Skip to main content

[Cerpen]: "Markonah ke New York dan Tak Kembali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 2 April 2017)
 
    Mugeni bercerita tentang pacarnya yang pergi ke New York dan tak kembali. Dari awal ini memang tidak wajar, karena setahuku Mugeni tidak pandai berbahasa Inggris. Teman-teman lain mengira ia semakin sinting.
    "Tapi benar, pacarku itu minggat ke New York!" katanya selalu.
    Mugeni memang begitu. Jangan heran jika suatu hari kau lihat dia duduk di depan kios fotokopi Haji Samak, dan dia memegang sendok plastik sambil berkhayal dengan itu ia bisa terbang menjemput pacarnya. Mugeni mengaku sang pacar pintar berbahasa Inggris dan berdarah asli Jombang. Lulus SMA, si pacar terbang ke New York untuk sebuah cita-cita. Mugeni mengenal pacarnya ketika ia membeli buku bekas di Surabaya.
    Aku sendiri tidak begitu percaya waktu mendengar cerita ini. Coba saja kau pikir, setan mana membisiki Mugeni hingga ia rela menghabiskan uangnya yang tidak banyak itu demi sebuah buku?
    Mugeni berkeluh kesah, ia butuh buku tentang cara menarik hati perempuan. Dan di hari yang sama, ketika dengan semangat ia menelusuri setiap rak buku di suatu jalan dekat Stasiun Pasar Turi, ia bertemu Makonah.
    Pertemuan dengan Markonah, yang konon pintar berbahasa Inggris, sempat bikin si Mugeni hilang arah. Mugeni biasa bantu-bantu jadi tukang parkir di sebuah mini market, dan saat itu sebuah mobil hendak mundur setelah pembelinya selesai membeli sebotol air mineral. Karena Mugeni melamun, sebuah motor yang muncul dari gang menyambar bodi belakang mobil tersebut hingga penyok dan si orang kaya yang hanya membeli air mineral di mini market pun ngamuk tak keruan. Pengendara motor kena maki, Mugeni kena damprat.
    Sejak itu orang tahu Mugeni jatuh cinta. Mugeni yang sinting dan tidak pernah mandi dan tidak tahu bedanya Austria dan Australia, mulai merawat diri. Baju bekas ia beli di tempat yang ia rahasiakan. Minyak wangi ia juga beli dari tempat yang juga dengan terpaksa ia tidak beritahukan pada siapa pun.
    "Semua ini demi Markonah. Demi cintaku yang pintar berbahasa Inggris dan manis seperti gula batu. Garis takdir siapa yang tahu? Bisa saja kelak dia mengajakku ke sana, ke New York, tempat yang belakangan sering disebut anak muda sebagai tempat yang tidak ada. Sebuah tempat yang dirindu. Sebuah tempat yang kurang ajar. Kelak, bersama Markonah, New York bakal jadi tempat paling romantis bagiku."
    Mugeni mengatakan itu dengan sorot mata orang waras. Dan jujur saja, aku sendiri sampai berpikir jangan-jangan Tuhan menukar otak Mugeni dengan otak orang waras? Dari dulu bocah-bocah yang bermukim di sekitar tempat tinggalku, yang tahu siapa dan bagaimana Mugeni, menganggap otak lelaki itu ditukar dengan otak sapi oleh malaikat, gara-gara mendurhakai ibunya yang meninggal di rumah kosong. Ibu Mugeni ketika itu sudah jadi setengah tulang belulang, karena tidak ada yang tahu ia meninggal di sana.
    Mugeni dianggap lelaki berotak sapi, tapi setelah bertemu dengan Markonah, yang konon pintar berbahasa Inggris, ia jadi lumayan waras. Mugeni tidak grogi seperti biasa, setelah dicaci-maki pembeli air mineral yang mobilnya penyok. Mugeni tidak kelihatan cuek terhadap aroma badan yang cenderung mirip bau manusia purba.
    Mugeni mengabarkan ke hampir setiap orang yang ditemuinya bahwa kelak akan ada pernikahan besar antara dirinya dan Markonah yang digelar di Bali dan mereka pun berbulan madu di kota New York. Tidak ada yang tidak tahu kabar ini, saking gencar si Mugeni mengoar-ngoarkannya. Bahkan, kukira, cuma presiden dan para menteri serta seluruh anggota dewan yang tidak tahu. Semua orang di negeri ini seakan-akan sudah tahu akan hal itu.
    Sayangnya, Mugeni tidak pernah menunjukkan pada kami bagaimana si Markonah. Mugeni pikir itu bisa merusak hubungan mereka, sebab siapa tahu ada salah satu dari kami yang tertarik lalu menggoda Markonah. Mugeni tidak suka terjadi perpecahan, maka ia putuskan merahasiakan dulu sampai kelak pernikahan itu terjadi.
    "Tak ada yang lebih manis ketimbang kejutan semacam ini. Pacaran yang sengaja diumbar-umbar ke hadapan publik hanya akan membuatmu merana. Kau tidak tahu itu terjadi sejauh apa, tetapi bisa saja pacarmu berpaling dan kau pun mati kehilangan satu potong hati," kata Mugeni sok puitis.
    Barangkali karena Mugeni sinting, juga kami menyadari ia sedang bahagia, tak ada niat merusak kebahagiaannya. Semua orang memaklumi dan tidak memaksa menemui si Markonah. Seandainya memang ada perempuan cantik yang fasih berbahasa Inggris suka padanya, seandainya pun ada yang tak masuk akal begitu di dunia ini, seharusnya kami turut senang; paling tidak Mugeni yang malang itu mengakhiri masa-masa kelam dalam hidupnya yang sebatang kara.
    Aku kira semua berjalan baik-baik saja. Tapi suatu hari Mugeni bercerita tentang pacarnya yang pergi ke New York dan tak kembali. Dari awal ini memang tidak wajar, karena setahuku Mugeni tidak pandai berbahasa Inggris. Teman-teman lain mengira ia semakin sinting. "Tapi benar, pacarku itu minggat ke New York!" katanya dengan wajah tegang.
    Mugeni mulai kacau dan hampir setiap hari ia duduk di depan kios fotokopi milik Haji Samak. Mugeni memegang sendok kertas dan menerbangkannya dan berkata itulah kendaraan yang bakal ia bawa untuk menjemput Markonah. Orang-orang merubungnya dan menyuruhnya berhenti atas nama kemanusiaan.
    "Kami tidak bisa melihatmu begini. Kamu manusia, sekalipun otakmu sudah ganti jadi otak sapi. Dan kami manusia, sekalipun kami beda denganmu. Kita semua manusia, maka kami mohon berhentilah merana dan lanjutkan hidupmu yang tidak ada gunanya itu," kata orang-orang.
    Aku pikir, mereka butuh pergi ke dokter saraf. Mugeni bukannya sembuh, malah tambah kacau. Ia meracau tidak jelas dan bersumpah memaksa Markonah pulang untuk rencana besar itu. Pernikahan itu konon dirancang oleh Mugeni dengan matang. Tetapi ketika nyaris menyentuh tahap akhir, Markonah bilang ia tidak pulang ke Indonesia.
    "Tapi, kenapa?" Pertanyaan itu sesekali meluncur dari bibir hitam Mugeni.
    Kenapa?
    Kalau saja tega, kuwakilkan jawaban Markonah yang belum jelas nyata fiktifnya ini: karena kamu tidak waras, dan tolong jangan mimpi terlalu tinggi!
    Sayangnya aku tidak tega dan tidak mungkin kukatakan itu kepadanya, apalagi di depan banyak orang. Mugeni hanya semakin gila dan barangkali suatu malam sesosok setan mengambil otak sapinya guna menukarnya dengan otak ayam. Itu akan jauh lebih buruk.
    Teman-teman berunding demi masalah ini. Tidak ada Mugeni, memang dunia tidak kiamat. Tetapi tidak ada Mugeni, tidak ada manusia sinting di sekitar kami, dan tentu itu membuat kami tampak lebih menyedihkan.
    Istri minggat, anak minta dibelikan sepatu baru yang harganya melampaui dompet, para rentenir mengejar-ngejar, dan lain sebagainya. Semua itu permasalahan hidup kami, para buruh serabutan yang tidak merasa hidup adil, kecuali setelah melihat Mugeni. Fenomena Mugeni membikin kami lebih banyak bersyukur, sebab ternyata di dunia ini ada yang lebih sial ketimbang orang tersial di antara kami yang waras.
    Hasil perundingan itu begini: lukisan wajah Markonah akan dibuat untuk Mugeni. Dengan lukisan itu, ia bisa memuaskan kerinduannya setiap hari dan bahkan ia juga bisa mengawininya setiap malam. Lukisan adalah lukisan. Otak sapi adalah otak sapi. Kami tahu cara ini satu-satunya yang membuat Mugeni tidak bakal bunuh diri. Dan tentu saja, gila adalah gila.
    Dengan bantuan seniman jalanan anak seorang tukang becak, lukisan itu pun jadi. Markonah berwajah Dian Sastrowardoyo.
    Kata si bocah, "New York pernah berhubungan erat dengan artis yang satu itu!"
    Dengan berbekal keyakinan seratus persen, kami pun pergi menghadap Mugeni.
    Mugeni dengan tangan terbuka menerima lukisan itu dan berterima kasih, tetapi ia tidak ceria. Ia bilang, Markonah tidak persis Dian Sastrowardoyo, tetapi kalau memang secantik itu, ya sudahlah. Mugeni mengaku ikhlas. Kami lega dan pulang dengan perut kaku karena menahan tawa.
    Demikianlah, sejak hari itu Mugeni tidak lagi sedih karena Markonah ke New York dan tak kembali. Markonah yang paling sejati, dalam wujud kanvas berbau tengik, ada di hadapannya dan setiap malam ia bebas mengawininya. Aku kira, bahagia ala Mugeni memang terlalu sederhana untuk diributkan. [ ]

    Gempol, 2016 - 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri