Skip to main content

[Cerpen]: "Pemasungan Mudakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Sulbar, Sabtu, 21 Oktober 2017)
 
    Dalam suatu kebakaran empat tahun silam Mudakir selamat, tetapi otaknya tidak seberes dahulu. Dia menjadi gila setelah melihat pacarnya sendiri terbakar hidup-hidup, sementara dirinya cedera dan tidak berdaya menolong siapa pun.
    Pada saat kejadian itu, aku tidak di kota ini. Aku masih memiliki pekerjaan di kota lain sebagai asisten editor di majalah ternama, namun setelah ditimbang ulang mengenai keadaan ibuku yang kesepian, sebab seluruh saudaraku telah menikah, aku pun kembali ke kota ini dengan pekerjaan baruku di sebuah kantor periklanan.
    Perkenalanku dengan Mudakir sebenarnya bukan terjadi baru-baru ini. Tentu saja, dia teman lamaku. Aku lahir dan tumbuh di kota ini, sehingga ketika kembali ke rumah yang berisi ibuku seorang, lalu kudengar kabar teman lamaku itu menjadi gila, aku pun sedih.
    Ibu bercerita dengan begitu jelas bagaimana Mudakir menjalani hari-hari awalnya setelah kebakaran. Anak itu murung dan sering bicara sendiri, bahkan tidak jarang dia memukul kepalanya dengan batu bata.
    Suatu kali, karena dikhawatirkan Mudakir tidak mampu menahan hasrat melukai diri dengan benda-benda yang jauh lebih berbahaya, keluarga dan warga sepakat untuk memasungnya.
    "Sebelum dipasung," jelas Ibu kepadaku, "Mudakir suka menginap di lokasi bekas kebakaran dan membuat bocah-bocah mengira temanmu itu hantu. Sebenarnya Mudakir tidak seburuk itu, tapi suatu hari orang benaran mengira dia hantu, sampai keluarganya datang dan memaksanya pulang."
    Aku tidak tahan lagi mendengar penjelasan ibuku tentang Mudakir, sehingga tanpa membuang waktu, begitu tiba di rumah ini dan mendengar kisah-kisah pilu itu, esoknya aku segera ke rumah orang tua Mudakir. Di suatu kandang kambing, teman lamaku itu dipasung dan kini penampilannya bukan hanya serupa hantu, tetapi juga siluman. Bau tubuhnya sungguh luar biasa dan hatiku berasa diiris-iris.
    Tentu saja, sebagaimana orang gila pada umumnya, lagak yang Mudakir mainkan tidak seperti lagak orang kehilangan akal; ia bertindak dan bersikap wajar di depanku, dan bertanya tentang kabarku seakan-akan kami bertemu di tempat yang wajar serta di dalam kondisi yang amat sangat normal.
    Aku tahu tindakan Mudakir ini tidak seharusnya kutanggapi dengan keliru. Maka, aku jawab saja pertanyaannya dengan jawaban sewajarnya, dan kuanggap pertemuan di kandang kambing ini adalah reuni sepasang teman lama yang telah bertahun berlalu tak pernah bersua. Demi mengimbangi sikap normal yang Mudakir tampilkan, aku bertanya juga tentang kegiatannya selama aku hijrah ke Jakarta. Ia bilang telah mendirikan usaha sendiri, tetapi gagal karena kebakaran.
    "Kamu tahu, setelah kebakaran itu, orang-orang menggila dan cemburu kepadaku, dan sekarang di sinilah aku," katanya dengan sangat tenang.
    "Oh, ya? Kenapa?"
    "Entahlah. Orang kena musibah harusnya diberi simpati, bukan malah dicemburui. Kukira kecemburuan itu keluar karena usahaku yang maju pesat, lalu seseorang dengan tega membakar habis semuanya. Setelah itu, seseorang itu menghasut orang-orang lain di desa ini agar cemburu juga kepadaku, dan dengan demikian mereka memasungku!"
    Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi kupikir sebaiknya aku alihkan obrolan ini ke topik lain. Mudakir menanggapi pengalihanku dengan pengalihan juga, sehingga saat kunjunganku ke kandang kambing ini mencapai menit kesepuluh, entah sudah berapa topik kami singgung, namun tak pernah benar-benar kami dalami.
    Aku sedih melihat kondisi teman lamaku yang begini, dan begitu selesai pamit, aku tidak langsung pulang, melainkan mampir ke rumah keluarga Mudakir dan bertanya apa pun di sana yang kiranya tidak ibuku ketahui sehingga tidak juga sampai ke telingaku.
    "Mayatnya benar-benar gosong. Saya pikir itu bukan pacar Mudakir, tapi tentu saja saat itu dia masih waras," jelas sang kakak, yang sudah berkeluarga dan memiliki empat orang anak, begitu pembicaraan kami sampai ke soal kekasih Mudakir.
    Yang menemuiku adalah kakak kandung Mudakir serta sang ibu. Mereka mengenal diriku dengan akrab karena sejak dulu, sejak aku dan Mudakir duduk di bangku SMP, aku sering mampir kemari untuk sekadar bermain tebak-tebakan.
    Ibu Mudakir tampak tidak begitu rispek pada kisah mengenai kekasih anaknya, dan aku tidak tahu kenapa. Aku hanya merasa itulah yang sang ibu pikirkan; bahwa kekasih Mudakir adalah penyebab kegilaan anaknya, dan bahwa kekasih Mudakir jugalah yang akhirnya membuat usaha yang baru saja maju setelah dirintis empat tahun oleh Mudakir, ludes dilahap api.
    Mestinya beliau tahu betapa semua itu adalah musibah. Bukankah kekasih Mudakir malah meninggal? Dan bukankah kebakaran itu tidak disebabkan olehnya? Kalau saja kematian itu dianggap sumber kegilaan anaknya, tentu tidak bakal ada yang menyangkal betapa Mudakir sebenarnya terlalu mencintai sang pacar. Adakah mencintai seseorang terlalu berlebihan itu salah?
    Setelah beberapa menit kami mengobrol, aku baru tahu kalau ternyata pacar teman lamaku itu pribadi yang senang memeras. Segala macam hal harus dituruti; itu kalau si Mudakir tetap ingin bersamanya.
    "Suatu kali dia mengancam mau tidur dengan lelaki lain kalau keinginannya tidak dituruti," sambung kakak Mudakir yang juga terlihat kesal. "Dan, kamu tahu apa yang ia minta?"
    Aku menggeleng pelan.
    "Ia minta rumah dengan surat-surat kepemilikan yang sah atas nama dirinya! Lha, memangnya dia siapa? Kawin saja belum, sudah minta yang aneh-aneh!"
    "Kalau mereka sudah akan kawin, mungkin itu masih wajar, ya?" celetukku tanpa sadar.
    "Oh, tidak! Sudah bolak-balik Mudakir mengajak anak itu kawin, tetapi alasannya selalu belum siap! Aku curiga kalau sebenarnya dia sudah main di belakang dan adikku tidak pernah tahu!"
    Aku tak tahu lagi harus menyahut bagaimana dan sementara kudengar sang kakak mengoceh panjang lebar tentang keburukan mendiang kekasih Mudakir, ibunya terlihat tidak enak badan dan pada akhirnya mohon diri untuk beristirahat. Aku jadi tidak enak, karena kedatanganku kemari malah menguak luka lama yang coba mereka sembuhkan. Tentu saja dua anak beranak ini tidak menyatakan aku bersalah.
    "Kami malah senang kamu datang dan bertanya apa pun soal Mudakir. Kapan lagi kamu bisa kemari kalau bukan pas liburan begini, kan?" kata sang kakak.
    "Wah, bukan liburan, Mbak. Memang sengaja pindah kemari karena Ibu sekarang sendiri."
    Begitu mendengar aku kini tinggal di desa ini seperti dulu, kakak Mudakir tampak senang. Kami mengobrol beberapa lama lagi dan akhirnya aku pamit pulang. Setelah itu, sering aku mampir ke kandang kambing Mudakir dan bertanya kabarnya, serta menjadi pendengar setia kisah-kisah melanturnya tentang seorang kekasih baik hati yang mati.
    Dalam salah satu kunjungan, Mudakir bersumpah, "Tidak ada kekasih sebaik itu di langit dan bumi. Demi Tuhan, tidak ada."
    Aku hanya dapat menghela napas berat. Tentu saja baik kakak maupun ibunya tak pernah berbohong soal kekasih Mudakir. Dan tentu saja, teman lamaku ini tahu dengan mata kepalanya sendiri, selama dia masih waras dahulu, bahwa kekasihnya adalah satu- satunya bencana yang secara sadar dia masuki hingga kebakaran itu terjadi.
    Kunjungan-kunjunganku ke kandang kambing di mana Mudakir dipasung pun jadi rutinitas tersendiri; ibuku sampai hafal bahwa pada hari-hari tertentu, jika jam pulangku agak terlambat lima belas menit, itu artinya aku baru saja mampir ke tempat temanku.
    Aku juga lumayan sering menengok lokasi kebakaran itu, yang sekarang tentu saja sudah tidak lagi gosong, melainkan tampak sebagai tanah kosong dengan bekas pondasi bangunan yang tak utuh dan dirimbuni tumbuhan liar.
    Pertemuanku dengan Mudakir versi baru ini, yang sinting dan bicara dengan gaya laki-laki waras, meski dalam situasi yang tidak normal, secara pasti mengukuhkan satu hal yang sejak dulu kutakutkan, yakni tentang membina hubungan dengan perempuan mana pun.
    Aku tidak pernah yakin menjalin percintaan dengan perempuan mana pun, karena tidak tahu apakah mereka mau mencintai ibuku sebagaimana aku mencintainya? Dan, kini ketidakyakinan itu malah menggelembung setelah melihat kejadian memilukan di kehidupan teman lamaku. Bagaimana jika perempuan yang kupilih salah? Bagaimana jika kelak malah membuat ibuku menderita sebagaimana ibu kandung Mudakir?
    Agaknya Ibu membaca ini setelah sekian bulan kunjungan-kunjunganku ke tempat Mudakir, dan serbuan pertanyaan tentang 'kapan jodoh yang kujanjikan itu kuhadirkan di hadapan beliau', mulai terasa bagaikan teror yang melahirkan mimpi buruk. Ibu tidak lagi suka dengan jadwal rutinku mengunjungi Mudakir, dan secara terang-terangan tidak senang dengan keputusanku menunda menikahi anak gadis seseorang.
    "Saudara-saudaramu sudah menikah semua, dan sekarang tinggal kamu, Nak. Ibu tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang kalau kamu belum bahagia," katanya.
    "Tapi, Bu, pernikahan tidak menjamin kebahagiaan."
    "Tahu dari mana kamu? Memangnya kamu ini Tuhan, bisa mengerti masa depan?"
    Aku tidak bisa menjawab tangkisan ibuku, karena kurasa memang ada benarnya.
    Aku hanya berharap, jika saja ini dapat membuat ibuku bahagia, kelak jodohku itu datang dengan cara yang tepat. Aku tidak tahu bagaimana itu; keadaan ini cukup susah sebab aku tidak pernah berpacaran dan tidak tahu cara mendekati seorang gadis.
    Di tengah kebimbangan ini, tanpa sengaja, Mudakir yang gila malah memberi satu solusi: "Carilah gadis yang tahu bagaimana menyayangi anak-anak dan orang miskin. Ia akan jauh lebih baik ketimbang dengan gadis mana pun yang paham cara merawat dan menjaga tubuhnya agar terlihat selalu menawan di matamu!"
    Aku tidak tahu apakah solusi itu tepat, tetapi Mudakir yang tanpa diminta dan tidak tahu masalahku ini, berkata sedemikian rupa. Kurasa, dengan berbagai saran tambahan dari teman-teman lain, aku dapat mencari perempuan yang tepat. Memang, semua butuh waktu dan tidak harus buru-buru. []
   
    Gempol, 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri