(Dimuat di detik.com, Sabtu, 9 September 2017)
Aku melihat jendela bulat itu. Ikan-ikan berkejaran. Biru jernih melenakan. Sama seperti dulu. Hanya mungkin tidak ada anak-anak. Tidak ada teriak dan gelayut manja.
"Ikan-ikan itu mungkin seperti kita, saling bertanya bagaimana cara makhluk di balik jendela ini makan, atau apa yang mereka pikirkan tentang kita?"
Aku tidak bisa melupakan kalimat itu. Kalimat yang kamu pakai untuk membuat anak-anak terpana, merajuk ingin melihat pemandangan lain dari sudut lain, yang lebih menakjubkan dan ajaib.
Ah, ikan-ikan penuh warna. Keindahan bahari kusuka, tapi kamu jelas salah meski lebih pintar. Aku malu. Apa yang kamu tanyakan padaku? Apa aku seorang peneliti? Kacamata tebal ini kudapat karena terlalu sering aku berpikir soal uang. Kerja, kerja, kerja. Dan aku bukan peneliti. Setiap manusia harus memberi jaminan untuk dirinya sendiri. Jaminan bahagia di hari tua.
Tapi perkenalan itu mengubahku. Seperti mimpi yang tidak sengaja. Bukankah setiap orang sering pergi untuk menjemput mimpinya? Tapi tidak denganku. Berkat sifat sok tahumu, ini jadi mungkin, dari yang tadinya tidak mungkin. Ingat betapa malunya kamu ketika aku menggeleng seraya tersenyum? Mukamu merah, Sayang. Tapi, kamu tidak tahu jantungku berdebar, tepat saat kamu meminta maaf karena salah duga. Telanjur berjabat tangan dan menyerahkan nama indahmu untuk kusimpan di otak. Siapa sangka aku dekat denganmu sejak itu, yang dicinta dan disukai anak-anak kecil?"Ikan-ikan itu mungkin seperti kita, saling bertanya bagaimana cara makhluk di balik jendela ini makan, atau apa yang mereka pikirkan tentang kita?"
Aku tidak bisa melupakan kalimat itu. Kalimat yang kamu pakai untuk membuat anak-anak terpana, merajuk ingin melihat pemandangan lain dari sudut lain, yang lebih menakjubkan dan ajaib.
Ah, ikan-ikan penuh warna. Keindahan bahari kusuka, tapi kamu jelas salah meski lebih pintar. Aku malu. Apa yang kamu tanyakan padaku? Apa aku seorang peneliti? Kacamata tebal ini kudapat karena terlalu sering aku berpikir soal uang. Kerja, kerja, kerja. Dan aku bukan peneliti. Setiap manusia harus memberi jaminan untuk dirinya sendiri. Jaminan bahagia di hari tua.
Sayangku, waktu itu aku berpikir, jendela bulat adalah awal.
Jendela bulat jadi pembahasan kita di hari-hari sesudahnya. Di meja makan, di rumah, di telepon, di mana pun. Di balik akuarium ikan-ikan saling berkejaran, saling bercanda, seperti kita. Candamu juga sama: mungkin ikan-ikan itu seperti kita, saling bertanya tentang makhluk di balik jendela kaca: "Apakah mereka berpacaran?"
Hmm, mungkin Tuhan membawaku ke jendela agar dapat membuka awal yang baik. Jiwaku terpasung oleh ambisi dunia. Dan ketika kamu datang, debar itu tidak lagi soal mengejar target uang, uang, dan uang, melainkan semata soal menunggu janji manis perjumpaan.
Hari demi hari, bulan demi bulan, kita dekat. Kamu tahu perubahan tidak hanya terjadi padaku, melainkan juga keluarga besar. Mereka merestui kita. Mereka tahu kamu tukang sihir dari negeri antah berantah, dari sebuah tempat yang indah di bawah laut sana, yang berhasil menyulapku menjadi pribadi yang luwes.
"Dulu kamu jalan tol, sekarang kamu jalan di perbukitan dengan aroma surgawi," kata mereka, yang kuanggap adalah pujian untukmu; penyebab dari semua akibat baik.
Dan tentu: jendela bulat! Tanpa jendela bulat tempat ikan-ikan penuh warna itu, kisah ini tidak akan ada. Atau selamanya aku hanya akan sehambar jalan tol, yang hanya ditebari tiang lampu di kiri-kanan, tanpa tahu di depan sana ada apa, kecuali kepastian setiap manusia menuju tua dan mati, sebelum masuk ke kehidupan abadi. Apakah yang demikian, jika berjalan tanpa cinta, akan sangat menyedihkan? Aku tidak tahu, Sayang. Kamu hadir untuk memustahilkan kemungkinan itu. Kamu hadir memberi cinta.
Cinta dalam jendela bulat, bisikku yang kamu sahut dengan cubitan mesra. Kalau bukan karena kesupelanmu, jendela bulat tidak mungkin menyatukan. Kurasa aku layak berterima kasih. Terima kasih karena kamu punya sihir yang melenakan anak-anak itu, yang membuat mereka mengelilingimu, meski mereka tidak kamu kenal.
Ada banyak pengunjung di ruangan itu, tapi kamu mendongeng untuk mereka tentang ikan-ikan di balik jendela yang bicara dan berpikir sebagaimana manusia. Aku diam dan memerhatikan.
"Karena itu, kupikir kamu peneliti," katamu di suatu sore.
"Berarti aku harus melepas kacamata ini, atau membuangnya."
"Kenapa?"
"Karena bisa saja ada perempuan lain datang dan bertanya hal yang sama."
Kamu cemberut, tapi tertawa karena sadar yang demikian karena jendela bulat itu terlanjur menyimpan wajahmu. Ya, hanya wajahmu.
Andai kamu tahu, Sayang, kalau jendela bulat kali ini bukan mimpi, sudah sejak tadi kita putar kembali kenangan menyenangkan itu. Berdua. Ya, berdua. Ikan-ikan di sini seperti ikan-ikan di masa lalu, yang kamu tuduh aneh-aneh. Mana bisa ikan berpikir dan bicara selayaknya kita?
Aku senang. Sah saja tuduhan itu, karena kita tidak bisa hidup sehambar jalan tol, tidak ada naik-turun, tidak punya kejutan, lebih-lebih: tidak punya rasa. Karenanya pula, kamu hapus hambar di jiwa. Kamu membuatku paham hidup memang begini. Bahwa membayangkan ikan-ikan berpikir seperti manusia, meski tak mungkin, dapat diterima oleh hati dan akal yang dilanda cinta.
Di sini tidak ada anak-anak. Di sini tidak hangat. Bukan hanya karena tidak ada kamu, tapi karena jarak kita semakin jauh, sejauh ujung jalan sehingga aku merasa beku. Aku mencintaimu. Kamu mencintaiku. Itu berlaku hingga detik ini. Aku tahu. Tapi jendela ini membuatku gundah. Ikan-ikan tidak saling berkejaran. Mereka benar-benar berpikir, Sayang. Mata-mata bulat mereka yang lucu seperti menangis. Ada apa ini?
Ah, dari mana aku tahu ikan menangis? Aku bukan peneliti, kamu tahu itu. Atau apa memang ikan bisa menangis? Apa air mata ikan berwarna, sehingga bisa dibedakan antara air tempat mereka hidup dengan air kesedihan yang keluar dari celah bola mata itu? Kalau benar, yang aneh justru aku; dari mana aku bisa membedakan kedua warna itu, sedang dunia ini hanya penuh air sebagaimana kecintaan kita pada laut dan ikan di dalamnya?
Aku bingung, Sayang. Tapi sudahlah. Tidak usah kamu pikirkan.
Sedang apa kamu? Berpikir soal jendela bulat? Atau apa?
Oh, ya, gaun pengantinmu, aku suka yang tema musim semi. Musim tanda bangkit. Dari tiada menuju ada. Dari pucat menuju warna. Dari kuncup menuju mekar. Salju sebelum musim semi, betapa pun indahnya, tetap tidak lebih indah selain rasa hangat.
Aku rindu kehangatan. Apa kamu sudah tidur? Jangan lelah, ya. Sudah ada yang mengurus keperluan kita. Cukup urus baju pengantin. Yang lain serahkan ke mereka. Kita bayar orang-orang untuk me-manage semua itu. Tidak usah risau. Aku juga tahu itu hari penting. Tapi kamu tahu, 'kan, bahwa yang lebih penting dari itu adalah sesudahnya? Maka istirahatlah. Jangan capai. Mungkin besok, lusa, entah kapan, aku akan bercerita soal jendela bulat yang bukan mimpi ini, yang menyimpan ikan-ikan. Dan tentu saja yang ini berbeda, karena ikannya bisa menangis.
Bagaimana aku bisa menebak ikan-ikan itu mengeluarkan air mata, padahal tidak ada perbedaan warna antara air di sekeliling mereka dengan air mata ikan-ikan itu, aku tidak tahu.
Wajah ikan-ikan itu buram, Sayang. Aku sendiri bahkan ragu apakah betul ikan bisa menangis dan punya air mata? Jangan-jangan aku yang menangis? Karena semakin kulihat, wajah-wajah lugu ikan-ikan itu mengabur. Semakin kulihat, semakin kuingat wajahmu. Kamu yang menunjuk jendela bulat dan berkata kepada anak-anak itu bahwa ikan berpikir. Kamu berdongeng dan mereka telan mentah-mentah ucapanmu, sampai satu di antaranya bilang: "Kalau begitu kita berlari-lari saja, biar ikan-ikan itu mengira bahwa kita memang sama dengan mereka!"
Sayangku, mengenang itu kita tertawa. Tapi aku tidak yakin kamu tertawa melihat jendela bulat di sini. Semakin aku tahu ini bukan mimpi, semakin aku yakin kamu tidak akan menginginkan jendela bulat kedua yang membuat sekejap ingatanku berkelana ke masa-masa awal kita.
Kalau jendela bulat dahulu adalah awal, lalu apa sebuah akhir harus sama? Apakah sebuah akhir harus serupa, meski tidak sepenuhnya sama? Karena ikan-ikan menangis, juga tidak ada anak-anak, tidak ada teriak riang, gelayut manja, atau sekadar salah duga dari seorang gadis berwajah manis seperti kamu: Apakah Anda seorang peneliti?
Ah! Tentu saja aku tahu. Mana mungkin ada gadis secantik kamu di sini? Setiap ada kamu, rasa hangat menjalar. Sedangkan aku justru beku sendiri, melihat ikan-ikan di balik jendela baru yang juga bulat dengan segumpal tanda tanya; apa aku akan kembali? Apa kamu cemas menunggu?
Antara sadar dan tidak, ikan-ikan itu bicara satu sama lain, memandangku seolah bahwa ini adalah sejarah tak terlupakan bagi mereka. Kita juga punya sejarah, Sayang. Mungkin ikan-ikan itu sama. Mereka punya sejarahnya. Mata-mata bulat yang lucu.
Aku sadar kamu jauh. Jadi harapan bahwa di tempat semacam ini kamu harus ada, itu seperti menegakkan benang basah, atau lebih tepat disebut: egois. Maafkan aku. Kamu boleh marah, karena akulah yang egois. Hari pernikahan tinggal menghitung hari, aku malah bekerja. Mungkin tujuanku bukan target, tetapi jaminan. Ah, sama saja. Apa pun alasanku, aku salah. Menerima tiket kunjungan ke luar negeri, meninggalkanmu di hari-hari terakhir persiapan pernikahan kita dengan alasan promosi jabatan? Apa itu bukan egois?
Dan kini, jendela bulat menyambutku.
Lihatlah, ikan-ikan itu memang menangis. Mereka tahu ada lelaki di balik jendela bulat, meregang nyawa di tubuh pesawat setengah hancur. Dan mereka bertanya-tanya, kenapa lelaki itu menangis?
Gempol, 2015 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, esai, novel, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).