Skip to main content

[Cerpen]: "Tentang Api, Anjing, dan Nabi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 7 Oktober 2017)
 
    Seandainya aku Nabi Ibrahim, pastilah tubuhku tidak matang dilahap api. Aku dan api kawin di bawah perjanjian abadi. Kulit, daging, tulang belulang, dan api menyatu. Dalam suatu hukuman, aku bersenang-senang, namun pura-pura mati. Begitulah. Aku segar tapi bergetar. Aku girang tapi mengerang. Bisakah?
    Dari sana, dari tubuh manusiaku, darah memancar memandikan bumi orang suci. Seakan lidahku menggeliat—padahal pisau belum kering menebas indera perasa —kata-kata sumbar berserakan: Bakar, bakar, bakar!
    Aku tidak takut—seandainya aku nabi dan kondisi seburuk itu datang: orang-orang menggotong kayu buat membakarku. Aku tidak takut sebagaimana dulu saat Ayah mengancam mengikatku semalam di bawah pohon nangka karena kedapatan merokok.
    Karena Ibu sering membawaku ke kamar di masa hukuman, suatu pagi kesabaran Ayah habis. Aku bocah di bak mandi, yang basah kuyup setelah ditendangi, ditelanjangi, diludahi, digerojok bensin. Bau tajam khas. Menyengat dan mengancam. Betapa lekat di kepala, juga suara-suara yang di masa depan berdengung dan mengganggu tidur: "Biar matang dan jadi santapan anjing!"
    Wahai, manusia suci, adakah di antara kalian yang peduli?
***
    Di masa berbeda aku memelihara anjing. Dua ekor. Satu jantan, satu betina. Anjing penjaga setia yang sewaktu-waktu sedia merobek daging lawan-lawanku. Ini bukan main-main. Keduanya terbukti ampuh kupajang di halaman, juga sesekali buat bahan cerita model pria gila hormat. Sudah empat musuh dan satu maling amatir kena gasak taring-taring tajam. Dua mati, sedang sisanya tak tahu. Barangkali cacat seumur hidup.
    Suatu ketika, saat tidak satu pun teman sambang walau aku nyaris tewas dikeroyok, kubilang pada kedua anjingku, "Dulu aku ini kalian. Maksudku, aku anjing. Tapi bukan dari jenismu. Aku jenis terbaru dan modern karena otakku dilengkapi elemen penting serupa pada otak manusia: akal. Aku juga dirantai, dikandangkan, diberi kalung dengan simbol 'S'—kalau kalian 'W' dan 'W', sebab bukan Sarjikun nama kalian, 'kan?"
    Anjing-anjing diam—tentu saja. Mereka tiada stop menjulur-julurkan lidah sebab tak berakal. Tapi mereka berguna. Gagasan ini muncul—maksudku soal memelihara dua anjing—setelah masalah demi masalah menggoyah ketenanganku. Sekarang, dengan adanya mereka, semua aman-aman saja.
    Namun, jelas aku tidak sekejam Ayah yang barangkali—jika posisi kami tertukar— pada bulan keenam, dua ekor anjing tanpa akal itu, yang bisa dan sedia diapakan saja oleh tuannya, telah tiada. Rumah kecolongan dan Ayah tidak lagi punya satpam dengan moncong dan taring.
    Ayahku gampang emosi. Sedikit kesenggol, langsung meledak-ledak. Sebagaimana kayu bakar digerojoki bensin, kena percik api sedikit, seketika berkobar. Dan, lihatlah bila api itu lahir: si anjing tak bisa kabur karena dirantai. Lalu, tongkat baseball diayun ke depan, ke belakang, belasan kali, kuat, bertubi-tubi. Hingga moncong berdarah-darah, gigi geligi rontok—paling tidak sempal, dan, pada akhirnya rahang pun melenceng dari posisi awal. Pada saat itu, api siap melahap.
    Kuakui, hanya karena ada Ibu, aku tidak kunjung matang dan dipotong-potong lalu disajikan ke kandang anjing tetangga sebelah, sebab tungku api Ayah tidak pernah berfungsi—tepatnya selalu gagal. Mobil tetangga membawaku ke klinik dan di sana, orang-orang mengelus dada sambil mengucap nama Tuhan.
    Waktu itu aku tidak terlalu percaya Tuhan, tapi seru juga dengar guru ngajiku cerita soal Nabi Ibrahim. Orang suci kesayangan Tuhan yang seakan-akan kawin dengan api. Dipeluk api tidak mati. Dilamun api tidak gosong. Bagaimana, ya, rasanya jadi seorang nabi?
***
    Seandainya aku Nabi Ibrahim, barangkali Ayah berpikir dua kali sebelum bilang, "Biar matang dan jadi santapan anjing!" Dan aku terpingkal-pingkal, sementara ia cuma bisa garuk-garuk kepala karena bingung mau bikin acara apa.
    Panggang sate? Oh, tidak. Saya tidak mempan, Yah. Bocah (kambing) guling, kau! Oh, tidak juga. Kambing guling 'kan dimasak pakai api juga! Maka, Ayah hanya akan bingung dan malu, lalu mungkin pergi meninggalkanku ke tempat jauh. Ke kutub utara kukira. Mestinya dia tahu. Lagi pula mana mungkin seekor anjing memakan sate daging sesama anjing, walau yang dibakar adalah aku?
    Aku tidak tahu kenapa Ayah membenciku dan menganggap aku anjing busuk najis yang harus dihajar setiap hari, bila perlu sampai mati. Ibu membelaku; dia bilang aku anaknya, tetapi tidak kulihat wajah Ibu bermoncong. Barangkali, suatu hari, karena jatuh cinta, Ayah mengoperasi plastik wajah ibuku yang juga seekor anjing sehingga berubah secantik putri keraton. Saat kukatakan itu pada pembantu, sambil tolah-toleh, dia menyahut ketakutan, "Waduh, Tuan Muda, jangan ngomong gitu. Itu ndak benar!"
    Tapi benar kok, kataku, Ayah sering bilang aku anjing yang layak dihukum. Dan dia diam. Pembantu itu sesungguhnya juga tahu masalah antara aku dan Ayah terjadi sejak lama. Tepatnya sejak aku diam-diam mencuri uang di dompet Ibu buat kupakai beli petasan, juga jajan, atau sesekali taruhan judi bola dengan teman-teman di kelas. Semua orang tahu dan mereka bungkam. Ayah benar-benar raja di atas raja pada saat itu.
    Karena tidak ketahuan, aku ketagihan. Uang-uang terus kucolong. Ibu tahu uang pemberian Ayah sering hilang, tapi tidak tahu siapa yang nyuri. Aku, atas pengajaran temanku yang bajingan, mulai membeli kesenangan duniawi yang, kata teman ngajiku, tidak mungkin dilakukan seorang nabi sekeren Ibrahim: pergi ke tempat pelacuran dan melakukan apa yang dibenci orang suci.
***
    Aku jelas bukan Ibrahim. Menyamakanku dengan beliau, sama dengan kurang ajar. Aku bejat, bajingan, dan laknat, begitu kata Ayah. Dia mengata-ngataiku dengan kalimat buruk itu kira-kira seminggu setelah satu anjingku mati (aku tak tahu dari mana orang itu tahu alamatku). Dia lalu pulang begitu saja dan berjanji hukumanku belum selesai. Aku tak peduli. Aku hanya berpikir soal anjingku yang mati. Winnie yang kusayang, karena dia berdiri paling depan ketika lawan tandang ke rumah bikin perang. Anjing itu mati kena racun. Siapa pelakunya, aku tak tahu.
    Tentu saja anjingku tidak kusate atau kupanggang seperti imajinasi Ayah padaku semasa dulu. Winnie kukubur dan kutaburi bunga di gundukannya. Aku juga menangis selama kira-kira satu jam. Tak ada siapa pun lagi di rumahku selain Winky, anjingku yang lain. Kepada teman yang masih setia, kuminta tolong, Butuh duit, kataku. Buat apa? Beli anjing lagi. Kata temanku itu, Ampun, hidupmu kok melulu seputar anjing!
    Tapi toh aku dibantu. Suatu pagi SMS masuk dari temanku. Katanya ada operasi di lokasi biasa. Oke, clear, jawabku pendek. Asal ayahku pahami—kalau dia tahu masalah ini—tidak lagi ada yang bisa mengatur-ngaturku. Aku bocah yang sudah gede, sudah bisa mengurus diri. Tidak perlu diikat di pohon nangka, lalu diancam-ancam dengan seliter bensin. Tidak perlu tongkat baseball buat bikin wajahku lebih asimetris.
    Ibu mati saat aku umur dua belas, karena stress anaknya jadi cacat seumur hidup. Sebelah tanganku pastilah kuat secara wajar bila Ayah tidak menginjak-injaknya dengan liar pada suatu malam agar aku tidak kabur. Masa hukuman belum habis, Njing. Ya, suara-suara itu juga sesekali berdengung.
    Barangkali ibuku bosan tiap hari rumah ribut dan ribut, sedang para tetangga mulai menggunjing, bahwa ternyata di balik jubah suci Ayah sebagai ulama, tindakan kasarnya melahirkan aib di keluarga ini. Saya malu, itu kata Ibu pada pembantu kami. Kata-kata yang kucuri dengar dari bawah jemuran dekat septic tank. Saya malu hidup seperti ini. Lalu besoknya Ibu ditemukan di gudang. Gantung diri. Ayah mencariku karena katanya aku yang salah. Tapi sebaliknya, kuanggap Ayah bertanggung jawab atas itu.
    Wahai orang suci, adakah kau benar-benar membakarku suatu hari nanti?
***
    Temanku menunggu di lokasi. Ada dua orang baru. Begitu ketemu, kami salaman dan tukar nama. Operasi dimulai pukul 23.00, kalau tidak salah ingat, karena kepalaku penuh bayang-bayang Ayah dan caraku membalas tindakannya di masa lalu dengan memelihara binatang najis yang dia benci.
    Kematian Winnie mengingatkanku pada tiadanya Ibu. Keduanya mati dengan sia- sia. Kedunya setia melindungiku. Keduanya tanpa mengharap balas. Dan aku, anjing dari jenis terbaru dan modern ini, merasa tak berguna. Satu gagasan melintas usai Ayah tahu di mana aku tinggal sekarang, bahwa aku harus membalas dendam lama. Dua ekor anjing, cukuplah. Kata-kata pamungkas telah kucatat di buku agenda, "Biar matang dan jadi santapan anjing!" Tiada terkira nikmatnya membalas kata-kata itu pada sumbernya.
    Maka aku butuh uang. Operasi ini seperti yang sering kulancarkan di masa muda: membobol toko emas. Aku eksekutor paling andal. Gerak cepat dan taktis meski dengan sebelah tangan. Dua orang lain mengekor dengan karung di pundak. Satu lagi jaga-jaga di pintu. Seandainya aku nabi—yang entah oleh alasan apa, lantas melakukan tindakan bajing ini—barangkali Tuhan menarik mukjizat dari tubuhku dan aku mati dengan cara memalukan.
    Tapi, aku bukan nabi. Aku anjing, kata Ayah. Dan aku anak Ibu yang ingin balas dendam, kataku sendiri. Detik demi detik berlalu dan mendadak bumi orang suci getar. Azab menimpa para pendosa dan mereka kocar-kacir. Aku kocar-kacir, tapi aku paling dalam. Dua rekan baru berebut jalan keluar, sedangkan mobil telah jalan. Orang-orang mengepung di sana-sini. Aku sendiri. Aku merasa, mungkin, tidak ada seorang pun yang peduli.
    Seandainya aku Nabi Ibrahim. Aku dan api kawin di bawah perjanjian abadi. Kulit, daging, tulang belulang, dan jiwa menyatu dengannya, sehingga panas api tak kurasa.
    Tapi bukan itu yang terjadi. Aku bergetar dan mengerang, meski tak segar apalagi girang. Orang-orang membawa kayu dan menyiram bensin. Api berkobar secepat dosa memantik emosi Ayah. Begitulah, di bumi orang suci, aku yang bukan nabi, pastilah matang dilahap api. [ ]
   
Gempol, 2015-2017

KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya tersebar di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri