Skip to main content

[Cerpen]: "Lena dan Cintanya yang Keras Kepala" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 20 Agustus 2017)
 
    Lena mengajakku kawin lari, karena sudah tak tahan dengan desakan keluarganya yang memintanya menikah dengan orang selain diriku. Aku memang sadar betapa tidak ada kelebihan satu pun di diriku yang patut membuat Lena bangga. Bahkan seharusnya dia malu memiliki pacar sepertiku, yang tidak punya kerjaan tetap dan tidak jelas masa depannya. Hanya saja, sejujurnya aku juga mencintainya dan begitu pula Lena; tak ada di antara kami yang sanggup melepas satu sama lain. Aku pikir ikatan ini terjalin begitu kuat sejak hubungan haram itu kami gelar di suatu kasur di kamar kostku yang kusewa dengan upaya mati-matian,
    Pada hari itu rasanya aku dan Lena telah menyatu dan sulit dipisahkan. Serasa ada tali temali gaib yang jatuh dari langit dan menjerat tubuh kami berdua, lalu kami bersatu menjadi satu badan dengan dua jiwa. Tentu saja ini agak berlebihan, mengingat tak ada di antara kami yang menyukai puisi. Aku hanya senang saja membayangkan bahwa ada ikatan gaib antara kami berdua, dan tidak ada seorang pun yang mampu memotong tali itu, bahkan dengan cara-cara paling berani.
    Karena tidak ada di antara kami yang memuja kata-kata romantis, maka rayuanku kepada Lena hanya bergulir di seputar kata-kata cabul, yang kerap kali harus kami jaga dengan perut setengah mulas. Maksudku, kami tidak pernah mengumbar rayuan antara kami berdua di depan umum, sehingga saat kami berada di keramaian dan sedang ingin memuja pasangan kami, yang kami lakukan adalah berbisik di telinganya dan mengucap soal apa pun yang mengandung kecabulan.
    Barangkali ini juga disebabkan karena Lena beberapa kali menjaga keponakannya yang masih berumur empat tahun, dan pada saat itu aku sedang bersamanya. Kami tidak ingin bocah tak berdosa itu ketularan ucapan-ucapan kotor dari mulut kami. Dan semua ini membuktikan kepada Lena, bahwa aku bukanlah pemuda yang senang merusak masa depan siapa pun.
    "Kamu lelaki paling bertanggung jawab yang kukenal," katanya suatu waktu. Lena serius mengatakan itu, meski aku pengangguran kelas berat dan meski sering kali orang mendapatiku tidur di segala tempat, tergantung di mana malam itu aku beraktivitas. Itu pun bukan sejenis aktivitas bermanfaat, melainkan semacam bermain kartu, begadang tidak jelas tujuannya, atau cuma menonton bola dan menjadi saksi pertaruhan di antara teman-temanku yang kebetulan membawa uang.
    Ketika kutanyakan bagaimana bisa Lena berpikir demikian, dia menjelaskan bahwa si keponakan itu tentu sudah akan rusak dan ketularan mengucap kata-kata kotor seperti halnya kami, jika saja lelaki yang dipacarinya bukan diriku. Ia bayangkan lelaki itu dari suatu tempat dan latar belakang yang lain (dan dengan demikian sosok itu bukanlah diriku), sehingga sang keponakan pun boleh jadi bakal rusak seperti dirinya suatu hari nanti.
    "Di matamu, anak sebersih itu tidak harus tahu ucapan-ucapan kotor kita, dan itu sungguh bertanggung jawab. Kamu hanya tahu itu tidak baik buat anak sepertinya dan tidak ingin dia menirumu, maka kita lakukan semua rayuan dengan cara berbisik-bisik," kata Lena sebagai jawaban.
    Meski begitu, tentu saja, keberadaanku bagi Lena adalah satu bencana di mata para keluarganya. Aku datang dan mengambil anak mereka, lalu mencorengi anak gadis yang diharapkan bersuamikan orang lurus suatu hari nanti itu dengan cara berhubungan sarat dosa, dan itu jelas merugikan Lena.
    Tapi, di mata Lena, itu tidak ada apa-apanya. Cintamu tidak sebanding dengan apa yang orang-orang takutkan, katanya dengan begitu yakin, di hari ketika orang tuanya tak tahan lagi dan meluncurkan gagasan perjodohan sehingga kelak dipastikan kami berdua bakal terpisah.
    Rencana itu dirancang sedemikian rupa, dan telah berlangsung sejak dua atau tiga bulan sebelumnya, sehingga ketika orang tuanya mulai melempar gagasan itu ke depan putri mereka, pelaksaannya tinggal hitungan minggu. Lena dengan panik mendatangiku dan segera meminta kami pergi sejauh mungkin dari kota busuk ini.
    "Kota ini benar-benar busuk. Kita tidak bisa tetap di sini dan sebaiknya tidak bakal balik kemari!"
    Waktu kalimat itu kudengar, aku belum tahu rencana orang tua Lena. Begitu gadis itu menjelaskan, yang dapat terpikirkan bagiku cuma satu: menyerah. Kami bukan tidak becus melarikan diri sejauh yang kami sanggup. Aku bahkan bisa membawa Lena pergi ke pulau seberang dan mengganti identitas kami dengan cara-cara jalanan yang selama ini akrab di aliran darah dan dagingku.
    Hanya saja, aku tahu usaha-usaha nekat itu pasti berakhir sia-sia. Kami boleh jadi bisa melarikan diri selama beberapa bulan, atau barangkali setahunan, tetapi kemudian orang-orang yang dikerahkan ayah Lena sudah pasti akan menemukan kami. Semua itu belum termasuk polisi jika memang diperlukan, karena bukankah mereka dapat mencari banyak alasan bagi orang sepertiku untuk dijebloskan ke dalam penjara?
    Ingin kusampaikan itu ke Lena, tentang fakta bahwa sang ayah yang punya begitu banyak sumber daya, sehingga percuma saja kami kawin lari. Ingin kukatakan juga aku akan selalu mencintainya sampai mati nanti, dan tidak akan mencintai perempuan mana pun selain dirinya, tapi Lena sudah membawa barang-barangnya dan mendesakku untuk segera pergi ke rumah beberapa teman di mana selama ini kutitipkan beberapa baju dan barangku.
    Lena begitu panik sehingga aku tidak sempat membereskan penampilanku. Ketika itu aku sedang tidur di rumah seorang kenalan, dan orang itu hanya memandangi kami dengan sedih. Berkali-kali pacarku mengancamnya supaya tidak membocorkan rahasia soal kami yang kawin lari.
    "Saya tidak bakal cerita ke siapa pun," sahut kenalanku dengan sinis, "lagi pula tak ada omongan soal mau ke mana kalian berdua, bukan?"
    Lena tak peduli ucapan kenalanku dan menyeretku keluar rumah itu tanpa berkata terima kasih, karena kenalan inilah yang selama seminggu terakhir memberiku tempat menumpang. Jadi, aku hanya sempat berterima kasih dan meminta maaf karena boleh jadi utangku yang sebesar lima puluh ribu ke orang tersebut tidak bakal bisa kulunasi.
    "Ya, saya rela, Bung. Asal jangan bawa-bawa saya jika sampai nanti ada perkara," jawab kenalanku. "Maksudnya, jika sampai kalian tertangkap basah oleh polisi. Saya tidak ikut-ikut soal rencana kalian!"
    "Tentu tidak."
    "Ya, memang seharusnya tidak."
    Demikianlah, hari itu, tepat pukul sebelas malam, kami pergi meninggalkan rumah si kenalan terakhir dan menuju beberapa rumah lain untuk mengambil baju sekadarnya. Tidak semua rumah teman kusambangi, karena sebagian dari mereka masih menumpang bersama orang tua masing-masing, sedang beberapa lainnya menyewa rumah dan setiap hari mencari uang dengan cara menjual jasa dan keahlian seni apa pun. Orang-orang ini begitu baik padaku, meski mereka mengerti betul aku tidak pernah banyak berkontribusi. Tak ada jiwa seni mengalir di tubuhku. Dengan kata lain, aku cuma benalu bagi mereka.
    Dan, dari sinilah, kukira orang-orang yang kusebut teman tadi tidak khawatir akan rencana kawin lari ini. Mungkin mereka pikir bahwa sudah saatnya aku lepas dan tidak lagi jadi tanggungan mereka. Kerjaanku yang sekadar bantu-bantu dan lebih banyak jadi beban tidak benar-benar mereka inginkan. Aku tahu itu, tapi aku tidak protes. Memang itulah faktanya.
    Aku tidak heran orang sampai bilang betapa Lena dibutakan oleh cinta. Tak sedikit yang menganggapku memantrai gadis itu atau menggunakan cara-cara setan, tetapi aku tidak pernah berbuat begitu. Cinta Lena memang tulus, sehingga sampai di titik ini, aku sama sekali bingung. Apa yang sesungguhnya Lena harapkan dariku?
    Subuh berikutnya, kami sudah tiba di pinggiran kota setelah menumpang bus, lalu oper ke kendaraan berupa pickup pembawa sayur-mayur. Kami lalu berganti kendaraan setiap beberapa kilo dan mengorbankan beberapa rupiah hanya agar warga sipil tanpa plat kendaraan umum sudi memberi kami tumpangan dengan alasan yang terlalu tidak masuk akal, seperti misalnya ban mobil kami bocor di tempat sepi, dan pada saat itu tak ada seorang pun yang bisa kami mintai bantuan, sehingga di kendaraan-kendaraan jenis ini, kami pasti turun tidak jauh dari kantor polisi.
    Kami baru merasa aman setelah tiga hari kemudian benar-benar sampai di kota lain. Dari situ kami bisa menyeberang ke pulau sebelah dan memulai hidup baru di sana. Aku tentu masih tidak yakin dengan rencana ini, tetapi melihat betapa bahagianya Lena saat ini, kurasa kami hanya perlu bersabar.
    Pada hari keempat setelah kami kabur dari kota asal kami, malam hari, Lena telah menyiapkan tiket untuk kami naik ke kapal penumpang. Sebelumnya kami terlebih dulu menyewa sebuah kamar di motel kecil dekat pelabuhan. Kami beres-beres agar terlihat seperti pasangan normal lain, yang berniat pergi merantau atau apalah, dan bukan sibuk lari dari kejaran keluarga besar.
     Hanya saja, sebelum kami benar-benar meninggalkan kamar itu, seorang laki-laki mendadak mengetuk pintu dan memanggil-manggil nama Lena. Pacarku langsung panik dan berbisik padaku, dengan separuh kalimat kotor, bahwa itu adalah abangnya. Ia tidak tahu bagaimana bisa si bangsat itu sampai kemari, tetapi yang jelas kami harus segera pergi.
    Aku tidak mampu menuruti permintaannya, karena mendadak tubuhku membatu. Kedua kakiku berasa sulit melangkah, dan entah kenapa, kubayangkan sebutir peluru, di suatu tempat, sedang bersiap menghabisiku. Sementara Lena sibuk membuka jendela di tepi kamar, aku malah menggumam, "Barangkali memang sebaiknya kita berhenti."
    Hanya saja, Lena tidak mau berhenti. [ ]
   
    Gempol, 30 Juli 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media cetak dan online. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri