Skip to main content

[Cerpen]: "Cermin Manipulasi" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Banyuwangi edisi Minggu, 12 Maret 2017)

Sarmila senang melihat cermin besar dipajang di ruang tengah rumahnya. Ia tidak memesan cermin. Tetapi ia pikir, mungkin ini dari penggemar. Orang yang memendam perasaan suka, yang tidak berani berbicara padanya. Orang yang lama dirindukan, tetapi tidak kunjung datang.
"Dia pasang cermin ini diam-diam," Sarmila menduga. "Dia kirim cermin ini tanpa memberitahuku, sehingga saat aku bertanya siapa yang menaruh cermin hebat ini di sini, dia datang melamarku."
Sarmila bahagia dengan kesimpulan yang belum tentu benar ini. Alih-alih ke kamar mandi, dia berpose di depan cermin, membebat handuk di kepala seakan-akan mahkota, jalan lenggak-lenggok persis peragawati di televisi. Dipandangi wajahnya lamat-lamat. Cantik, ia berbisik. Geli didengar, tetapi enak. Dicobanya ekspresi menggoda biduanita desa—yang ia anggap pelacur, atau ekspresi polos nan lugu yang banyak digemari para pemuda.
Senyum mengembang di bibir setebal martabak itu. Bola matanya berputar ke sana kemari mengamati tiap inci cermin 60 x 100 senti. Menarik napas dalam-dalam, Sarmila terharu. "Orang itu paham diriku sebagai wanita yang ingin dimengerti. Beginilah lelaki sejati. Ia tahu wanita dan memang ia pantas mendapatkanku."

Sarmila suka dandan. Cermin ini hadiah yang luar biasa. Paling tidak, itulah yang ia pikir: cermin ini hadiah. Hadiah di hari yang bukan ulang tahun. Perawan lain boleh iri!
Ia ingat tumpukan kosmetik di kamar. Ada puluhan wadah yang sebagian masih utuh dan sebagian setengah berisi. Dengan kata lain tak ada yang benar-benar dipakai sampai habis. Setiap ada iklan kosmetik, Sarmila pasti beli. Setiap apa pun yang bisa mendukung kecantikan, yang sekiranya bisa membuat dia percaya diri, langsung dibeli.
"Aku tidak perlu pakai cermin bekas tutup bedak itu lagi," ucapnya. "Mulai nanti, aku dandan pakai ini. Aku bisa dandan dengan tenang tanpa takut keseleo."
Sarmila membayangkan kemungkinan yang terjadi: dandan di depan cermin baru sehingga make up-nya sempurna, tidak timpang. Ia tidak perlu mendoyongkan kepala ke kiri, ke kanan, atau ke belakang. Kapan hari lehernya keseleo gara-gara cermin bekas tutup bedak itu kecil. Cermin besar istimewa yang dipajang di ruang tengah benar-benar memanjakannya. Cermin besar selalu istimewa.
Rasa dongkol Sarmila luruh berkat cermin ini. Tentu saja, karena begitu bangun tidur, dapat SMS tidak enak. Jamaludin, lelaki yang digosipkan suka padanya, ternyata cuma menganggapnya mainan. Sarmila suka emosi kalau bicara asmara. Tidur siang, dia mimpi buruk dikejar pocong bergigi tonggos. Begitu bangun membaca SMS berbunyi: 'Aku lho sudah punya pacar' dari Jamaludin, Sarmila jadi sangat kesal.
Untung ada cermin bagus yang—entah siapa pengirimnya—tahu-tahu dipajang di ruang tengah. Kalau tidak ada cermin ini, Sarmila tidak lupa pergi ke rumah buaya darat itu dan menamparnya di depan orang banyak sambil berkata: "Dasar bejat! Kamu sudah melecehkanku!"
Padahal, tanpa ada yang tahu, Jamaludin tidak berbuat apa-apa selain menyapanya dua kali saat mereka berpapasan di jalan. Itu pun karena Jamaludin ingin bertanya apa Sarmila melihat kambingnya yang kabur atau tidak. Sarmila menganggap pertanyaan itu basa-basi Jamaludin, meski kenyataannya tidak. Dan Jamaludin tidak tahu. Dan ia pun tidak pernah kirim-kirim SMS. Handphone saja si Jamaludin tidak punya!
Begitulah Sarmila. Sebagai perawan tua, tidak memandang sepele urusan asmara, sekalipun setengah sinting dan imajinatif. Dulu seorang tukang becak digiring ke rumah Pak RT dan diinterogasi dan hampir dibakar massa. Tukang becak itu baru nikah dan istrinya terlihat terpukul. Muncul kabar bahwa Sarmila ditiduri oleh si tukang becak dan kini tidak lagi perawan dan semua lelaki akan menjauhinya dan tidak mau menikahinya. Tukang becak itu membantah, karena ia tidak salah dan tidak pernah masuk rumah Sarmila. Dan ketika didesak, akhirnya Sarmila nyeletuk bahwa ia cuma mimpi.
Sejak itu, banyak yang mengira Sarmila miring alias gila alias edan. Tapi, perawan itu tidak peduli dan terus berdiri pada prinsipnya bahwa cinta selalu datang tanpa pernah orang duga, dan usaha tidak kenal lelah akan membuat jodohmu datang semudah kentut meluncur dari dalam perutmu. Ia percaya perkataan orang-orang adalah perwujudan dari rasa iri yang mengendap di hati mereka.
"Ya jelas mereka iri toh. Aku cantik begini, seksi begini," kata Sarmila mengingat cibiran-cibiran yang menimpa. Ia lepas bebatan handuk di kepala, lalu membelitkan ke permukaan dada hingga pantat yang tepos. Ia tahu, sebentar lagi, akan banyak orang yang iri, karena cermin istimewa ini membuatnya berdandan dengan hasil sempurna.
"Dengan cermin ini, aku seratus kali lebih cantik. Jamaludin menarik kata-katanya, lihat saja!"
Sarmila mengoceh, dan terus mencoba ekspresi lucu, manis, cantik, dan imut yang ia tiru dari foto-foto anak muda penggila selfie. Karena cermin itu baru, bayangan yang dihasilkan jernih, sehingga kadang Sarmila merasa tak yakin dengan yang dilihatnya. "Mungkin aku harus mandi dulu."
Sarmila ke kamar mandi, melepas pakaian, mengguyur badan dengan air. Sabun cair dituang. Digosok hingga timbul busa. Wangi sekali. Tidak lupa ambil botol sampo di pojok. Ia bayangkan, ketika cairan itu diusap dan digosok lembut ke rambut berikut kulit kepala; serta merta puluhan butir ketombe rontok bersama air. Bagi Sarmila, rambut panjangnya terlalu bersih.
Selesai mandi, Sarmila kembali menghadap cermin. Kali ini ia tak berbaju, kecuali menutup badan dengan bebatan handuk dari batas dada hingga pantat. Tentu, ia lebih bersih, tapi ketika mencoba bergaya lebih dekat dengan cermin itu, Sarmila tidak yakin.
"Kenapa, ya, setiap aku lebih dekat dengan cermin ini, rasanya ada yang aneh?"
Sarmila mundur beberapa langkah, lalu berjoget. Ia girang ketika membayangkan suatu saat, setelah sering dandan di cermin ini, setiap lelaki di desa tergila-gila padanya. Kalau tiba saatnya, Sarmila sesekali mandi di kali. Berharap seisi kampung heboh. Bukan untuk menghujat, tetapi memujinya berkat suatu kecantikan tiada terkira seakan dewa memberinya ramuan ajaib.
"Mereka akan bertanya dari mana aku bisa sencantik ini. Tapi aku tidak mau jawab, karena dulu mereka—terutama para wanita—menghinaku. Memangnya siapa mereka? Aku berhak dicinta, aku juga wanita. Aku berhak minta dipuji, karena aku juga wanita. Lagian diriku 'kan cantik!"
Sarmila yakin itu terjadi. Ketika ia mentas dari sungai, para lelaki hidung belang— bahkan termasuk mereka yang alim—yang sembunyi di semak, mulai melompat dan berlomba mengambilkan handuk buat sang pujaan, satu-satunya kembang desa, dengan kadar cantik yang mengalahkan biduanita yang selama ini jadi bahan melamun para bujangan.
Betapa indah itu. Betapa manis. Sarmila tersenyum geli membayangkan para lelaki saling sikut dan tertungging-tungging nyebur ke kali demi mendapat balasan cintanya. Masih di depan cermin, ia susun kata-kata pamungkas agar harga dirinya pulih.
"Aku akan bilang bahwa setiap orang berhak merasa lebih unggul dari yang lain. Kecantikan dan keseksianku tak terkejar. Tak ada lagi yang menyepelekanku, termasuk tukang becak atau Jamaludin si penjual ayam! Bahkan mungkin, kalau kampungku kedatangan kru film dari kota seperti dulu, aku digaet sutradara hidung belang. Lalu aku dijadikan artis top. Aku akan terkenal di mana-mana—Sarmila artis masa kini, Sarmila idola kaum pria—oh, indahnya. Dan setiap lelaki tidak ada yang menolakku!"
Begitulah Sarmila berkhayal di depan cermin, tak henti menyunggingkan senyum yang, jika diamat-amati olehnya, bikin berdiri bulu kuduk. Sarmila sadar dari lamunan dan kembali tidak yakin akan sesuatu yang entah apa. Ia perhatikan cermin itu; tidak ada yang keliru. Cermin itu besar, jernih, baru. Bau cat bingkainya bahkan masih tajam. Seseorang membelinya dari toko kurang dari dua jam yang lalu.
"Aku kok merasa ada yang keliru?" katanya cemas. "Tapi apa sih?"
Sarmila amati lagi cermin itu. Lampu yang menyala membuat pantulan cermin lebih terang. Ia melihat jelas bayang di sana: wanita kurus berambut panjang dengan handuk membelit badan. Ketika ia maju, pantulannya kian jelas.
Sarmila tidak sanggup melihat yang ada di sana. Ingin rasanya melempar cermin itu dengan batu, lalu melupakan rencana-rencana dan kembali menjadi dirinya. Tapi ia tahu, seseorang sudah menipunya.
"Kok diriku punya firasat kalau cermin ini palsu. Pasti orang brengsek itu nempel gambar-gambar hantu biar aku minder. Dasar biadab!"
Dengan kalap, Sarmila melepas handuk, lalu memakai daster, dan bersisir—tanpa bercermin. Ia siap melabrak orang yang mengirim cermin ini ke rumahnya. Cermin tak berguna, cermin manipulasi, yang membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia aslinya.
Tentu saja, setelah melabrak, ia pergi ke toko yang menjual cermin; siapa tahu bisa ditukar, sehingga bisa melanjutkan rencana-rencana besarnya. Bertumpuk rencana yang tertunda dan harus segera diwujudkan. Syaratnya: ia harus memastikan, cermin gantinya nanti harus yang asli. [ ]
Gempol, 2016 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Karyanya dimuat di berbagai media cetak

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri