Skip to main content

[Cerpen]: "Masih Bernyawa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 15 Oktober 2017)
 
    Tubuhku sudah sangat rusak dan aku tahu itu. Aku dapat merasakan sesuatu yang jahat menggerogoti tubuhku menit demi menit, dan mungkin besok lusa aku sudah mati. Kubayangkan organ tubuhku habis dimakan benda jahat yang entah berbentuk apa, yang berada di rongga badanku, kemudian aku seperti mumi. Aku tahu, jika aku mati tidak ada yang peduli. Aku membusuk dengan cepat dan mengering seperti daun rontok. Tak ada yang menangis.
    Aku masih hidup. Heran juga. Kenapa tidak ada yang membunuhku saja? Kenapa aku hidup jika harus semenderita ini? Di sini tidak ada tempat hangat. Semua rumah dan gedung menutup diri dari gelandangan sepertiku. Aku bukan penjahat, tetapi Anda tidak boleh percaya begitu saja kepada orang yang datang tanpa pekerjaan, juga tanpa sanak famili. Memang begitu seharusnya. Kiranya orang-orang sangat tepat memperlakukanku begitu. Hei, manusia, jangan pedulikan aku agar kalian tidak celaka! Seakan itulah yang kemudian ingin kukatakan ke seluruh orang yang kutemui.
    Di kota ini aku sendirian dikarenakan satu hal yang tidak bisa kukatakan. Aku tidak punya tempat tinggal tetap karena uangku habis. Sebelumnya aku bekerja di satu tempat yang membuat tenagaku terkuras. Aku membungkus dan membungkus kado setiap hari. Aku berangkat selepas subuh dan pulang dua belas jam kemudian. Aku pergi ke pabrik pengemasan laknat itu, dan di sana aku terus membungkus. Kertas-kertas kado itu tidak berguna, kataku dalam hati, tetapi terus saja kubungkus berbagai kado dan kulihat setiap lembar kertas tertawa di depanku. Aku tahan emosiku. Kalau aku tidak membungkus, aku dipecat dan tidak makan.
    Tapi, aku tidak becus juga. Berapa bayaranmu? Itu kudengar dari induk semangku. Tidak banyak, tetapi lebih dari cukup untuk membayar sewa kamar di rumah Anda. Lalu kukeluarkan segepok uang dari sakuku, dan lunas sudah uang sewa sebulan penuh. Aku tahu semua akan baik-baik saja, karena ada tempat tidur dan sebuah kursi tua di pojok ruangan yang bisa kupakai untuk duduk melepas lelah sepulang dari pabrik.
    Aku juga bisa pakai kursi tua tersebut untuk melamun sambil memandangi jendela di kamar. Akan kupandangi jalan di luar sana dan ada seorang perempuan yang datang kepadaku dan bilang, "Nikahi aku." Lalu kami ke gereja dan resmi menjadi pasangan suami istri, dan punya anak. Aku disuruh menumpang di tempat mertuaku dan aku tidak perlu cemas tentang makanan. Tapi, aku terlalu banyak berkhayal dan gigiku patah dua di bagian depan dan samping, secara tidak sengaja di masa lalu, sehingga sering semua gadis mengira umurku sekitar tujuh puluh empat. Aku sedih mengingat insiden yang membuat gigiku patah, dan semakin sedih saat tahu tidak ada uang tersisa untuk makan pada suatu hari. Gajiku benar-benar tidak cukup.
    Aku pergi ke tetangga yang punya seekor kuda dan kukatakan aku dapat membantu apa saja sebagai tambahan uangku. Tetapi, cuma sebentar aku disuruh pulang. Aku tidak biasa mengurus kuda. Kamu memang lelaki, tapi kamu tidak biasa mengurus kuda, dan di sini tidak ada bebek seperti yang kamu harapkan, kata tetanggaku yang baik.
    Lalu aku pergi dan dapat kerja sampingan.
    Di dapur suatu rumah makan aku berdoa pada Dia, sang pencipta, agar memberiku kelancaran. Di sini tidak ada kuda, ya, Tuhan, dan hanya makanan, kataku dengan amat khusyuk. Hampir segala makanan kujajal waktu masih makmur dulu, sebab orangtuaku orang berada. Aku ditempatkan di dekat piring kotor. Kupecahkan lima dan kemudian berpuasa dua hari untuk menggantinya, dan tidak lama kemudian disuruh pulang. Aku memohon dengan cara kelewatan, lalu aku diusir. Aku berpuasa, kataku dalam hati. Dua hari dapat kutahan. Di pabrik keparat itu aku tetap bekerja dan merasa diriku melayang. Lembar demi lembar kertas kado tertawa makin keras. Dua hari tawa mereka membuat kupingku berdengung.
    Setengah mati! Tidak pernah puasa dan sekalinya coba, berasa maut menyambarku. Kubayangkan maut itu berbentuk lelaki dengan pacul di tangannya. Dia bukan ingin ke sawah, tetapi ke kamarku dan menyambar nyawaku dalam sekali tebas. Tetapi pagi-pagi kusadari aku hidup dan bisa berjalan meski tidak keruan rasanya. Ke pabrik kado, Bos, kamu harus ke sana dan cari uang. Tapi aku tidak sanggup. Hari keempat, hari kelima, aku merasa seperti lelaki tua menjelang mati. Di kepalaku ada lonceng besar dan benda itu terus bergoyang ke kiri dan kanan tiada henti. Tang-teng-tang-teng. Bajingan!
    Aku pergi mencari kerja lagi. Dan gagal lagi. Memang mencari kerja di kota asing, dengan pengalaman minim bukan perkara gampang. Mencari kerja tidak seperti mencari masalah. Dan yang kudapat adalah masalah demi masalah.
    Sebulan itu hanya beberapa yang dapat kukerjakan dan aku lebih sering menahan lapar. Aku tidak dipecat dari pabrik laknat itu hanya karena pemiliknya kasihan. Tapi gajiku tetap saja tidaklah cukup. Aku harus membayar tempat tinggal. Kalau tidak, aku menggelandang. Kalau kucukupi kebutuhan makananku, aku tidur di luar seperti anjing liar. Aku tidak mau tidur di luar, jadi kelaparan melandaku hampir setiap hari. Jika tidak ada yang kumakan, aku tidak ingin mencuri, karena aku tidak biasa. Aku tahu itu dosa, dan Tuhan mengawasi. Jika kutentang Dia, kuduga bakal lebih sulit hidupku.
    Aku hanya akan mencoba membuat orang iba, tapi itu juga membuatku agak tidak nyaman. Aku tidak ingin mengemis, karena harga diri. Tapi, aku bersikap seakan aku ini lemah dan tidak punya uang.
    Orang-orang sesekali memberiku uang, dan makan malam dua hari sekali kurasa lumayan. Perutku benar-benar berisi pabrik lem. Suatu hari pabrik itu kebakaran dan aku merasa kacau dan sangat ingin memukul seseorang. Hanya saja, untuk mengepalkan tangan aku tidak kuat.
    Suatu malam di bulan kedua, aku merasa mual dan minum air putih amat banyak. Mungkin sepuluh liter. Aku tidak bisa menghitung, karena otakku jadi sangat loyo sebab kurang nutrisi. Pokoknya aku minum air yang banyak, lalu muntah-muntah.
    Induk semangku sebenarnya orang yang baik. Dia sering ke gereja dan aku tahu dia membawa uang di kantungnya. Ia selalu memandangku dan berkata: Nak, kamu harus makan. Ini kuberi sekadarnya, dan kamu harus mengisi perutmu yang melengkung itu. Dan apakah perlu kami beri keringanan untuk biaya sewa kamar?
    Oh, tidak perlu, Tuan, kataku. Anda 'kan harus membiayai segala macam keperluan di sini, dan keluarga Anda penuh anak kecil. Tidak perlu Anda bantu saya. Asal Anda tahu, saya ada uang. Saya ini sebenarnya hanya latihan tidak makan dan tidak minum untuk beberapa hari, karena ingin merasakan penderitaan orang-orang marginal. Saya bersahabat dengan kaum ini, dan suka mengajak mereka berbuka puasa di tempat yang lumayan jauh dari sini. Saya tahu, dunia ini begitu kejam kepada kaum marginal. Dunia ini benar-benar biadab, Tuan. Anda tahu?
    Pada akhirnya, karena tidak kuat berbohong terus menerus, dan tidak sanggup lagi kubuktikan bahwa keadaanku memang tidak kekurangan uang, aku pergi dari tempat itu, dan mencari kamar baru untuk kutempati. Tapi, mungkin Tuhan sedang mengujiku. Hari itu beberapa karyawan pabrik kado ribut. Ada kehilangan uang. Sepuluh juta rupiah di laci bendahara! Siapa yang biasa ke sana? Oh, Andre? Tidak, bukan saya! Semua orang memandangku dengan curiga.
    Harus kuakui aku tidak mencuri. Tapi, memang aku sering ke sana, karena di sana ada termos untuk air panas dan dispenser dan stoples berisi gula pasir, sehingga ketika butuh mengisi cairan tubuh, dapat mudah tanpa harus ke kantin yang melewati lokasi parkir dengan jarak kira-kira, menurut penghitunganku yang alakadarnya, dua puluh mil. Ruang itu tempat terdekat dengan gudang tempat membungkus kado-kado keparat dan aku harus hemat tenaga karena jarang makan. Aku bisa mati kalau berjalan terlalu jauh.
    Maka kukatakan bahwa bendahara tahu kebiasaanku dan memang dia memberiku izin khusus. Aku tahu kamu jarang makan, dan mungkin akan mati kalau jalan ke kantin; itulah yang dia katakan tempo hari.
    Sekarang, ketika uang hilang, aku yang kena. Aku dianggap tidak bersyukur, dan kurang pintar mencari kerja sampingan seperti yang buruh-buruh lain lakukan. Pabrik keparat itu tidak ada di jadwal harianku. Mereka menyuruhku pergi selamanya tanpa dibawa ke polisi. Aku tahu dari seorang kenalan, itu sengaja dirancang karena mereka ingin aku pergi, sebab kertas-kertas kado yang kulipat tidak ada yang beres!
    Malam ini, setelah entah berapa lama sejak kejadian di pabrik tersebut, aku sangat lapar. Kucari-cari dengan mataku yang terlatih, di seberang jalan sepi ini; adakah rumah yang masih menyala?
    Di titik yang jauh, kulihat seberkas cahaya. Di sana barangkali saja ada makanan. Mungkin penghuninya adalah keluarga lengkap dan tidak mungkin keluarga macam itu tidak punya makanan. Anak-anak harus selalu makan. Jadi, aku pergi ke sana.
    Tetapi, yang membukakan pintu itu adalah seorang kakek yang berumur kira-kira dua ribu tahun. Ia sangat tua dan keriput, dan sepertinya hidup sebatang kara. Aku kesal karena tidak kuat terhadap semua cobaan ini. Kubayangkan kulitnya kucerabut dari sana untuk kubawa ke tukang loak di dekat bioskop. Mana laku kulit busuk itu? Bau tanah! Anda dapat dari mana, he? Kubayangkan si tukang loak memarahiku dan menuduhku pengikut setan. Oh, tidak. Jadi kubiarkan kakek itu berdiri di sana, di pintunya, dan aku minta maaf sebelum melanjutkan langkah.
    Toh aku masih kuat berjalan. Malam yang sangat dingin. Di mana Anda bisa tidur di malam yang sangat dingin tanpa tempat tinggal dan sanak famili? Kukira tidak lama lagi aku mati.
    Aku pergi dan tanpa sadar melangkah masuk ke sebuah kuburan dan tidur di atas salah satu batu nisan. Badanku beku dan perutku mulas. Aku mengejan dan berak tanpa melepas celanaku. Aku menangis seperti bocah sekaligus lelaki tua yang tidak memiliki harapan apa pun di muka bumi ini.
    Ya, Tuhan, ada kerikil di celanaku. Dan aku sadar aku belum mati! [ ]
   
    Gempol, 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri