Skip to main content

[Cerpen]: "Surga Kiriman Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Oktober 2017)
 
    Aku terbangun dan menemukan tubuhku berada di tepi jurang. Jurang ini bukanlah jurang biasa, karena dalamnya sungguh tak terkira, sehingga yang bisa kulihat hanyalah kegelapan di bawah sana. Kubayangkan seseorang akan hancur serupa bubur kalau saja jatuh dari atas sini. Dan kurasa sebaiknya aku harus pergi sesegera mungkin agar tidak tersandung.
    Aku tidak tahu dari mana pikiran macam ini datang: kesialan selalu datang tanpa disangka-sangka. Siapa tahu, entah karena angin badai atau mendadak tanah di bagian tepi jurang ini ambrol, pada akhirnya aku jatuh dan hancur lebur di bawah sana?
    Aku mundur beberapa langkah, lalu berjalan setelah membalikkan badan dan tahu betapa sejauh mata memandang hanya ada pasir. Aku tidak ingat apa pun yang terjadi sebelum ini. Barangkali seseorang menculikku atau apa, tetapi itu mustahil. Aku tidak terlibat kejadian-kejadian yang bisa menjadi alasan bagi siapa pun untuk mencelakaiku. Aku juga bukan orang kaya.
    Pikiran bahwa aku tersesat sangat tidak lucu. Terakhir kali kutemukan kesadaranku adalah ketika aku sedang duduk dengan malas di ruang tengah apartemenku dan melihat acara terburuk sedang ditayangkan di televisi. Acara itu tentang seekor badut yang suka sekali dengan boneka tangan. Badut itu terus menerus memainkan boneka tanpa seorang pun penonton di studionya. Mungkin memang begitu acara tersebut dibuat. Badut tanpa penonton di hadapannya dan cuma orang-orang sial yang kebetulan menyetel channel tersebut yang akhirnya menonton.
    Acara itu membuatku ingat tentang masa lalu. Tentu saja aku bukan badut murahan yang bisa dibeli oleh televisi, meski harus berbuat sekonyol mungkin tanpa seorang pun penonton di hadapanku. Bertahun-tahun aku hidup sebagai badut, mencari makan oleh bakatku melucu di pesta-pesta ulang tahun para bocah. Kalau saja aku tak pernah jatuh cinta dan memutuskan menikahi seorang gadis, boleh jadi sampai hari ini aku tetaplah menjadi badut. Jika saja seekor badut berpenghasilan setara pegawai bank, mungkin aku tetaplah menjadi badut. Sayangnya, menjadi badut bukan perkara mudah ketika diriku harus menikah dan membiayai segala macam kebutuhan rumah tangga.
    Berhentiku sebagai badut jelas karena gadis yang kujadikan istriku. Tapi, aku tidak menyesali itu. Bahkan meski setelah dua tahun menikah, kami memutuskan cerai. Lalu, di apartemen inilah aku membusuk sebagai pegawai bank yang sulit menemukan cinta dan gairah hidup. Aku tidak tahu kenapa tidak sampai tergerak memindah channel dan menghindari kekonyolan badut malang di televisi itu. Barangkali saja, aku rindu masa laluku.
    Ingatan tentang tempat terakhir di mana kesadaran terakhirku berada ini membuat diriku yakin bahwa aku sedang bermimpi. Ya, jelas ini hanyalah mimpi. Berada di suatu padang pasir, dengan tepi jurang di ujungnya, yang seakan tanpa dasar. Adakah lokasi di muka bumi ini yang dapat membuatmu berpikir sebuah jurang ada hanya untuk menjadi jalan menghilangkan tubuh selama-lamanya?
    Aku yakin siapa pun yang jatuh ke dasar jurang gelap itu bakal hilang selamanya, dan baru akan ditemukan di akhirat nanti. Aku juga yakin, jika aku jatuh ke dalam sana, tidak akan ada yang mencariku, kecuali malaikat maut, yang tentu saja memiliki suatu tugas yang sangat menyenangkan, sebab aku sering kali melanggar aturan. Dosa-dosaku sangatlah banyak.
    Jadi, tidak ada pilihan lain bagiku selain terus berjalan. Aku tidak tahu berapa jarak yang harus kutempuh demi mengakhiri batas padang pasir sejauh mata memandang ini. Jika aku tidak melihat apa pun dari tempatku berdiri saat ini, aku percaya ada saatnya itu berakhir. Ada saatnya kutemukan sesuatu di sana, setelah berjalan tiada henti, yang entah kota atau pemukiman penduduk dengan penampilan ala Timur Tengah. Dengan demikian, aku bisa menemukan jawaban kenapa mimpi ini bisa datang.
    Hanya saja, setelah berjalan berjam-jam, aku tidak juga menemukan sesuatu. Titik di mana tempatku berdiri saat ini benar-benar jauh dari apa pun, bahkan dari jurang tadi. Aku mulai menyesal telah salah memutuskan.
    "Kupikir seharusnya aku berjalan menyisir tepi jurang tadi, dan siapa tahu di sana kutemukan kota kecil atau perkampungan," pikirku.
    Tentu itu sudah terlambat. Aku sudah sangat lelah dan tidak ada pilihan lain selain berjalan terus ke arah yang sama dengan penyesalan yang membesar setiap detiknya. Di setiap langkahku berasa ada sesuatu yang berbisik bahwa ini semua tidak baik-baik saja, dan bahwa kesialan sedang menungguku di depan sana. Lagi pula, dari mana aku yakin bahwa apa yang terjadi ini adalah mimpi?
    Aku mulai takut dan berharap ini memang mimpi. Aneh saja jika kau sadari dirimu mendadak bangun dengan linglung, dan menyatakan bahwa saat itu dirimu bermimpi, padahal bukankah saat kita bangun, sesuatu yang ada di sekujur tubuh kita sudah bebas dari alam mimpi?
    Di balik suatu gundukan pasir, setelah nyaris menyerah dan memutuskan berbaring saja sampai akhirnya aku terbangun dari mimpi ini, kutemukan seorang lelaki berwajah penuh pasir sedang mengunyah ayam goreng. Aku tahu itu ayam goreng, karena tepat di sisinya terdapat meja kecil, serupa meja di rumah orang-orang Jepang, yang ada piring dan sepotong ayam gorengnya di sana.Perutku mendadak lapar dan aku yakin lelaki itu bersedia berbagi daging ayam denganku.
    Maka, dengan penuh sopan santun, setelah mengitari gundukan agar aku dapat bisa menatap langsung wajahnya dari arah depan, kusampaikan bahwa aku tersesat dan tidak tahu jalan pulang.
    "Wah, sama dong," sahut lelaki berwajah penuh pasir itu dengan santai. "Saya juga tersesat dan sudah empat tahun tidak pulang."
    Aku tidak tahu harus meyahutinya bagaimana, karena lelaki itu tampak tenang dan santai saja sewaktu mengatakan dirinya tersesat. Aku tidak tahu apakah lelaki ini sejenis orang gila, atau memang benar apa yang dia katakan itu telah terjadi. Empat tahun tidak pernah pulang dan terus menerus berada di tempat semacam ini? Kurasa itu juga dapat membuatku gila. Apa pun situasinya, berarti, lelaki berwajah penuh pasir ini memang sudah gila?
    Melihatku yang tak dapat berkata apa-apa dan hanya duduk dengan lesu beberapa meter darinya, lelaki berwajah penuh pasir itu mengusap pipinya yang terlumuri minyak goreng dan tertawa pelan.
    Aku tahu dari jarak yang sedekat ini betapa butir-butir pasir itu menempel karena makanan berminyak, tetapi tidak habis pikir dari mana orang ini mendapatkan sepiring ayam goreng, jika dia memang tersesat dan tidak bisa pulang dari padang pasir ini sejak empat tahun silam?
    Barangkali lelaki itu membaca pikiranku, sehingga dengan ekspresi yang lagi-lagi terlihat tenang dan santai, dia menjelaskan bahwa tidak jauh dari sini ada suatu lokasi di mana surga dijatuhkan oleh Tuhan langsung dari atas.
    Aku tidak mengerti maksudnya, jadi kutanyakan, "Apa maksud Anda?"
    "Surga. Anda tahu? Surga dan neraka? Nah, di situ ada surga yang dijatuhkan oleh Tuhan langsung dari atas sana. Pergi ke sana dan makan sebanyak yang lambung Anda sanggup. Saya kira, tidak hanya empat tahun. Bahkan empat belas tahun pun Anda akan betah berada di situ!"
    Kupikir mungkin memang benar lelaki ini gila, tetapi tentu saja aku tidak berkata apa-apa. Aku hanya berharap memang betul di lokasi yang dia maksud tadi terdapat apa pun yang bisa kumakan agar tidak kelaparan. Perutku sudah tidak tahan lagi. Berjalan di padang pasir selama berjam-jam juga membuat kakiku pegal dan membutuhkan tempat untuk bermalam. Kulihat salah satu sisi langit, tempat matahari turun perlahan dan nanti, pada saatnya, akan terbenam dan membuat tempat ini ditelan kegelapan. Dengan penuh pengharapan, kuikuti arah yang ditunjuk oleh lelaki berwajah penuh pasir.
    Memang benar apa yang lelaki itu katakan. Aku menemukan semacam kampung di dekat oasis. Kampung ini cukup aneh, karena tidak kutemukan satu pun manusia selain diriku, tetapi rumah-rumah yang berdiri dari tenda dan semacam jalinan bambu, tampak begitu bersih dan terawat.
    Lelaki tadi bilang, tempat ini semacam surga yang diturunkan oleh Tuhan langsung dari atas sana.
    Kupikir, aku mungkin memang bermimpi dan di sinilah aku dapat merenungi apa yang seharusnya kurenungi demi membenahi hidupku yang menjemukan dan sebatang kara.
    Maka, tanpa ragu, kumasuki salah satu tenda dan menemukan segala sesuatu yang sulit kubayangkan tentang setumpuk makanan terbaik yang pernah ada. Di tenda ini, aku bisa memuaskan nafsu makan dengan berbagai kuliner favoritku. Aku pikir, lelaki berwajah penuh pasir bukanlah orang gila.
    Hanya saja, sebelum perutku kenyang, kudengar suara-suara percakapan dari arah yang tak begitu jauh. Langkah kaki serombongan manusia jelas sekali memasuki area di tengah padang pasir ini, dan kukira aku barusan meneboros tempat seseorang tanpa izin. Dengan memberanikan diri, aku keluar dan menemukan seseorang yang dengan ramah dan tanpa curiga segera bertanya namaku.
    Kubilang, "Kenalkan, saya Sapono. Saya tersesat dan menemukan tenda ini untuk makan. Maafkan saya kalau lancang."
    "Oh, tidak masalah. Kebetulan saja yang punya tenda ini saya. Silakan, silakan saja makan sampai kenyang," jawab orang itu dengan ramah. Dia pun memperkenalkan diri sebagai Gusnaldi, yang—menurut pengakuannya—telah tinggal di sini selama hampir tujuh belas tahun.
    Aku tidak pernah tahu tempat macam apa ini, dan tidak juga mengerti bagaimana aku tidak pernah bangun kembali. Maksudku, aku tak pernah bangun dan mendapati diri ini berada di depan televisi yang menayangkan acara badut sial, meski sudah tidur entah berapa kali di tenda Gusnaldi.
    Yang kutahu cuma satu: aku mendapatkan kembali pekerjaan sebagai badut lucu dan menghibur setiap anak kecil di komunitas oasis ini. Dan, menurutku, hidupku tidak semenjemukan sebelumnya. [ ]

    Gempol, 10 Juli - 28 Agustus 2017
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri