Skip to main content

[Cerpen]: "Doa Imo" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 27 Agustus 2017)
 
    Imo tahu, ia tidak mungkin lari dari para bocah. Pikirnya, dasar bocah kurang ajar. Padahal sekolah, tetapi kelakuan seperti ini? Tentu saja ia tidak berani bicara, atau sebut saja tidak sanggup. Kalaupun bicara, juga tidak akan didengar para bocah itu. Imo cuma ditendang, disiram air es, dan diludahi. Berbagai ledekan datang bertubi-tubi.
    Imo berjalan dan terus berjalan, meski kakinya pincang. Ia menyisir pinggir jalan raya, dan anak-anak tadi masih membuntut. Satu atau dua melempar kerikil. Tetapi yang lain kotoran sapi. Di dekat situ memang ada kebun dan kandang. Kebetulan sekali. Imo merasa hujan bakal turun dan semoga saja bocah-bocah biadab itu pulang, sehingga ia bisa berteduh sekalian di kandang.
    Tapi, brengsek. Mereka tidak pulang dan merebut tempat berteduh yang di-booking Imo dalam pikiran. Memang susah kalau segala ucapan hanya mampir di kepala, belum sempat keluar. Lagi-lagi, kalau keluar, bukannya didengar, malah jadi sasaran empuk kelakuan nakal.
    Sudah biasa, Tuhan, sudah biasa, hibur Imo pada dirinya sendiri. Ia mencari pohon besar. Tadi tidak sempat menghitung jumlah bocah yang mengganggunya. Ada satu, dua, tiga, oh... kira-kira tujuh anak. Ke mana orangtua mereka, ya? Apa pekerjaan mereka, ya?
    Di lingkungan ini, ada tujuh anak badung, tidak tahu aturan dan belas kasih. Semua kompak kurang ajar dan minta didoakan yang jelek-jelek. Imo tertawa atas kekonyolan ini. Sungguh kasihan para orangtua itu; mereka makan apa sampai jadi bodoh, sehingga mendidik anak saja tidak becus?
    Anak-anak itu sudah pasti sering bolos sekolah dan mengaji. Kelihatan dari wajah mereka yang kumal dan seperti orang dewasa yang suka mabuk. Imo tahu itu dan bisa membayangkan yang semacam itu sambil memandangi langit mendung. Bahwa, ia tahu wajah orang dewasa yang suka mabuk itu, adalah karena ia sudah cukup banyak melihat fenomena.
    "Aku memang sudah tahu banyak hal," batin Imo.
    Kaki pincang bukan cacat bawaan, melainkan waktu. Kejadian-kejadian sejak Imo lahir sampai detik ini. Semuanya terjadi di jalanan dan ia tidak berdaya waktu seseorang melukai kakinya pada zaman dahulu kala. Memang tidak sengaja. Ketika itu Imo jalan di pinggir jalan yang sama, lalu mendadak seseorang menyerempet hingga ia pincang. Tidak ada yang menolong, maka begitulah nasibnya. Pincang dan dibuang.
***
   
    Hujan turun pelan-pelan waktu Imo sampai di pikiran soal para bocah yang tidak merasakan menjadi dirinya. Kalau saja mereka menjadi seperti dirinya, yang pincang dan dibuang, pasti mereka berkata pada masing-masing, "Bro, kita tinggalkan saja dia. Jangan diganggu."
    Semudah itu.
    Tetapi, di dunia para bocah—apalagi yang telanjur bobrok mentalnya, karena tidak dididik dengan baik oleh orangtua—tidak ada yang simpel.
    Tidak ada, misalnya, tempat sampah yang selalu penuh karena mereka taat aturan. Tidak ada juga, misalnya, menolong siapa pun yang lemah dan pincang, tanpa harus menjadikannya bahan candaan.
    Bocah-bocah penggemar game online, dengan pengetahuan polos soal luka dan kekerasan—yang bagi mereka mengasyikkan—membuat Imo ada di posisi sulit. Sudah dibilang, Imo tahu banyak hal, karena ia bukan lagi bocah. Ia tua dan tahu berbagai hal di dunia ini kadang-kadang berjalan secara serampangan, termasuk orangtua yang tidak bisa mendidik anak, kecuali membikin dan terus membikin.
    Di sini ada tujuh bocah badung. Di kandang sapi yang berjarak beberapa meter dari pohon tempat Imo berteduh. Tapi tentu, bocah-bocah nakal tidak keluar secara serempak. Masih ada di suatu sudut, di rumah-rumah yang ada di seberang jalan ini, kompleks kumuh yang tidak mementingkan moral manusianya, meski barangkali masih disuruh pergi ke sekolah.
    Imo sedikitnya masih bisa bersyukur akan itu, sebab kalau mereka keluar semua, bisa celaka berlipat-lipat. Tujuh saja sudah membikinnya nyaris knock out, sebagaimana petinju payah yang pernah dilihatnya di televisi warung kopi. Imo tahu, bocah-bocah ini tidak akan menyerah sampai dirinya mati. Dan hujan yang menderas ini agaknya hanya menunda.
    Lihatlah, mata kecil para setan itu. Mereka memandangi Imo dengan senyum licik. Seakan merancang cara-cara baru guna menyiksa si pincang sampai mati, lalu kabur ke rumah masing-masing dan membikin kesaksian palsu ke Ibu mereka. Dari mana, tanya sang ibu. Dari rumah teman, jawab mereka di tempat berbeda-beda. Lalu, kelar sudah kejadian sore ini. Si korban mati dan anak-anak biadab bebas tak dihukum.
    Itu tergambar di kepala Imo, tapi si pincang tahu betul bahwa hal seburuk apa pun bisa saja terjadi setelah hujan reda. Dan ketika hujan reda, anak-anak itu kembali datang dan mengepung. Tongkat-tongkat panjang dan berhelai-helai tali bisa Imo saksikan. Oke, aku mati, batinnya lagi. Percuma bicara, tidak mungkin didengar. Dasar anak-anak sial.
    Sebenarnya Imo kasihan pada mereka. Ia memang sudah dekat dengan ajal, ketika anak-anak itu menghantamnya dari kanan-kiri, juga depan-belakang, memakai tongkat kayu. Lalu, mereka mengikat kakinya yang pincang dan menyeret Imo ke atas sebuah jembatan.
    Di sana, Imo sempat berdoa, tapi bukan yang jelek-jelek. Doa itu adalah agar kelak anak-anak itu selalu mengingatnya. Bayangkan, jika kau mengingat dosa biadab di masa lalu, ketika kau sudah tua lemah, atau mungkin sudah bisa membedakan antara hitam dan putih, maka tidurmu tidak akan nyenyak.
    Cuma itu balasan yang bisa Imo beri. Ia tidak lebih dari seekor anjing pincang. Dan anjing itu dibuang, sehingga ketika esok ditemukan mati tergantung di jembatan, orang hanya tinggal menggunting tali. Imo yang telah membangkai pun, hilang tanpa ada yang mencari. [ ]
   
Gempol, 2017
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya: Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri