Skip to main content

[Cerpen]: "Lelaki di Halte yang Kelak Menjadi Legenda" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 21 Mei 2017)
 
    Di suatu halte, seorang lelaki sedang berdiri menunggu kekasihnya. Ia berdiri tanpa alasan yang lebih baik selain menunggu seorang kekasih, meski telah banyak yang tahu bahwa kekasihnya sudah meninggal setahun lalu dalam kebakaran. Lelaki itu barangkali sudah gila, tetapi anggap saja dia waras dan hantu kekasih yang datang di saat tertentu adalah kenyataan.
    Bicara tentang kenyataan, aku sadari banyak kenyataan kadang terdengar aneh atau tidak masuk akal. Termasuk soal si lelaki yang menunggu kekasihnya di halte. Lelaki itu tidak pernah menyebut nama, tapi setiap orang di sepanjang jalan ini mengenalnya dan akan bersaksi pernah melihat pacar lelaki itu mati di depan mata mereka.
    "Dia benar-benar sudah mati. Tubuhnya gosong dan kaku, dan sekarang lelakinya menunggu di halte seperti apa yang dulu mereka janjikan," tutur salah seorang saksi.
    Bicara tentang janji, ada fakta yang membuatku ingin menangis, yakni janji lelaki itu adalah janji terakhirnya. Ia mungkin tahu betapa meninggalnya sang kekasih di suatu tempat di ujung jalan ini adalah cara takdir mencegahnya menepati janji, dan saat semua seharusnya mulai kembali seperti semula—jasad gadis itu selesai dikubur dan ditangisi, dan roda kehidupan di sekelilingnya bergeliat sekali lagi—lelaki kekasihnya tetap diam di tempat.

    Janji terakhir itu bukan main-main. Itulah yang akan orang katakan, jika tidak tega menganggapnya gila. Orang-orang di pihak ini akan memaklumi bahwa lelaki tersebut berharap ditemui hantu sang kekasih demi menegaskan, "Aku tidak mengingkarimu."
    Terdengar kabar yang entah benar atau tidak; konon si lelaki pernah berjanji untuk melakukan sesuatu yang akhirnya tidak pernah bisa dia lakukan, dan setelah itu kembali si lelaki berjanji untuk terakhir kalinya demi kepastian hubungan mereka. Pada hari itu, orang-orang di lain tempat, yang tidak tahu menahu urusan halte dan kebakaran di suatu ujung jalan, menghadiri acara pernikahan yang akan digelar oleh dua keluarga kaya raya dan terpandang, dan salah satu mempelai adalah si lelaki yang pergi diam-diam ke halte tersebut.
    "Ini janjiku yang terakhir sebelum kita benar-benar menyatu dan tak terpisahkan," kata si lelaki pada kekasihnya yang tidak lama lagi akan mati dalam kebakaran lewat sambungan telepon.
    Tentu saja tidak ada yang dapat membaca masa depan, sehingga ketika kebakaran terjadi, lelaki yang menunggu di halte merasa cemas dan ingatannya melayang ke janji sebelumnya yang gagal ia laksanakan: bahwa dengan segala cara, ia akan tolak paksaan orangtua untuk menikah dengan perempuan lain. Tidak akan ada perjodohan sampai dia dan kekasihnya yang dicintainya itu menikah diam-diam di suatu tempat dan membuat pengumuman mengejutkan bahwa tidak akan ada yang mampu menghalangi mereka.
    Sayangnya, itu tidak pernah terjadi.
    Kematian seorang kekasih meninggalkan bekas di dalam dada. Kalau bekas macam itu dilukis di permukaan kanvas, seharusnya berwarna ungu gelap. Aku pasti memberi warna itu untuk kejadian macam ini, dan tidak peduli apa kata orang tentang arti warna ungu. Seandainya aku suka hijau tua, tentu kupakai warna itu. Tapi lukisan dada seorang lelaki yang kehilangan kekasihnya dalam kebakaran, lebih terlihat mengenaskan dengan warna ungu.
    Setelah roda kehidupan kembali bergulir—orang-orang terjun ke rutinitas mereka dan menyimpan kenangan pahit tentang ditemukannya jasad perempuan malang dalam tumpukan abu bekas kebakaran akibat ledakan tabung gas di sebuah rumah makan—si lelaki tetap diam di tempat. Ia jelas sudah tahu kabar kematian kekasihnya, dan bahkan sempat terlihat menghadiri acara pemakamannya, tapi karena orangtua si gadis sakit hati atas kesombongan keluarga si lelaki, terpaksa dia menyendiri di balik pepohonan, jauh di belakang sana.
    Lukisan itu telah kubuat sedemikian rupa, dengan latar pepohonan kamboja di tepi kuburan, sementara jauh di depan si lelaki yang dadanya berbekas warna ungu tua, tiap orang menaburi gundukan tanah dengan bunga. Ia hanya berdiri memandang dari jauh sampai semua orang pergi.
    Setelah itu, setiap orang tahu lelaki itu kembali ke halte seperti dulu dan menunggu si kekasih datang untuk kawin lari. Ia terus menunggu dan tidak peduli usaha-usaha para anggota keluarga untuk membawanya pulang. Ia hanya akan berteriak, "Jangan ganggu upayaku menepati janji!"
    Ada banyak sebenarnya apa yang lelaki tersebut katakan pada setiap orang yang berusaha menjemputnya, tapi yang paling sering ia sebut-sebut adalah soal janji terakhir.
    Kubayangkan, dalam kesedihanku melihat lelaki yang sebenarnya tidak kukenal itu menanti sesosok hantu (anggaplah begitu, sebab perempuan itu sudah mati gosong dan tidak mungkin hidup kembali sebagai manusia biasa), bahwa si lelaki mungkin bertekad untuk tetap di sini, di halte ini, sampai ia tua nanti. Mungkin rutinitasku sebagai seorang yang dipercaya mengurus suatu galeri seni, dan harus pergi setiap hari dengan numpang bus kota, akan berhenti suatu hari nanti kalau aku sudah tua dan tidak kuat lagi, tetapi aku tidak yakin lelaki yang menunggu kekasihnya yang mati dalam kebakaran itu bakal berhenti.
    Aku bisa membayangkan keberadaannya di halte tersebut kelak, pada masa ketika orang-orang di generasi sesudah kami berjuang untuk hidup dan tujuan masing-masing, akan menjadi semacam legenda. Lelaki tanpa nama itu melegenda di sepanjang jalanan ini karena kesetiannya menunggu seorang kekasih meski tahu yang bersangkutan sudah mati terbakar.
    Betapa semua itu membuatku sulit merampungkan lukisan yang sebenarnya terlalu sederhana, tentang adegan ketika seorang lelaki berdiri di tepi pemakaman dengan dada berbekas warna ungu, dan mengamati setiap orang bersedih atas kepergian kekasihnya dengan cara menabur bunga. Aku sendiri tidak pernah jatuh cinta sedalam ini, tetapi aku rasa suatu hari nanti akan ada saatnya untukku. Tentu saja, aku berharap kisahku tidak seburuk lelaki di halte tersebut. [ ]
   
    Gempol, 11 Januari 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional. Buku terbarunya: kumpulan cerpen Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan kumpulan cerpen Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Penerbit Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri