Skip to main content

[Cerpen]: "Suatu Malam Ketika Para Anjing Bosan Menjadi Anjing" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 2 April 2017)
 
    Barangkali anjing-anjing bosan menjadi anjing. Pada suatu malam, mereka ketuk pintu kamarku, dan ketika kubuka pintu dengan setengah mengantuk, yang kusaksikan adalah sekelompok manusia berkepala anjing.
    Sebenarnya tetap saja mereka adalah anjing, karena aku sadar betul untuk apa aku hidup di rumah busuk ini seorang diri. Aku mengurus anjing-anjing yang telantar karena sejak dilahirkan memang sudah liar, atau beberapa dari mereka dibuang oleh pemiliknya gara-gara sakit. Aku mencintai anjing dan untuk alasan itulah kulakukan ini.
    Jadi, aku tinggal bersama belasan anjing yang kurawat dengan sangat baik, lalu pada suatu malam, mereka ada di depan pintu kamarku dan berdiri dengan badan tegap. Aku membayangkan kegilaan menyerangku. Setelah Maria pergi dan menikah dengan mantan kekasihnya yang politisi, aku kira hidupku mungkin berakhir tidak lama lagi.
    Suatu ketika, di meja pojok salah satu kafe, aku menyendiri dan membatin, "Dulu kamu pernah berjanji padaku untuk merawat anjing-anjing itu sampai tua, dan kita tidak perlu memiliki anak, sebab anjing-anjing juga tahu dan memahami kasih sayang. Anjing juga mengerti arti kesetiaan."
    Sembari mengatakan itu, kubayangkan wajah Maria merana, dan kubayangkan juga bagaimana ia akan menjawab soal utang dan segala macam; bahwa keuangan kami tak cukup jika digunakan memelihara lebih banyak anjing, dan bahwa ibu serta adiknya juga butuh kehidupan yang layak. Aku paham itu, karena Maria memang waras.
    Maria benar-benar pergi, dan saat kusadari ia tidak mungkin hadir di hidupku lagi, aku tidur beberapa jam tanpa memedulikan semua anjingku. Aku bangun sore hari lalu menyadari bahwa anjing-anjing butuh makan. Mereka kuberi makan dan dengan segera anjing-anjing itu menjadi riang.
    Jika aku mati, siapa yang merawat belasan anjingku? Jumlah mereka kadangkala tak kusadari, sebab bisa saja datang seekor anjing yang baru, dan kemudian seseorang memencet bel di halaman depan dan mengaku anjing miliknya hilang; begitu seterusnya. Mereka datang dan pergi. Aku tak betul-betul memastikan ada berapa jumlah anjing di rumahku.
    "Kamu harus teliti. Bahkan anjing-anjing yang kamu sayangi saja bisa sampai tak tahu berapa jumlahnya. Bagaimana mungkin aku sanggup?" Itu salah satu ucapan Maria sebelum ia pergi selamanya. Aku tahu bukan itu alasan yang sebenarnya. Sejatinya dia tidak dapat melepasku, dan pernikahannya dengan si politisi hanya karena uang.
    Mungkin itulah yang membuatku berpikir aku ini gila dan mati tak lama lagi. Aku mati bukan karena bunuh diri, juga bukan oleh seorang pembunuh bayaran yang kusewa sendiri agar kematianku datang lebih cepat dan mudah. Kegilaan membunuh manusia dengan cara apa pun yang tak kaubayangkan. Anggap saja aku mati karena lupa makan dan tidur selama beberapa waktu. Bukankah itu juga mematikan?
    Ketika aku mati nanti, anjing-anjingku akan menjadi liar, dan ini yang di beberapa hari terakhir kupikirkan. Tidak peduli siapa pun orang yang sudi mengambil peranku, anjing-anjing itu telanjur cinta padaku. Aku tahu itu. Aromaku sudah melekat di hidung mereka. Aromaku lebih dari sekadar tuan rumah yang memberi makanan serta tempat hangat untuk tidur. Aromaku adalah aroma kesetiaan yang tak bisa mereka tukar dengan aroma lain.
    Jika memang begitu, anjing-anjing akan menjadi liar, dan setelah itu, mereka akan bosan dan memutuskan mati. Adakah bangsa anjing berpikir bahwa kematian lebih baik ketimbang hidup tanpa sosok yang kepadanyalah mereka dapat menuangkan kesetiaan sampai tua?
    Aku tidak tahu cara berpikir para anjing, termasuk anjing-anjing yang tidak pernah kutemui dan tidak pernah kurawat. Aku tidak tahu jalan pikiran setiap ekor anjing yang lahir ke bumi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana mereka melihat kematian yang akan terjadi pada setiap makhluk, dan semua yang kukatakan tadi (soal anjing yang tiba-tiba mampu memutuskan mereka harus mati karena manusia yang merawat mati mendadak oleh patah hati) sekadar dugaanku.
    Aku mulai berpikir seandainya semua anjing seperti manusia, yang dapat berjalan dengan dua kaki dan bercakap-cakap seperti tukang gosip. Seandainya anjing bisa pergi ke kantor setiap hari, dan mengambil cuti pada hari tertentu, lalu piknik ke suatu tempat bersama pacarnya. Apa anjing tahu arti kata pacaran?
    Pikiran ini sering masuk dan tak bisa kucegah. Anjing-anjing yang barangkali bisa menjadi serupa manusia; bertingkah laku dan berpola pikir serupa manusia, dan di dunia ini tak ada lagi anjing yang bisa dipelihara dengan kalung di leher. Apa mungkin seperti itu? Pemikiran ini terasa nikmat, dan kadang-kadang aku ketiduran saat membayangkan itu semua menjadi nyata. Bayangkan, anjing-anjing berdiri tegap seperti manusia!
    Ketika malam aneh itu datang, aku mengira mungkin aku belum sadar betul dari mimpiku. Anjing-anjing itu mengetuk pintu kamar, dan ketika kubuka, mereka menyapa namaku dengan begitu fasih, dan mereka berdiri dengan gesture yang amat meyakinkan untuk menyebut mereka sebagai manusia berkepala anjing.
    Manusia berkepala anjing? Aku tertawa seketika, tetapi anjing-anjingku, yang satu- dua di antaranya kuhafal corak kulitnya, saling pandang satu sama lain, lalu mengatakan, "Sebaiknya kamu tidur saja dan jangan tinggalkan kami."
    "Aku memang mau tidur, dan aku tidak akan pergi jauh-jauh dari sini," kataku.
    "Bukankah kamu mau mati?"
    Aku tidak menjawab ucapan salah satu anjing itu. Aku memang ingin mati, entah kuakui atau tidak.
    Aku tidak tahan melihat Maria dinikahi politisi dan aku sangat benci politisi yang kebanyakan adalah tukang tipu dan gemar memakan uang rakyat. Tetapi, jika aku mati, anjing-anjing tidak sanggup mengurus diri sendiri. Mungkin mereka sanggup, namun pada akhirnya dunia luar mendidik mereka menjadi liar, dan kurasa beberapa tidak akan tahan dan mati. Aku tahu tidak semua anjing yang hidup bersamaku di rumah busuk ini benar-benar sehat. Beberapa bahkan tidak lagi bisa berjalan normal sebagaimana anjing umumnya.
    Kubilang, setelah terdiam beberapa lama, "Mau aku mati atau tidak, itu tidak ada urusan dengan kalian, anjing-anjing. Kalianlah yang seharusnya tidur, karena ini sudah malam. Dan di dunia ini tidak ada anjing bisa berdiri."
    "Kami bisa berdiri."
    "Untuk apa kalian berdiri?"
    "Untuk menjagamu supaya tidak mati dalam waktu dekat. Jika kamu mati begitu saja malam ini, misalnya, kami akan kesepian dan entah apa yang bakalan terjadi nanti."
    "Soal itu sudah kupikirkan. Tapi, aku tidak mengantuk setelah kalian datang."
    "Kami kira kamu sudah mati bunuh diri, dan kami kemari cuma untuk memastikan kamu baik-baik saja. Dan ternyata kamu baik-baik saja. Maaf sudah ganggu tidurmu."
    "Terima kasih. Jangan dibawa ke hati."
    Aku balik badan dan merasa sebagian kantukku belum hilang. Kuamati siluet para anjing, yang terbentuk dari cahaya lampu di luar kamarku yang gelap, dan mereka tidak juga kembali ke posisi kodrati. Maksudku, mereka tetap berdiri dengan dua kaki seperti manusia, dan aku tidak yakin kepalaku masih beres. Sesuatu yang salah telah terjadi di kepalaku. Sistem di sana boleh jadi kacau balau, dan karena itulah aku mengira diriku ini sudah gila.
    Pada akhirnya, aku memutuskan keluar kamar dan berjalan-jalan di luar sana. Ada banyak pemandangan jika malam tiba, meski semua orang sudah terlelap di tempat tidur masing-masing. Gedung tinggi, yang pernah kuimajinasikan sebagai tempat mengakhiri hidup, menampilkan titik-titik cahaya di beberapa bagiannya, dan itu indah. Aku tidak tahu siapa yang masih terjaga di jam selarut ini, dan butuh cahaya kamar sehingga orang merana sepertiku bisa tahu dari bawah sini, bahwa mereka belum memadamkan lampu.
    Aku sendiri tak pernah benar-benar ingin bunuh diri, walau berharap mati secepat mungkin. Hanya saja, pikiran soal terjun bebas dari gedung pernah mampir ke kepalaku, dan kubayangkan para penghuni kamar yang masih berlampu tak akan tahu kematianku berjarak begitu dekat dengan mereka, kecuali beberapa dari mereka sedang di balkon.
    Sambil memikirkan itu, aku terus berjalan beberapa blok jauhnya tanpa menyadari bahwa di sekelilingku ada belasan sosok. Anjing-anjing yang kurawat oleh rasa cintaku, yang semua mendadak berdiri dan berjalan tegap dengan dua kaki, tak berhenti berbisik satu sama lain selagi mengawalku. Aku merasa mereka sedang khawatir, tapi sekaligus sungkan menghentikan kehendakku yang ingin meninggalkan kamar.
    Aku tahu ini sangat aneh, tetapi sejujurnya aku terkesan dan tersanjung. Kukatakan saja soal perasaan ini, dan mereka merespons dengan anggukan lega. Kemudian seekor anjing yang paling lama tinggal bersamaku, yang berkulit cokelat dan dulu kutemukan dengan kondisi kurus, berkata padaku, "Kita bisa jalan-jalan seperti ini setiap malam."
    "Kita bisa jalan-jalan, itu betul. Tapi tidak mengubah segala yang terjadi," balasku.
    Anjing-anjing mengangguk, dan kami terus berjalan.
    Kami sampai di blok terakhir di mana batas kota ini ditandai pagar dengan sungai lebar membentang di depan. Tanpa malu kuakui, bahwa seandainya aku memang berniat bunuh diri, aku lebih suka membiarkan diriku hanyut di sungai ini, sebab Maria tidak akan tahu jasadku. Dia hanya akan berpikir, "Yunan yang malang mungkin memutuskan pergi dan tak kembali. Memang wajar, karena aku sudah mengkhianatinya."
    Dengan demikian, cuma aku dan Tuhan yang tahu kematianku. Karena aku ini gila, aku tahu anjing-anjing tidak akan mengerti semua ini. Seandainya malam ini nyata, tak ada jalan lain selain menghanyutkan tubuhku. Toh, pada akhirnya aku pulang dan tidur seperti biasa, dan tahu bahwa tidak ada anjing yang bisa bicara. [ ]
   
    Gempol, 13 Maret 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri