Skip to main content

[Cerpen]: "Doa Jim" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 12 Februari 2017)
 
    Orang-orang sudah bubar, tetapi Jim masih meringkuk di kuburan bapaknya. Anak itu memang cukup sinting, tetapi jangan ditanya soal cinta. Kepada sang bapak, Jim rela menyerahkan seluruh hidupnya jika sanggup. Hanya saja, maut tidak bisa diajak diskusi, sehingga yang meninggal tetaplah bapaknya. Yang di ambang nyawa adalah Bapak, dan yang meninggal tentu adalah Bapak.
    Jim sedih; kenapa maut tidak bisa ditukar-tukar?
    Jim sudah menduga ini bakal terjadi tidak lama setelah dia melihat bapaknya batuk darah. Orang itu terlalu renta waktu memiliki anak Jim. Pekerjaan beliau sebagai kuli batu tidak mencukupi gizi Jim, yang ditinggal emaknya kawin lagi ketika dia berumur empat tahun.
    Orang-orang awalnya yakin itulah yang jadi alasan utama kenapa Jim agak tidak waras. Tetapi, ada begitu banyak keluarga di dusun itu yang bapaknya tak lebih mujur dari bapak Jim, yang seorang mandor tidak bakal tega melepas kuli macam itu pulang tanpa memberi sedikit uang tambahan. Ada banyak bocah yang dibesarkan dengan cara ala kadarnya macam Jim, tetapi mereka tidak tergoncang mentalnya dan tumbuh dengan baik, dan menjadi manusia dewasa normal. Orang-orang lalu berpendapat kalau Jim jadi sinting adalah karena takdir.
    Emak Jim dikenal sebagai perempuan yang senang berbicara. Segala macam topik tidak luput dari mulutnya, walau tidak semua harus dipahami. Dia berbicara di berbagai kesempatan dan pada akhirnya orang-orang pun tahu tujuan obrolan demi obrolan yang perempuan itu gelar di warung-warung dan rumah tetangga adalah demi menarik minat lawan jenis. Yah, kabarnya, dia tidak cukup puas dengan suami dan anak dan keluarga yang dia miliki.
    Usia antara emak dan bapak Jim terpaut cukup jauh. Segera saja orang mengecap perempuan ini sebagai gila sensasi dan kegatelan. Dengan demikian, tak akan ada yang menyalahkan jika suatu kali terdengar ucapan, "Ibunya saja sinting, apalagi anaknya!"
    Sejak Jim dewasa dan pengertian orang-orang betapa kegilaan tidak bergantung ke soal gizi dan sejenisnya, orang menerima Jim sebagai pemuda yang harus dimaklumi segala tindak tanduknya. Memaklumi orang seperti Jim pergi telanjang bulat ke pasar, misalnya, adalah pemakluman yang sudah ada sejak zaman dahulu kala.
    Ketika kabar kematian bapak Jim mengudara, dusun tersebut ramai oleh pendapat tentang bagaimana nanti Jim hidup? Anak muda itu tidak pernah bekerja dan barangkali tidak paham juga soal upah. Lagi pula, selama ini sang bapak tidak pernah mengizinkan anaknya ikut membantu angkat-angkat batu di lokasi proyek, sehingga saat orang renta itu mati, para warga kebingungan bagaimana memberi makan Jim agar tidak mati?
    Jim tentu juga manusia, walau lumayan sinting. Dia sering bernyanyi sendirian dan membuat puisi untuk bapaknya, yang dibacakan di lapangan desa tepat saat orang-orang sembahyang subuh di masjid. Pada saat itu, Jim tidak cuma membaca puisi, tetapi juga melakukan senam pagi dan berlatih pidato entah untuk keperluan apa.
    Orang-orang tahu betul kegilaan Jim, jadi tidak ada masalah soal itu. Masalahnya adalah: Jim manusia seperti yang lain. Ada saatnya dia mati jika tidak diingatkan untuk makan.
    Selama ini, bapaknya yang mengundang Jim makan, dan orang-orang tahu, meski sesekali ada bantuan beras untuk sang bapak, Jim cuma tahu kalau semua makanan yang bisa dia telan hanya yang berasal dari Bapak. Ketika melihat bapaknya batuk darah pada suatu hari, Jim berpikir, "Mungkin sebentar lagi bapakku mati, dan kalau bapakku mati, tidak ada beras di rumah."
    Jim sedih bukan karena dia tidak bisa makan. Dia tahu dia mungkin sudah saatnya tidak makan selamanya, dan itulah yang memang seharusnya terjadi, agar Bapak tidak perlu lagi susah-susah nguli batu demi dirinya. Kesedihan itu datang adalah karena sang bapak mati lebih dulu, padahal yang lebih pantas hidup selama mungkin di dunia adalah bapaknya.
    Jim punya pikiran seperti ini: jika suatu kali seseorang mati, maka selamanya yang bersangkutan akan lenyap dan menjadi tiada.
    Jim tidak yakin bahwa surga atau neraka itu ada. Jim hanya tahu, kalau orang yang sudah mati, sudah pasti orang tersebut tidak lagi eksis. Membayangkan bapaknya tidak lagi ada di mana-mana, sangat menyedihkan baginya. Jim mengira, akan jauh lebih baik jika dia saja yang tidak lagi ada di mana-mana.
    Jim mencoba berdoa, beberapa hari sebelum sang bapak benar-benar meninggal. Ia terus berdoa setiap subuh, persis di waktu orang-orang sembahyang di masjid. Dia tidak ke masjid, tetapi pergi ke lapangan seperti biasa dan berdoa di sana. Doanya sudah ada di selembar kertas dan isi doanya dia karang dengan susah payah selama kira-kira empat hari.
    Begini isi doanya:
    Semoga bapakku tidak mati dulu, dan semoga yang mati duluan itu aku. Semoga nyawa bapak yang ngos-ngosan itu bisa ditukar dengan nyawaku yang segar bugar ini, dan biar aku saja yang mati. Kalau aku duluan yang mati, Bapak bisa hidup lebih lama dan bisa berbahagia karena bebas dariku, yang kata orang-orang lumayan sinting.
    Jim tentu menulis doa macam itu dengan hasil berbutir keringat di kening dan rasa pening tak keruan selama lima belas menit, tetapi doa itu cukup bagus dan lumayan oke didengar. Jadi, Jim sangat senang sekaligus terharu ketika mengucap doanya tersebut di waktu-waktu yang sudah dia tentukan. Selama memanjatkan doa, tentu saja, Jim tidak beraktivitas seperti biasa. Lapangan tersebut hanya dia khususkan untuk berdoa supaya sang bapak diselamatkan dari maut, dan supaya dia saja yang mendahului Bapak. Untuk itu, segala kegiatan membaca puisi, senam, dan lain-lain, sementara ditiadakan. Ketika akhirnya dia tahu kalau bapaknya tetap mati, Jim menyesal telah menulis doa macam itu. Seharusnya, dia bisa menulis lebih panjang. Tetapi, kalau dipikir-pikir lagi, Jim tak tahu apa yang kurang dari doa hebatnya tersebut?
    Setelah bapaknya dikubur, dengan air mata bercucuran, Jim meringkuk di samping batu nisan. Dia tetap saja begitu sampai beberapa lama, sehingga Pardi, tukang penggali kubur yang bertekad menemaninya agar anak muda itu tidak nekat bunuh diri atau apa, memutuskan pulang.
    "Yah, saya memang harus pulang, karena perut saya sangat mulas dan harus segera buang air besar," kata Pardi kepada beberapa tetangga.
    Karena mereka tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada Jim, yang dikhawatirkan usai orang-orang menemukan kertas berisi doa tersebut, warga sepakat bergantian menjaga Jim yang masih meringkuk di dekat batu nisan sang bapak sampai sore hari. Jadi, setiap satu jam sekali, orang-orang bergantian berdiri di gerbang kuburan sambil berdoa agar setiap dari merekalah yang terakhir kali berjaga. Saat hari sudah sore, penjaga terakhir frustrasi, karena dia sudah balik dua kali, karena tidak semua orang sudi menjaga bocah sinting macam Jim bersedih di kuburan.
    Orang yang frustrasi itu pun memutuskan menjemput Jim saja dan membujuknya untuk pulang. Dia akan bilang betapa bapaknya sudah bahagia di alam sana, dan betapa kapan-kapan Jim akan dapat menjumpainya jika Allah menghendaki.
    "Benarkah?" tanya Jim dengan wajah skeptis.
    "Oh, tentu. Nanti kamu bisa bertemu bapakmu, jika Allah mengizinkan."
    "Tetapi, orang yang sudah mati akan hilang selamanya dan tidak lagi ada di mana- mana."
    Tetangga Jim tersebut pun mencoba meluruskan pandangan Jim yang dianggapnya keliru. Sayangnya, Jim tidak terima dan mengira orang ini mencoba membujuknya dan memberi semacam harapan palsu. Ia sangat tidak suka. "Dikiranya saya ini goblok, apa? Dikiranya saya ini nggak punya pikiran, ya?!" sembur Jim dengan mata melotot. Tentu, siapa pun itu, yang menemui orang sinting memelototkan mata, lebih memilih pergi ke suatu tempat yang jauh dan aman, ketimbang mendebat pendapat orang gila tersebut. Orang ini pun pergi dan Jim kembali meringkuk di kuburan bapaknya sampai esok pagi.
    Tidak ada yang tahu kapan Jim pulang, tetapi saat matahari bersinar terang di hari berikutnya, orang-orang tidak melihat anak itu meringkuk seperti kemarin. Barangkali sudah pulang dan menangis seharian di rumah. Orang-orang belum cukup berani datang untuk sekadar mengingatkan makan. Mungkin pada siang atau sore hari, Jim bisa diajak makan, begitu pikir mereka. Tapi, siangnya, orang yang memeriksa rumahnya, tak dapat menemukan Jim. Setelah dicari-cari, ternyata Jim tidak pernah pulang, melainkan pergi menyusul bapaknya dengan cara lain.
    Seseorang mengusulkan sesuatu ke ketua RT setempat, "Apa perlu saya teleponkan polisi?"
    "Enggak usah. Bocah sinting begini juga," sahut ketua RT. "Lagian kita semua juga sudah tahu apa yang membuat Jim nekat. Yang penting kita turunkan saya mayatnya dan kita kubur hari ini juga."
    Warga setuju dan mereka bekerja tanpa bicara. Yang ada di pikiran tiap orang pada saat ini adalah: mendoakan supaya bapak dan anak itu selamat di kehidupan berikutnya. Tidak ada yang tahu pasti, memang, bagaimana kondisi Jim di alam berikutnya, sebab pikiran anak itu tidak waras dan dia menganggap tidak pernah ada akhirat. Tetapi, tidak ada doa yang terpikir selain doa agar siapa pun yang meninggal diberi keselamatan. Saat semua orang bubar, kuburan keduanya benar-benar sepi. [ ]
   
    Gempol, 6 Februari 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri