(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 1 Oktober 2017)
Aku tidak ingat pernah naik ke sebuah kereta, tetapi malam itu seseorang di sisiku membangunkanku dan bilang kalau kereta sampai di stasiun terakhir. Aku bangkit dari kursiku dan melihat punggung beberapa penumpang terakhir turun dari gerbong ini, gerbong yang tidak pernah kuingat pernah masuk ke dalamnya. Tetapi, aku berada di dalamnya.
Untuk beberapa saat aku berdiri dan menoleh ke sana kemari sambil memegangi kepalaku yang berat. Aku bayangkan aku bermimpi dan belum seutuhnya sadar, hingga seseorang lain, yang ada di dunia nyata, membangunkanku ulang. Tetapi lelaki di sisiku masih di sana dan berkata, "Kau gila, Bung?"
Ia mengajakku turun dan menganggapku gila. Kereta itu, katanya, tidak berangkat, kecuali ke neraka. Jika Anda tetap di gerbongnya, Anda dibawa ke neraka dan tidak bisa balik. Anda mau di neraka selamanya? Ia bilang, itulah kenapa di stasiun terakhir semua orang turun dan buru-buru pergi. Tidak ada yang tidak, sekalipun sangat mengantuk dan ingin tidur.
"Sebaiknya Anda sambung tidurnya di sana," katanya, lalu menunjuk sebuah pintu toilet yang penuh dengan lumut dan tampak tidak dipakai lagi. Di sudut lain, tidak ada toilet dan aku berpikir jangan-jangan satu-satunya toilet itu berhantu, sehingga terpaksa orang tidak perlu memakai toilet di stasiun ini?
"Saya tidak tidur di toilet," kataku.
Tapi orang itu membawaku ke sana, ke toilet bekas yang pintunya dipenuhi dengan lumut. Di dalam sana benar-benar tidak sesuai dugaanku, karena ada semacam lobi yang mirip lobi sebuah hotel berkelas. Seorang gadis berwajah cantik dari meja resepsionis menyapaku dengan ramah. Gadis itu seksi. Aku menunduk dan menghindari menatap si gadis, karena takut berpikir cabul.
Lelaki itu memesan sebuah kamar dalam toilet bekas ini. Kamar untukku yang ia tahu sangat mengantuk dan ingin tidur. Ia juga memesan kamar untuknya sendiri, sebab ia bilang kami tidak berteman. Si gadis mengangguk dan mengetik sesuatu di komputer. Aku bilang mereka tidak usah repot. Aku dapat mencari tempat sembarangan di stasiun ini untuk sekadar tidur.
Si gadis berhenti dan menatapku ragu. Ia bilang, akhir-akhir ini banyak orang sok sepertiku yang dibunuh malam hari di sekitar sini dan besok paginya sudah jadi sop atau nasi rawon; itu pun sudah sisa-sisa. Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi si gadis bilang, gelandangan di kota ini adalah kaum hantu dari ras paling rakus. Dan ketika Anda nekat tidur di luar hotel, jangan salahkan apabila hantu-hantu itu memangsa Anda!
Aku bergidik, sebab tahu jenis eskpresi si gadis yang berdandan seksi itu. Ia tidak menampilkan raut menggoda dan bergairah, tetapi raut ingin muntah karena ingat hal paling menjijikkan dalam hidupnya. Barangkali gadis itu benar dan ia pernah melihat orang linglung sepertiku dijadikan sop atau rawon. Ia tidak ingin bicara lagi soal itu dan mengangkat satu tangannya. Si lelaki yang menemaniku, yang entah siapa, mengangkat bahu; tanda ia juga baru tahu fakta mengerikan itu.
Aku tidak yakin tubuhku dijadikan sop atau rawon malam ini juga, tetapi aku cuma berpikir bahwa mungkin para gelandangan di kota ini memang jahat. Aku pun terpaksa menerima kunci kamarku dan melangkah mengikuti si lelaki dan bocah berkepala botak, yang mendadak muncul. Bocah itu bertugas membawakan tas penginap. Gadis berbaju seksi bilang, bocah botak akan menunjukkan di mana kamar kami.
Bocah botak itu tidak bicara, tetapi menggumamkan lagu Nina Bobo. Kami tidak masuk lift atau semacamnya, dan terus berjalan mendaki tangga dengan desain spiral seakan hotel ini dikonsep menyerupai mercusuar. Bocah itu menoleh kepadaku sesekali selama perjalanan dan memamerkan gigi geligi yang keropos. Kutanya siapa namanya dan dari mana dia berasal, sebab wajahnya begitu lucu. Si bocah tidak menjawab dan ganti menggumamkan lagu Balonku.
Lelaki asing itu bilang, bocah ini mungkin bisu. Si bocah lantas bilang ia tidak bisu. Kondisi tempat ini membuatnya malas berbicara. Ia mendadak berhenti di depan sebuah pintu dan membuatku dan si lelaki terperanjat, sebab bocah itu menghentikan langkah terlalu mendadak. Ia bilang di sini kamar kami, di pintu nomor 43 dan 45, tetapi tempat ini baginya sangat busuk. Ia buru-buru menaruh tas di depan pintu dan memohon agar tidak menyuruhnya ke dalam untuk menaruh tas itu dalam lemari.
Bocah itu sudah menghilang ketika si lelaki meminta kunciku untuk ia periksa. Ia ingin aku tidur di kamar nomor 43, tetapi karena kunci yang kupegang bernomor 45, ia minta kami bertukar tempat. Setelah mengingat arah mata angin, aku pikir mungkin si lelaki ingin tidurnya tidak terganggu bisingnya kereta yang datang, sebab kamar nomor 45 berada di sisi luar stasiun yang tidak menghadap rel.
"Sama saja, Bung," kataku. "Tetap ada bising kereta api, karena hotel ini didirikan di stasiun. Tidak peduli di ruangan mana, suara-suara tetap merambati kamar Anda."
"Bukan itu," katanya.
Ia tetap memintaku menukar kunci, dan karena aku tidak berminat tidur di tempat ini sejak awal, kupikir tidaklah masalah. Lelaki itu kelihatan lega setelah kami bertukar tempat. Ia masuk ke kamar nomor 45 dan aku bersiap masuk ke kamar dengan angka 43 di pintunya. Sebelum menutup pintu, ia berpesan agar aku tidak keluar selama semalam, sampai paling tidak terdengar azan subuh. Aku mengangguk.
Aku masuk kamar nomor 43 dan menemukan ruangan serba abu-abu yang sangat buruk untuk tidur. Aku pikir, tempat ini berbanding terbalik dengan tempat di mana aku dan si lelaki menjumpai gadis seksi tadi, serta berbeda jauh dengan lorong tempat bocah botak menaruh tas di depan pintu. Dua tempat itu lumayan enak dilihat karena bersinar dan lantainya tertutup karpet indah, tetapi orang waras mana pun berpikir kamar nomor 43 tidak pantas berada di hotel ini; sama tidak pantasnya dengan bentuk pintu masuk yang mirip toilet bekas tadi.
Meski begitu, aku tidak protes dan tidak mencari pesawat telepon di dalam kamar demi memarahi seseorang. Aku menaruh tasku di dalam lemari yang penuh sarang laba- laba. Aku tidak ingat kapan membawa tas ini, dan menurutku tas ini bukan juga milikku, tetapi si lelaki meninggalkannya denganku di depan pintu kamar 43 sebelum ia masuk ke kamarnya yang berangka 45. Aku tidak peduli apa isi tas itu, tetapi aku peduli pada diriku sendiri.
Segala fakta yang kutemui di hotel ini membuatku yakin aku terjebak di mimpi dan tidak mungkin keluar sebelum seseorang dari alam nyata membangunkanku. Aku harap tidurku cepat selesai dan segera kutinggalkan tempat busuk ini. Aku tidak bisa tidur di kasur dengan selimut kotor berbau apek dan berwujud setengah kaku seperti kerupuk dijemur. Aku juga tidak bisa tidur dengan kondisi atap yang terus menerus meneteskan air keruh, yang entah apa, ke pojok tempat tidurku, sehingga bagian itu penuh genangan air, yang membuat selimut ini terasa agak lembap di bagian bawahnya.
Aku buka jendela kamar lebar-lebar untuk mengundang udara segar masuk, tetapi yang kudapat hanya asap dan asap. Kereta yang tadi kutumpangi sudah tidak ada dan di sekitar stasiun berkumpul banyak sekali orang berbaju rombeng dengan balaclava yang menutupi kepala dan wajah mereka. Aku tidak tahu apakah ada hantu sejenis itu, atau apakah mereka memang hantu seperti kesaksian si gadis seksi di meja resepsionis?
Tapi orang-orang berbaju rombeng itu berkelakuan seperti gelandangan umumnya dan mereka sedang memasak sesuatu dari panci-panci yang disusun di perapian. Mereka membuat perapian di sana-sini, seperti para bocah di pantai yang membuat menara pasir sesuka hati mereka di mana pun mereka duduk.
Tidak ada penjaga atau orang yang memperingatkan para gelandangan itu. Mereka semakin banyak dari menit ke menit, dan terus bermunculan dari sudut-sudut tergelap di lorong stasiun. Dari jumlah awal yang kulihat hanya ada sekitar belasan orang, kini tak kurang dari seratusan gelandangan berkumpul di luar area hotel, yang tidak lain bagian dalam stasiun ini.
Aku tidak tahu pernah ada situasi seaneh ini, sampai tiga di antara gelandangan itu membawa tubuh lelaki berwajah bersih dari lorong gelap. Lelaki itu sudah pingsan, atau mati. Aku tidak bisa membedakan. Wajahnya sangat putih. Tiga gelandangan menaruh tubuh si lelaki di lantai stasiun dan mereka melucuti pakaiannya.
Aku tidak tahu bagaimana mereka bergerak seteratur itu seakan ada pelatih yang membuat mereka bekerja terorganisir. Satu orang mengurus bagian atas si lelaki. Satu orang lain bagian bawah. Orang ketiga mengambil kotak yang kemudian kutahu berisi berbagai benda tajam. Mereka membagi tugas lagi ketika benda tajam berada di tangan masing-masing. Satu mengerat leher, satu membelah dada, dan yang terakhir memotong tangan dan kaki.
Aku bergidik ketika kusadari hal yang sama terjadi di beberapa spot lain dan para gelandangan itu bersikap seakan itu wajar. Seakan apa pun yang mereka perbuat bukan tindakan melanggar hukum. Lelaki dan perempuan yang bernasib malang, yang entah sudah mati atau masih dalam keadaan pingsan, mereka bedah satu per satu dan daging serta tulang belulangnya mereka pisah dalam wadah-wadah.
Entah ada berapa korban, tetapi yang jelas aku telanjur tahu banyak. Salah seorang gelandangan itu sadar aku mengintip. Ia berteriak dan beberapa gelandangan memanjat tembok hotel yang penuh lumut. Mereka terus menanjat menuju jendelaku. Mereka tahu ada aku di sini, ada lelaki asing yang bisa mereka jadikan sop atau rawon di sini. Aku coba keluar dari kamar, tapi pintu kamarku terkunci dari luar. Aku gedor-gedor, tak ada yang peduli. Aku masuk lemari dan menemukan tas tadi. Di dalamnya ada berbagai alat peledak dan pistol. Aku tidak tahu bagaimana mungkin mimpiku seaneh ini. Tetapi, aku tidak yakin, apabila kuhabisi diriku sendiri dengan bom atau pistol ini, apakah nanti aku bisa hidup kembali di dunia nyata? [ ]
Gempol, 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017) dan Museum Anomali (Unsa Press, 2016).