(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu-Minggu, 23-24 September 2017)
Ikan-ikan di akuariumnya mati. Ia pikir, memang bukan saatnya lagi memelihara ikan. Selain karena daya hidupnya sebagai orang terbuang kian menipis, ia juga tak lagi punya banyak uang buat mengurus ikan-ikan hias.
Sejak itu, Mudakir, sang mantan buangan, memutuskan hidup sebatang kara seperti seharusnya, atau seperti yang selayaknya terjadi sejak bertahun-tahun silam. Ikan-ikan yang sudah mati itu, demi Tuhan, jadi kawan terakhir Mudakir.
Mudakir tidak punya kawan lagi sejak bebas dari penjara, kecuali berbagai macam hewan rumahan yang ia pelihara, yang datang pergi silih berganti karena maut. Di sini, di tempat yang belasan tahun ia tempati, orang tidak tahu ia salah apa di masa mudanya. Hidup begitu lama, terlalu lama bagi seorang bermasa lalu kelam. Ia malas menghidupi hari dengan makanan sehat dan pola hidup beriman.
Mudakir biasa bangun jam delapan atau sembilan pagi, menguap lebar-lebar dan membuka jendela kamar sampai cahaya matahari membuat mata tuanya pedih. Lalu, memakai singlet dan celana pendek, ia ke warung di pertigaan. Pertigaan itu dekat gang utama, dan rumah yang Mudakir tempati berjarak tiga rumah dari gang yang dimaksud.
"Jangan banyak-banyak santanlah, Pak. Ingat umur," tegur pemilik warung selalu. Bu Kosasih namanya. Wajahnya mirip badut, sebab kebanyakan bedak. Dan bau wanita itu persis karamel.
Mudakir tidak peduli dan tahu ucapan itu hanyalah basa-basi. Memang siapa peduli hidupnya? Ikan-ikan di rumahnya saja tidak. Jadi, santan berciduk-ciduk tidak pernah absen.
Setelah ikan-ikan itu mati, praktis tidak ada tambahan kegiatan di pagi hari bagi si terbuang, yakni memberi makan ikan-ikan. Biasanya, akuarium dibersihkan satu bulan dua kali dengan membayar anak tetangga yang hobi bolos sekolah.
"Pekerjaanmu bagus," kata Mudakir, waktu pertama si bocah disuruh. Akuarium itu kinclong seperti baru. "Dua minggu lagi balik. Ingat itu. Duitnya segini."
Lalu lelaki tua itu menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan buat si bocah. Girang sekali anak itu dan melompat-lompat pergi ke tempat game online.
Ke depan, sudah pasti anak itu harus mencari sumber baru, biar bisa terus bermain game, sebab Mudakir tidak bakal memberi uang cuma-cuma. Empat puluh ribu sebulan. Lumayan buat main game. Ini belum termasuk mengakali ibunya yang kurang teliti, dan tentu uang empat puluh ribu berarti surga bagi bocah nakal sepertinya. Memang betul begitu kenyataannya. Anak itu sedih saat mendengar kabar kalau ikan-ikan hias Kakek Mudakir mati.
Mudakir tidak sedih, tetapi sepi. Ia pulang dari warung, mampir dulu ke rumah si Yunan dan bertanya soal istrinya yang hamil tua. Lalu, kalau ada waktu, ngobrol dulu dengan Bung Timo, yang dahulu pernah ikut perang dan sekarang sakit paru-paru. Itu saja yang bisa Mudakir perbuat. Tidak lain-lain. Terlalu lama jadi manusia kamar, lelaki tua ini tidak terbiasa bersosialisasi ke lingkaran pergaulan yang lebih luas, sekalipun itu sekadar kumpulan kaum marginal.
Begitu sampai rumah, Mudakir duduk di teras sampai jam sebelas siang. Ketika azan zuhur terdengar, ia masuk ke dalam untuk mandi dan mendandani diri dengan kaus oblong bersih yang diambil dari lemari kayu berbau kamper. Di lemari itu ada banyak sekali kenangan masa mudanya yang tidak ingin Mudakir buang, tetapi juga tak sudi ia putar ulang.
Mudakir tahu di antara sekian banyak kenangannya, hanya foto mantan kekasihlah yang paling sulit ia lupakan, sekalipun ia enggan membuangnya. Kekasih itu pergi saat ia dipenjara dan menikah dengan musuhnya, dan hidup bahagia. Sekarang barangkali sudah punya cucu banyak dan mungkin sudah pula mati serta dikubur entah di mana. Ia sama sekali tidak peduli, meski diam-diam masih menendam harap bahwa semoga suatu hari nanti mereka bisa ketemu lagi.
Maka, azan zuhur adalah puncak dari rasa sakit akibat hidup sebatang kara. Setelah itu Mudakir keluar lagi mencari makan. Ke warung Bu Kosasih dan ganti menu tempe goreng sambal terasi. Pakai kuah pastinya. Makan tanpa kuah, bagi lelaki tua buangan ini tidaklah lengkap. Bagi musik dangdut tanpa seruling. Bagai musik rock tanpa drum. Dan seterusnya... dan seterusnya.
Selesai makan, Mudakir duduk sejenak di depan warung. Hawa siang yang terik, enak buat merokok. Jadi, ia raih wadah rokok di saku celana, dan mulai merokok. Itu kalau belum habis. Kalau sudah habis, terpaksa beli di mini market yang berjarak dua gang dari gang utama dusun.
Hari itu, setelah ikan-ikan di akuariumnya mati, Mudakir kehabisan rokok dan ia berjalan ke mini market. Sialnya, pertengahan jalan baru ingat dompetnya ketinggalan. Tidak ada uang, jadi tidak mungkin beli. Pinjam tukang parkir seharusnya bisa, tetapi status lama sebagai orang terbuang yang dipenjara di tempat jauh, dan diberi siksaan berbagai rupa, membuat Mudakir tidak suka berutang kepada siapa pun. Kalau ia mati seperti ikan-ikan di akuarium sebelum sempat melunasi utang, bisa masuk neraka nanti. Maka, ia pun pulang dengan perasaan sepi sekaligus sebal.
Setiba di rumah, memandangi bangkai ikan-ikan yang belum dikubur, hati Mudakir sesak. Demi Tuhan, tidak ada lagi teman baginya dan ia sudah terlalu tua untuk urusan hidup dan membangun cita-cita besar seperti di masa mudanya. Ia sudah selesai sejak dulu. Ia tahu itu. Ia sadar, setelah kematian semua ikan hiasnya gara-gara salah memberi makan, segalanya menjelang tutup buku.
Ikan-ikan mati ini, ialah yang mengubur. Kalau giliran nanti dia mati, siapa yang mengubur? Lelaki tua ini menangis tanpa seorang pun tahu. Ia pikir ketika dirinya mati tidak bakal ada yang tahu. Mungkin dua sampai tiga hari baru orang tahu. Itu pun jika mujur. Bisa seminggu atau sebulan jika Bu Kosasih mendadak dibuat pikun oleh Tuhan, sehingga tidak ingat bahwa ada lelaki tua yang makan di warungnya setiap hari, tak peduli di hari puasa.
Memang berlebihan berpikir sejauh itu, tetapi Mudakir bermimpi tubuhnya yang mati kelak dirubung belatung sampai busuk, dan barulah orang tahu ia meninggal dari bau busuknya.
Membayangkan itu membuat sore hari terasa setengah buram. Mudakir tidak ingin ke mana-mana dan hanya duduk memandangi akuariumnya. Ketika tahu ikan-ikan itu mati dan tidak ada lagi makhluk hidup lain di rumah tersebut selain dirinya, cicak, tikus, dan semut, Mudakir mengira ia harus mempersiapkan diri.
Mudakir mengambil tasbih pada malam-malam sesudahnya dan mulai berzikir dan ingat lagi tentang masa mudanya di penjara yang penuh dengan siksaan. Ia dulu serupa binatang, atau paling tidak: dianggap bukan manusia.
"Padahal aku bukan hantu dan aku tidak pernah menipu orang lain," pikirnya.
Jika saja masa mudanya ia bernasib sedikit lebih baik, barangkali tidak pernah ada rasa takut mati sebatang kara, dan tidak ada pula ikan-ikan dalam akuarium yang biasa ia pelihara. Tidak ada warung Bu Kosasih setiap pagi dan siang hari, jika ia tidak kuat berpuasa selama Ramadhan, serta tidak ada para tetangga yang selalu membicarakannya, bahwa Mudakir adalah lelaki tua yang patut dikasihani.
Hanya saja, ia tak bisa memilih menjadi siapa ia di masa mudanya.
"Sejarah sungguh penuh dengan permainan, dan aku tidak berdaya karena akulah pelaku sejarah itu sendiri," sesalnya. [ ]
Gempol, 23 Juni - 26 Juli 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media cetak lokal dan nasional.