Skip to main content

[Cerpen]: "Undangan bagi Para Semut" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 8 Januari 2017)

    Begitu banyak semut menyerbu tempat tidurku. Kukira aku sedang bermimpi. Jika tidak bermimpi, barangkali semut-semut itu sebatas khayalan, tetapi rasa sakit setelah dua semut menggigit tengkuk dan ketiak, membuatku tahu ini bukan mimpi.
    Aku bangkit dan memeriksa barisan semut tampak menghitam di tepi tempat tidur. Dengan kesal, kugencet barisan tersebut dari ujung hingga ujung. Beberapa semut kabur dari kelompoknya, sehingga dengan amat terpaksa, aku harus benar-benar bangun dan percaya bahwa berhenti tidur setengah jam saat badan ini lelah, tidak bakal membuatku mati. Aku memang tidak mati, tapi lelahku makin tak keruan. Esoknya, aku nyaris kena amuk bos gara-gara menguap berkali-kali, dan karena takut dipecat, semut-semut itu patut kubasmi.
    Sebagaimana di malam sebelumnya, malam itu semut-semut kembali berbaris, tapi aku sudah siap dengan dua bungkus kapur ajaib. Itulah yang memang tertulis di wadah kapur khusus pembasmi serangga. Kapur tersebut kugerus sedemikian rupa dan kutabur ke permukaan seprei tempat di mana semut-semut berbaris dua malam terakhir. Dalam waktu kurang dari setengah jam, jumlah semut berkurang dan lama kelamaan hilang tak bersisa.
    Sayangnya, semut-semut kembali lagi esok malamnya, dan usaha mengusir mereka dengan kapur ajaib tidak mempan. Kuduga, semut-semut ini belajar cara bertahan dari ganasnya ramuan kimia ajaib dalam kapur pembasmi serangga. Tidak kehilangan akal, kutuang minyak tanah ke dalam botol bekas minyak wangi yang sudah tidak terpakai. Lalu, kusempot setiap sudut tempat tidurku agar semut-semut kehilangan arah.
    Barisan semut terjadi adalah karena hormon tertentu yang keluar dari tubuh mereka, sehingga jika seseorang merusak penghirupan para semut terhadap hormon yang satu ini, semut-semut tak bakal berbaris dan hilang arah. Dan memang benar mereka hilang arah, lantas satu per satu kugencet dengan jari telunjukku dan mati gepeng. Lama kelamaan, semut-semut itu pun habis.
    Aku tahu usaha mengusir para semut ini sangat mengganggu waktu istirahatku. Di kamarku tidak ada sama sekali celah yang memungkinkan semut untuk datang. Misal, di sini tidak pernah kusimpan makanan. Aku selalu makan di luar, atau di dapur, jika orang yang memiliki rumah ini sedang tidak ada di tempat. Intinya, kamar yang kusewa selalu jauh dari jangkauan makanan. Demi apa semut-semut itu datang? Aku harus membuang waktu khususku untuk menelepon pacar atau sekadar berbaring sampai mataku terpejam seutuhnya. Aku harus membuang waktu berharga ini demi mencari cara mengusir para semut agar tidurku nyenyak. Tetapi, toh tidurku tidak pernah benar-benar nyenyak. Aku hampir selalu kesiangan dan terancam dipecat gara-gara gangguan para semut.
    "Tidak ada yang lengket," jelasku saat bercerita ke seorang teman. "Tidak juga ada yang punya kunci cadangan."
    Seorang teman mengusulkan kemungkinan, bahwa seseorang sengaja menjebakku agar menderita di kamar tersebut. Ia pikir, seseorang sengaja mengundang semut-semut itu ke sana, sehingga dengan demikian tidurku terganggu dan hidupku bakal berantakan. Aku tidak tahu bagaimana mungkin seseorang, yang kemungkinan memusuhiku diam- diam, dapat berpikir sejauh itu, dan pula dengan cara apa memasukkan semut ke kamar orang yang kau benci?
    Kamarku terletak di lantai paling atas bangunan terbobrok di kompleks perumahan dekat kantor pos. Di sanalah seminggu terakhir aku indekos, sebab menurutku tinggal di rumah yang juga ditinggali oleh bapakku adalah neraka. Aku tak pernah bisa bebas dan selalu merasa seakan-akan diriku orang sinting, jika ada Bapak di sekitarku. Bayangkan saja, dia suka berteriak-teriak dan menyebutku tidak pakai otak, hanya karena persoalan sepele. Adalah wajar jika aku memilih menyewa kamar kost demi bisa jauh dari Bapak, meski tempat kerjaku tidak terlalu jauh dari rumah.
    Kondisi rumah tempat di mana kamar kostku berdiri memang bobrok. Atap bocor di sana-sini seakan sudah biasa, dan tikus-tikus beranak-pinak di beberapa tempat yang tak seharusnya, sama sekali tidak mengganggu si pemilik. Tetapi kamar yang kusewa ini tidak seburuk kamar-kamar lain.
    Kamar ini dulunya adalah kamar milik putri pemilik kost, yang meninggal setahun silam oleh serangan jantung. Gadis itu rajin merawat kamarnya; itulah yang kudengar dari pemilik kost.
    "Bahwa tidak ada gadis serajin dia di dunia, jika memang ada yang berkata seperti itu, jelas saya bakalan percaya. Memang tidak ada gadis serajin anak saya! Kamarnya ini seakan salah tempat. Seharusnya kamar ini ada di rumah lain, yang jauh lebih bagus dan tidak ada atap bocornya atau bayi-bayi tikus atau bahkan semut-semut. Coba Anda bandingkan dengan kamar-kamar lain di seluruh rumah ini. Anda dapat membuktikan betapa ucapan saya seratus persen benar!"
    Dan karena itulah, kubayar kamar ini dengan harga sepantasnya, dan bonus berupa camilan segala rupa, jika sepulang kerja kusempatkan mampir ke mini market membeli camilan kesukaanku. Jadi, tidak mungkin pemilik kost bermaksud buruk kepadaku. Aku sendiri sangat menghargai kamar almarhum putrinya.
    Tetapi, aku juga tidak kenal penyewa kamar lain di rumah ini, sebab mereka jarang terlihat, dan sekalinya terlihat juga tidak pernah menanggapi sapaan basa-basiku, meski sekadar anggukan pendek. Jadi, kurasa kemungkinan bahwa para semut itu datang oleh karena tangan-tangan jahat seorang pembenci, sama sekali salah.
    Pada malam kesekian, setelah mulai terbiasa mengatasi para semut yang selalu dan selalu datang ke tempat tidurku, aku mulai meyadari sesuatu. Ketika mandi sore itu, aku mengira menghirup aroma kembang, tetapi entah dari jenis apa. Setelah kuresapi aroma itu dengan memejamkan mata, aku sadar itu bukan aroma kembang, tetapi lebih dekat pada bau tanaman tebu yang manis. Dan bau tersebut ternyata berasal dari permukaan kulitku.
    Aku tidak tahu bagaimana kulitku berbau tebu, tetapi hari demi hari bau tersebut semakin menguat dan semut-semut yang berdatangan semakin banyak. Mereka semakin pintar karena mempelajari cara bertahan dari segala macam benda anti-serangga yang kupasang demi membunuh semut-semut. Aku percaya, semut-semut ini menggila adalah karena bau tebu yang sangat memabukkan.
    Aku tidak tahu bagaimana menghentikan serangan semut-semut ini, tetapi kurasa aku harus pindah sekali lagi, dan mencari kamar baru demi kehidupan yang lebih tenang. Aku tidak tahu kenapa tubuhku beraroma tebu, tetapi kurasa itu hanyalah perasaanku. Di kehidupanku yang dulu, ada begitu banyak tragedi terkait aku dan Bapak, yang tidak mungkin kulupakan. Kurasa, semut-semut itu hanyalah rasa takut pada masa laluku. Di tempat yang sangat jauh, barangkali, semut-semut tidak lagi datang.

    Gempol, 2 Januari 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Karya-karyanya terbit di berbagai media.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri