lebih banyak
harapan jika banyak kerikil yang diambil?
Alasanku terlalu sederhana;
kebosanan mungkin sudah lumrah bagi orang-orang di desa seperti kami, tetapi
kebosananku boleh jadi lain dari yang orang-orang umumnya rasakan. Kebosananku
ini kurasakan lahir beberapa bulan silam setelah ayah dan ibuku mengumumkan
membuatkan tempat baru bagiku; semacam rumah tunggal yang hanya bisa dihuni
olehku seorang.
"Tidak akan ada lagi
yang mengganggumu. Tidak ada juga yang dapat kamu bikin kacau," kata Ayah.
Awalnya aku tidak tahu
maksudnya, tetapi setelah tahu jika rumah baru yang orang tuaku maksudkan itu
mirip kandang untuk menyimpan binatang-binatang tidak berotak, aku terluka.
Hatiku seperti dicincang dan semalaman suntuk aku tidak bisa tidur hanya karena
membayangkan betapa orang tuaku sendiri telah menyetarakanku dengan seekor
kambing.
Aku tidak tahu maksudnya.
Aku hanya tahu bahwa hidupku ini tadinya sangat enak dan menyenangkan. Aku
senang melihat bocah-bocah berangkat sekolah dan mengintip mereka dari ruang
tamu rumahku cukup membuatku senang, walau sebenarnya aku ini juga ingin pergi
ke sekolah.
"Kamu tidak akan bisa
sekolah," kata Ibu suatu ketika, "lagi pula umurmu itu juga sudah
ketuaan. Sebaiknya duduk diam saja di rumah dan bantu-bantu Ibu jualan!"
Aku sedih mendengar teguran
Ibu, tetapi tetap saja berharap suatu hari nanti dapat pergi ke sekolah.
Kubayangkan aku yang bertubuh lebih besar dari anak-anak itu, dapat pergi
bersama mereka. Kubayangkan aku juga memakai sepatu dan membawa tas serta buku-buku.
Kubayangkan pulang sekolah aku bermain setelah mengerjakan PR, seperti yang
anak-anak tetangga itu lakukan.
Suatu hari aku sudah tidak
tahan dan akhirnya berjalan mengikuti anak-anak itu ke sekolah. Di sana aku
diusir, tetapi besoknya aku datang lagi. Tentu saja besoknya orang galak yang
menjaga gerbang lagi-lagi mengusirku, tetapi besoknya kutekadkan untuk datang
lagi. Begitulah hari demi hari aku terus berangkat ke sekolah, dan meski orang
di gerbang itu terus-terusan mengusirku, aku tidak lelah. Aku bahkan semakin
mahir untuk mencari alasan supaya ibu maupun ayahku tidak curiga aku pergi ke
mana selama pagi hari dalam sepekan terakhir.
Karena pergi ke sekolah
bukan urusan gampang, lama-lama aku sedih, tetapi tekad untuk ke sekolah tidak
pudar. Akhirnya, aku berkenalan dengan salah satu anak sekolah itu dan dia suka
menghiburku dengan cerita-cerita lucu. Kami bertemu saat jam istirahat dan
dalam sebulan terakhir itu dia mengajariku cara membaca.
Aku tidak terlalu kesulitan
membaca, tetapi mulutku sangat susah untuk berbicara, dan orang-orang tentu
tidak bakalan percaya kalau sebenarnya aku sudah bisa membaca sedikit demi
sedikit. Anak sekolahan yang menjadi temanku itu juga mungkin tidak bisa
percaya kalau sebenarnya aku bisa membaca. Dia hanya berkata, "Besok
dicoba lagi, ya. Harus setiap hari biar lancar."
Dan aku tidak akan marah,
sebab kupikir semua ini butuh waktu. Aku tahu semua tetanggaku yang bersekolah
tidak hanya pergi ke sana selama sebulan penuh, melainkan bertahun-tahun, dan
setelah itu baru mereka mendapat ijazah dan bisa mendaftar lagi ke sekolah lain
yang lebih bagus.
Pada hari-hari itu, ayah
dan ibuku belum tahu kegiatan baruku ini, sampai akhirnya mereka tahu dan
mengunciku di ruang tamu. Aku tidak bisa pergi ke sekolah, sehingga aku mulai
berontak dan berteriak-teriak tidak keruan. Pada saat itu, aku tahu anak-anak
tetanggaku yang sedang pergi ke sekolah, mendengar jeritan dari dalam rumahku.
Ibuku malu dan berkata, "Biar saja pergi, toh juga tidak mengganggu orang
lain!"
Lalu, ketika Ayah akhirnya
membukakan pintu untukku, aku membaur ke luar, tapi di luar sana bocah-bocah
mulai menertawakanku. Mereka terus tertawa sepanjang jalan menuju sekolah, dan
itu tidak berhenti sampai beberapa hari berikutnya.
Teman baruku tidak termasuk
dalam grup peledek ini, sehingga kemudian temanku hanya ada satu, yakni
dirinya. Karena bocah-bocah sialan tadi terus menertawaiku tanpa kenal lelah,
aku kehilangan kesabaran dan salah satu dari mereka kupukul hingga pergi ke
orang tuanya untuk mengadu. Aku ingat, sore itu aku tidak pulang. Aku
bersembunyi di kandang sapi milik Haji Asnawi dan baru balik besok paginya
dengan disambut Ayah bersama sebatang rotan. Aku dihajar habis-habisan dan
dilarang pergi ke sekolah. Sejak itu, aku memang tidak pergi ke sekolah, karena
takut pada orang tua anak yang kupukul hingga berdarah jidatnya. Selang
beberapa hari setelah kejadian itu, gagasan soal rumah baru untukku itu muncul.
Aku sangat sedih setelah
tahu orang-orang sepakat tidak memperkarakan insiden di sekolah itu dengan
syarat harus mengurungku seperti kambing tak berotak. Dan sedihku semakin
membesar setelah tahu Ibu, yang biasanya membelaku, malah mendukung apa yang
orang-orang sepakati.
Pada akhirnya, aku kabur
dengan terlebih dulu meninggalkan surat berisi sekalimat pendek. Aku kabur
tanpa arah, tetapi aku percaya di luar sana kehidupanku, takdir bagi diriku
yang sesungguhnya, telah menunggu.
Aku menumpang sebuah truk
buah, dan turun di dekat stasiun. Lalu, aku naik lagi kendaraan lain secara
gratis dengan memohon seribu kali dan menelan bentakan seribu kali juga dari
orang-orang yang berbeda. Semakin jauh aku pergi, semakin orang-orang enggan
memberikan bantuan secara gratis. Pada akhirnya, aku berjalan kaki sampai tak
kutahu tiba di kawasan mana. Sudah empat hari aku begini dan bekal makanan yang
aku bawa seadanya dari rumah sudah habis.
Aku tidak tahu di mana
sekarang aku berada. Barangkali, tempat ini tidak ada di peta. Tubuhku lelah,
jadi meski tidak tahu harus bagaimana nanti, aku tetap berbaring begitu saja di
depan sebuah gedung telantar. Aku berbaring dengan menggelar tikar dari
rumahku, dan menatap hujan yang turun begitu deras. Setelah hujan reda, aku
ketiduran. Aku bangun malam harinya dalam keadaan lapar.
"Aku harus makan.
Sudah seharian aku tidak makan, dan kalau terus-terusan begini, bisa mati
aku," pikirku.
Maka, aku pun berjalan
pelan-pelan ke arah ribuan lampu nun jauh di sana. Orang- orang tidak ada yang
peduli padaku, tetapi aku percaya kehidupanku ada di sini, di kota ini, di
sebuah tempat yang barangkali saja tidak ada di peta.
Kepada seorang penjaga
warung, kubertanya, "Apakah saya bisa mendapat nasi?"
Maksudku, aku memang ingin
bertanya hal seperti itu, tetapi karena cara bicaraku lain dan susah dipahami,
penjaga warung itu sampai harus memintaku mengulang empat kali pertanyaan
tersebut. Ketika akhirnya dia mengerti maksudku, orang itu memintaku duduk dan
memberiku segelas air putih serta nasi dengan lauk tempe yang dingin.
Setelah menghabiskan semua
suguhan itu, aku bertanya apakah aku bisa mendapat tempat menginap untuk
sementara? Tentu saja aku harus mengulang beberapa kali demi dapat membuat
penjaga warung itu paham maksudku. Tetapi, dia bilang, di sini tak ada tempat
penginapan.
Aku sedih, karena tubuhku
berasa remuk dan butuh tidur di tempat yang hangat. Di suatu tempat di kota
ini, barangkali saja ada tempat seperti itu. Hanya saja, aku belum tahu di
mana. Tetapi, seperti yang sudah kubilang sejak awal, aku tetap percaya bahwa
kehidupanku memang ada di kota ini. Bukan di rumahku yang membosankan. [ ]
Gempol, 22 Oktober
2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni
1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya
terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press,
2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).