Skip to main content

[Cerpen]: "Murah Mart" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 29 April 2017)
   
 Orang kecil mesti pilih-pilih kalau mau belanja, harus hemat. Apalagi anak-anakku nakal. Mereka maunya makan yang enak-enak. Anak dapat rangking, orangtua mana yang tak bangga? Aku juga mau anak-anakku pintar, berprestasi. Tapi, bagaimana kami beli makanan enak yang konon mahal? Sekadar tahu tempe saja sulit. Mereka merengek dan bertanya kapan Ibu belikan makanan enak? Atau, kapan kami rangking satu?
    Suatu waktu, temanku Nani mengajakku ke suatu tempat. Yang lewat di pikiranku adalah: dia mengajakku ke rumah bosnya. Tempat itu luas. Ada beberapa truk terparkir. Kok bisa Nani punya pekerjaan sampingan tanpa takut ketahuan bos kami? "Bukan, Mar. Ini bukan rumah bos baruku. Ini rumah Pak Dermawan," jawabnya usai kuberondong dia dengan berbagai pertanyaan.
    Ternyata ini rumah dermawan. Konon, tak sekali pun beliau sambut tamu yang memang sudah biasa mengambil makanan di meja-meja dan kulkasnya yang tak pernah kosong. Di sini ada tiga puluh kulkas dan lima puluh meja dan semua berisi makanan enak. Aku ragu ketika Nani mengajakku mengambil makanan di kulkas sebab takut disuruh bayar. Bukannya memberi penjelasan, ia tertawa. Katanya aku tidak perlu bayar dan ini gratis.
    Dari jauh, ibu-ibu lain berebut. Belakangan kutahu anak-anak mereka tak pernah makan enak. Kini, Nani yang kikir minta ampun itu gesit memenuhi kantung belanja. Apa lagi yang kutunggu?
***
    Tepat sebulan lalu, aku pulang membawa bahan makanan istimewa. Kalau belanja di pasar dan ditotal, pasti semua yang kubawa mahal. Hanya saja, ini gratis. Oh, pemilik rumah itu baik. Ingin kutunjukkan ke anak-anakku makanan enak ini, makanan idaman yang bisa membuat mereka kenyang sekaligus pintar.
    Sejak itu, meski tanpa Nani, aku ke sana dan memilih bahan yang tersedia tanpa membayar. Walau gratis, kami biasa menyebut rutinitas mengambil makanan ini sebagai belanja. Oleh sebab itu, suatu waktu muncul julukan bagi rumah si dermawan: "Murah Mart". Nama yang aneh. Mungkin dengan harapan suatu saat bisa memboikot super market tertentu yang harga jual kebutuhan pokoknya mahal-mahal. Entah siapa yang memulai. Kami tak peduli dan itu bukan urusan kami. Yang penting kami dapat makan gratis.
    Setiap sore anak-anak menungguku datang membawa makanan dari Murah Mart. Sejak suamiku mati, hidup ini susah. Kalau bukan dari kebaikan Pak Dermawan itu, si pemilik Murah Mart itu, mana mungkin makan enak? Mana mungkin rangking satu? Dari hari ke hari, kantung belanjaku semakin besar. Kukira boleh membawa makanan sebanyak apa pun. Aku sanggup memikul demi senyum anak-anak, demi melihat tidur nyenyak tanpa gerutu bosan dengan makanan tidak enak.
    Aku tidak pusing meski ada pesanan dari anak-anak yang mulai ketagihan. Misal yang satu ingin makanan berkuah dan lainnya ingin panggangan. Aku penuhi semua itu, hingga mereka yang ogah-ogahan belajar, kini rajin. Semua itu berlangsung beberapa lama, sampai suatu hari anak tertua mengeluh. Ia bilang nilainya di sekolah anjlok.
    "Apa karena makanan yang Ibu berikan padaku kurang enak? Otakku belum encer. Aku butuh yang bisa mengencerkan otak!"
    "Masa sih, kurang? Katamu rasanya enak!"
    "Memang, tapi di perut jadi tidak enak, Bu! Mungkin pengaruh ke otak. Kalau bisa, cari yang lebih enak dong! Biar kami cepat pintar."
    Demi melihatnya senang, kusanggupi. Adik-adiknya memohon agar aku lebih selektif memilih makanan. Karena setelah terbiasa makan makanan enak, mereka sadar bahwa ternyata dari semua makanan enak, ada pula yang rasanya tidak enak, terutama sesudah masuk ke perut.
    Aku jadi bertanya. Makanan yang enak di mulut tapi tak enak di perut itu seperti apa? Aku sendiri selama menyajikan makanan enak buat anak-anak tidak pernah ikut makan. Mereka sikat jatahku. Mereka rakus dan aku bahagia. Tidak apa rakus hari ini, Nak, kataku, yang penting besok-besok kalau sudah kawin jangan pernah rakus. Itulah yang selalu kutanamkan ke kepala mereka. Jadi, biarpun makan makanan tak enak, aku tak masalah. Aku tak butuh rangking satu.
    Menurut Nani, yang dibilang anak-anakku berlebihan.
    "Kalau maunya yang enak di mulut sekaligus di perut, nggak usah ke Murah Mart! Asal kamu tahu, di sana semua makanan enak kalau sampai di perut sudah pasti nggak enak! Setiap hari aku sakit perut dan anak-anakku juga, karena keseringan makan dari situ. Tapi mau gimana? Hari gini nggak banyak gratisan!"
    Mungkin ada sesuatu yang membuat makanan enak jadi tidak enak waktu sampai perut. Kalau racun, tak mungkin si dermawan meracun orang miskin. Apa untungnya? Murah Mart konon dapat bantuan dari pemerintah kota, kampung sekitar, rumah sakit, serta berbagai kompleks perkantoran untuk pemeliharaan tempat dan pengadaan bahan makanan. Kalau benar mereka meracun, kenapa tidak dari dulu? Malahan yang kutahu jumlah pengunjung Murah Mart bertambah.
***
    Aku lebih hati-hati memilih makanan. Aku ambil yang belum kucoba. Anak-anak tak lagi mengeluh. Makanan itu hangat di perut. Pilihanku pada bahan makanan baru tak membuat perut mereka sakit. Tinja mereka lebih tidak berbau dari biasanya.
    Sayangnya, usahaku belanja dan menyeleksi bahan terbaik, sampai masak berbagai menu, tak mengubah prestasi anak-anakku. Yang ada justru mereka gampang ngantuk. Beberapa kali surat teguran dari sekolah sampai kepadaku. Anak-anakku kini jadi murid termalas di dunia dan seakan selamanya dikutuk jadi orang bodoh. Aku kesal. Padahal sudah berusaha membuat anak-anak itu senang. Kenapa mereka mempermalukanku?
    Sebagai hukuman, aku menolak pergi ke Murah Mart lagi dan biarlah mereka tidak makan makanan enak. Mereka menangis dan memohon-mohon dan aku tidak peduli. Menangis saja sepanjang hari, Ibu tidak peduli karena kalian sudah bodoh dan bikin Ibu malu sama Bapak Guru. Biar tidak kuberi makan anak-anak itu, kecuali makanan tidak enak. Hanya saja, sampai malam mereka tidak manut dan cuma mau makan makanan Murah Mart.
    Besoknya anak-anakku demam. Beberapa kejang, sebagian muntah. Apa karena tak kuberi makan seharian jadi sakit? Atau, apa karena sebulan mereka makan enak, hingga sekarang kesakitan? Makanan enak yang mereka konsumsi selama menimbulkan rasa tidak enak di perut. Jangan-jangan bukan cuma pengaruh ke otak, tapi ke semua organ tubuh? Saran Nani, sebaiknya kubawa mereka ke pasar. Ia bilang mereka butuh makan yang sehat. Siapa tahu dengan ke pasar mereka bisa memilih makanan tanpa harus aku melakukan kesalahan?
    "Kamu nuduh ini salahku? Aku tidak becus milih makanan? Begitu?!" tanyaku.
    Bukannya menyahut, Nani menangis. Dielus-elusnya pundakku seakan kesalahan di dunia ini semuanya kupikul dan kesialan yang menimpa anak-anakku akulah sumbernya. Lebih baik, andaipun anak-anakku kelaparan, kubawa saja ke Murah Mart. Biar pilih sendiri makanan kesukaan mereka.
    Tapi malam itu Murah Mart tutup. Dari keterangan warga sekitar, tempat ini mau digusur karena jumlah membludak para pelanggan dianggap berbahaya bagi pemerintah kota. Aku tidak paham bahayanya apa? Kalau tempat ini digusur, dari mana kami dapat makanan enak? Gratis pula!
    Kupanjat pagar tinggi itu. Orang-orang mencegah. Aku terus memanjat dan turun di sisi baliknya. Belasan buldozer berjajar dan aku berpikir memang benar tempat ini bakal dihancurkan. Aku mengendap-endap dan mencari cara setidaknya sebelum tempat ini jadi kuburan makanan, anak-anakku harus kenyang dulu. Orang-orang berhelm turun setelah melihatku. Mereka mengejarku.
    "Stop! Stop! Tempat ini disita!" teriak mereka, ketika dengan cepat kuraih apa saja yang bisa kujangkau di meja dan kulkas. Masa bodoh. Setahuku pemilik tempat ini Pak Dermawan, bukan mereka. Mereka menangkapku. Direnggutnya makanan-makanan itu, diseretnya aku.
    Di saat genting itu, si lelaki dermawan keluar.
    "Oh, Pak Dermawan. Untung Anda datang. Tolong saya, Pak! Tolong!"
    "Dermawan siapa? Pulanglah. Memangnya ini rumah makan?! Hush, pergi! Hush!"
    Pak Dermawan menendang-nendangku. Sebelum Pak Dermawan dan semua anak buahnya melemparku ke luar, kusimpan beberapa potong makanan yang tadi kuambil ke balik bajuku.
    "Ini, Nak. Makan! Makan sampai kenyang!"
    Kusodorkan hasil usahaku kepada anak-anak. Mereka merubungku dan berebut makan. Mereka lahap mengunyah apa saja yang sampai di depan mulut. Mencaplok bagaikan buaya-buaya telat makan. Lega melihat air liur mereka bercampur satu. Selesai makan, tiba-tiba si bungsu pingsan. Si sulung muntah-muntah. Yang lain malah kejang-kejang. Aku berteriak. Masa gara-gara kenyang makan makanan enak mereka jadi begini?
    Hanya soal waktu, tubuh anak-anakku lemas tak bergerak.
    Nani datang. Di belakang, turut pula ibu-ibu yang dulu jadi pelanggan Murah Mart, tapi sekarang tak lagi ke sana. Mereka selalu sakit bila keseringan makan makanan enak. Kini, mereka peduli padaku, pada kematian anak-anakku. Mereka tidak peduli lagi pada rutinitas harian, pada hancur leburnya Murah Mart di tangan pemiliknya. Mereka kapok.
    "Seharusnya kau tahu. Tempat ini cuma gunungan sampah yang diproduksi setiap menit dari seluruh kota. Kini, kaulah yang menelan akibatnya. Kalau uangmu habis, lebih baik siapkan batu nisanmu," saran Nani usai menjemputku dan anak-anak yang melingkar di halaman rumah itu. [ ]
    2014-2016

KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di puluhan media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri