Skip to main content

[Cerpen]: "Pohon Uang" karya Ken Hanggara


Gambar dari pixabay.com
(Dimuat di litera.id pada Sabtu, 21 Oktober 2017)

    Sejak keluar dari penjara, sulit bagiku mencari pekerjaan. Aku berkeliling ke setiap bagian kota kecil ini, tetapi tidak satu pun orang sudi mempekerjakanku. Akhirnya, aku hanya berakhir di depan televisi busukku, satu-satunya harta berharga yang tak disentuh oleh siapa pun selama aku dipenjara (karena benda itu sudah tua dan tidak mungkin laku dijual), dan menonton acara-acara tidak bermutu, lalu tidur sambil menahan lapar dari waktu ke waktu.
    Uang tabunganku selama bekerja menggotong tumpukan kertas atau membungkus produk-produk mebel di penjara tidak akan bertahan lebih dari dua tahun. Pada akhirnya semua uangku akan habis, dan jika itu terjadi, bagaimana caraku melanjutkan hidup?
    "Andai saja di dunia ini ada pohon uang, tentu tidak akan ada penjara. Orang-orang bisa menanam pohon uang mereka sendiri sehingga tidak perlu ada kekacauan di muka bumi," pikirku suatu ketika.

    Aku terus bertanya-tanya dan tidak ingin terjebak ke dunia kriminal. Aku putuskan tidak ada lagi kejahatan yang kulakukan demi uang. Tidak ada pohon uang di dunia ini, dan jika seseorang mengharapkan uang, maka dia harus bekerja. Tetapi, mencari kerjaan halal tidak mudah bagi orang sepertiku.
    Pernikahanku yang gagal setelah aku masuk penjara, orangtua yang tidak pernah mengakui keberadaanku, teman-teman yang secara pelan dan pasti menjauhiku hingga hilang sama sekali; semua itu adalah bukti betapa tidak berartinya hidupku. Aku hanya bisa melamunkan itu tanpa mampu memperbaiki segalanya.
    Karena televisi membosankan, kadang-kadang aku pun tidur, dan kurasa itu efektif untuk membuang pikiran-pikiran akan masa depan yang suram untuk sementara waktu, tetapi seluruh kesialan kembali menghadang setelah aku terbangun.
    Aku bangun dan menyadari, betapa setiap hari aku butuh makan dan minum. Tentu saja aku akan tetap berjalan ke beberapa bagian kota yang mungkin tidak tahu bahwa aku pernah dipenjara. Lalu, di tempat itu, seseorang sudi memberiku pekerjaan. Apakah ada suatu tempat yang menerimamu bekerja tanpa surat keterangan atau semacamnya?
    Aku tidak terlalu yakin dengan usahaku. Di suatu titik aku mengira dompetku tidak berisi uang. Tabunganku sudah berkurang terlalu banyak sejak aku bebas dari kurungan. Di depan sebuah toko yang baru saja menolakku, aku duduk dan menyalakan sebatang rokok terakhir. Seorang pengemis melintasi jalanan sepi di depan toko, dan terjatuh, lalu bangkit untuk kembali berjalan. Pengemis itu pincang, tapi seakan bisa berjalan seratus mil lagi tanpa henti
    "Sebaiknya Anda istirahat dulu, kalau tidak mau mati," kataku.
    Pengemis itu berhenti dan menatapku. Lalu, ia menoleh ke depan, ke arah yang dia tuju, dan setelah menghela napas panjang, dia putuskan duduk di sampingku. Aku tidak mengajaknya berbicara apa-apa lagi, tetapi pengemis itu mulai mengatakan soal mimpi lamanya.
    "Anda tahu," katanya dengan penuh antusias, "mimpi-mimpi saya itu sebentar lagi bakal terwujud! Dan, saya pikir, saya harus berterima kasih pada Anda."
    "Saya benar-benar tidak paham," kataku.
    Pengemis itu menjelaskan pertemuannya dengan seorang gadis yang dia curigai tak lain adalah malaikat. Gadis itu malaikat yang menyamar jadi manusia, begitulah yang ia katakan, sambil bersumpah bersedia kehilangan dua bola matanya kalau perasaan yang baru saja dia sampaikan ini dusta.
    "Saya benar-benar merasakan itu. Saya merasa dia memang malaikat."
    "Apa yang terjadi?"
    Pengemis itu pun menyebut-nyebut tentang pohon uang; sebuah gagasan yang tak pernah terwujud nyata di kehidupan fana, sebuah gagasan yang hanya ada di kepala para manusia yang membutuhkan masa depan yang jelas. Tentu saja aku heran; bagaimana ia atau gadis yang dianggapnya malaikat tadi dapat memikirkan hal yang sama yang juga aku pikirkan belakangan ini? Tapi, aku tetap diam dan menyimak kesaksian si pengemis ini dengan lebih saksama.
    Katanya, gadis itu mengerti sebuah tempat rahasia di mana seseorang bisa meraih mimpi terbesarnya lewat pohon uang. Pengemis itu mendapat informasinya begitu saja sebab si gadis iba. Gadis itu baru saja keluar dari sebuah rumah makan dan dicegat oleh pengemis berbadan penuh luka yang salah satu kakinya meleleh seperti karet dibakar ini. Namun, gadis itu memberinya syarat, "Jika Bapak mau, boleh saja pergi dan ambil uang sebanyak mungkin dari pohon uang yang tersedia agar Bapak dapat melakukan operasi atau apalah untuk tubuh Bapak, tetapi setidaknya ajaklah satu orang agar Bapak tidak lupa diri."
    Pengemis itu mengaku, sebelum kuperingatkan agar dia beristirahat dulu, dia benar -benar lupa tentang syarat itu. Dan karena itulah dia berterima kasih dan berharap diriku mau pergi bersamanya menuju ke pohon uang.
    "Saya benar-benar tidak mengerti," kataku setelah terdiam beberapa lama, karena ini sungguh aneh. "Anda main-main, ya? Saya tidak ingin kembali ke masa itu. Dan jika Anda bermaksud begini, bisa saja saya hajar Anda sekarang juga!"
    Aku pikir seseorang, entah siapa, sengaja meledekku karena aku tidak mendapat pekerjaan. Aku berdiri dan melempar rokok terakhir yang masih tersisa setengah batang, dan akan pergi meninggalkan pengemis itu sebelum dia menarik-narik celanaku.
    Dia bilang, "Saya juga tidak percaya. Tidak ada pohon uang di dunia ini. Itu setahu saya, tetapi gadis itu lugu dan bermata jernih, dan saya tahu dia waras. Dia benar-benar memberi kita informasi ini, dan saya harap Anda mau memenuhinya."
    "Kalau benar apa yang dia katakan, kenapa saya? Dan jika syarat itu berlaku untuk Anda, apakah saya juga harus mengajak seseorang?"
    "Itu terserah Anda. Tetapi, yang jelas, syarat itu ditujukan untuk saya, karena gadis itu bilang, jika saya pergi ke sana seorang diri, saya bisa kehilangan akal, dan saya tidak akan bisa mengingatkan diri untuk merasa cukup dan segera pulang dengan membawa mimpi-mimpi lama!"
    Entah apa yang ada di pikiranku. Segera saja acara-acara sampah yang memenuhi layar kaca mengelebat di otakku, dan kata-kata menyakitkan mantan istriku juga turut menyambangi. Segala luka dan kepastian akan sialnya hidupku di hari tua nanti jika aku tak berbuat sesuatu berdatangan dan menghantam pikiranku secara telak. Apakah semua ini cuma mimpi? Kupandangi kaki pengemis itu; benar-benar terlihat meleleh bagaikan karet. Dan baunya sungguh memuakkan. Aku pikir ini bukan mimpi.
    Kami pun pergi ke tempat yang dimaksud. Jaraknya dari toko tempat kami barusan ketemu tidak terlalu jauh; hanya dua mil saja, namun itu harus kami tempuh tanpa satu pun kendaraan. Kami berjalan dengan pelan dan pasti menuju arah itu, ke tepi kota kecil ini, ke sebuah danau yang jarang didatangi orang-orang karena konon kawasan itu ada yang memiliki. Properti pribadi yang dipagari secara khusus, yang mampu membuatmu terkena sengatan listrik jika berani main-main.
    Dan entah bagaimana semua ini mulai terasa masuk akal; apakah benar seluruh hal di pikiran manusia, yang aneh dan mustahil, tidak pernah benar-benar ada? Berbagai hal telah manusia temukan dan seluruh keanehan, seperti pesawat terbang, memang ada dan nyata pada masa kini. Mungkinkah pohon uang itu nyata?
    Pagar berlistrik itu memperkuat dugaan kami. Aku dan si pengemis curiga bahwa sang gadis adalah malaikat yang menjelma manusia untuk memberi pelajaran si pemilik properti agar tidak kikir sehingga menjaga pohon uangnya sedemikian rupa. Tentu saja aku sedikit banyak tahu tentang pemilik properti ini, yakni orang yang menguasai nyaris segala aspek kehidupan di kota ini, sekaligus orang yang kebal terhadap hukum dan apa pun yang terkait masalah keuangan.
    "Ya, siapa lagi kalau bukan wali kota korup itu?" bisik si pengemis sinis ketika dia mencoba mencari cara menjebol salah satu bagian pagar yang tak berlapis di pinggiran danau.
    Begitu usaha itu berhasil, kami bisa masuk tanpa tersengat dan mati. Kami telusuri tepi danau berkabut itu sampai kira-kira dua jam, lalu kami beristirahat karena berjalan terlalu lama. Pada pukul 23.00, setelah mencari lagi dan lagi, kami menemukan pohon yang dimaksud.
    Pohon itu terletak di dalam sebuah goa kecil yang agak menjorok ke bagian hutan, di tepi danau yang searah menuju kaki bukit. Kami masuk ke goa itu kira-kira sejauh lima belas meter sebelum menemukan pohon kuning yang menumbuhkan uang pecahan seratus ribu rupiah. Aku benar-benar tertawa dan takjub, dan memastikan bahwa uang itu memang terkait dengan bagian pohon tadi selaiknya berhelai daun. Dan kami makin takjub ketika memeriksa keaslian uang tersebut: dilihat, diraba, diterawang; sungguh, mereka benar-benar asli!
    Aku dan si pengemis melepas baju masing-masing dan membuat semacam karung dari itu, dan mengambil uang sebanyak yang kami sanggup. Pengemis itu berhenti saat hari mulai pagi dan dia terlihat telanjang bulat karena sarung yang harusnya dia kenakan, terpaksa dilepas demi menampung lebih banyak uang. Aku, yang membawa jaket ketika kemari, bisa membawa lebih banyak uang. Setelah pengemis itu pergi, aku masih sibuk dan akhirnya baru bisa pulang sore harinya.
    Tapi, tubuhku lelah. Aku tidur dan bangun besoknya. Begitu pulang, aku tersesat. Padahal, aku ingat betul kota kecil tempatku tinggal seharusnya berlawanan arah dengan bukit. Dan yang kutemukan malah sebuah kota dengan gedung-gedung pencakar langit. Sebuah kota modern yang belum pernah kulihat.
    Maka, kusembunyikan uangku, lalu kukenakan pakaianku, dan pergi ke suatu toko untuk bertanya. Aku baru sadar ada yang salah dari ini saat kulihat sebidang cermin di meja konter. Aku melihat diriku, tetapi bukan diriku yang dua hari lalu pergi dari rumah demi mencari suatu pekerjaan. Aku melihat wajahku benar-benar sudah tua dan seluruh rambutku tidak lagi hitam. Entah siapa yang patut kusalahkan. Pengemis itu? Gadis itu? Atau, diriku sendiri?

    Gempol, 26 September 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri