Skip to main content

[Cerpen]: "Sebungkus Cokelat dan Kisah-Kisah di Baliknya" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Flores Sastra edisi 8 Januari 2017)

    Kim memberiku sebungkus cokelat untuk menghabiskan malam terakhir tahun ini. Ia tidak bicara apa-apa selain membahas cokelat itu, tetapi aku tidak sesemangat dulu dalam menghadapi cokelat dan aku tidak akan memakan cokelat ini. Aku hanya terus mendengarkannya dengan riang berkisah soal cokelat-cokelat yang membuatnya hidup. Dulu dia hidup dari cokelat; orangtuanya mati ditembak orang, dan Kim bertahan hidup dengan berjualan cokelat dari satu stasiun ke stasiun lainnya.
    "Sampai sekarang aku tidak mungkin melupakan jasa cokelat. Tidak ada cokelat di dunia, sama dengan tidak ada diriku. Barangkali waktu itu aku sudah mati atau dijual ke rumah bordil kalau tidak pergi sejauh mungkin dengan berjualan cokelat," kenang Kim penuh semangat.
    Aku mengangguk dan merasa jenuh dengan cerita tentang ini. Bukan tidak simpati atas segala yang menimpanya. Kim tahu akulah satu-satunya lelaki yang mencintainya dan bisa dia andalkan dalam banyak hal. Tetapi hampir setiap hari bertemu dan makan cokelat, dan mendengar cerita-cerita di baliknya, entah itu sejarah Kim kecil yang hidup dari batangan cokelat murah, hingga proses produksi biji cokelat di pabrik-pabrik lantas berubah menjadi cokelat kemasan, yang sama sekali tak menarik minat keingintahuanku, membuat perutku mual.
    Aku bosan dan pada akhirnya membiarkan Kim terus berbicara. Setengah jam Kim tampil dalam panggung monolog, seorang lelaki mengetuk pintu rumah kami. Ia lelaki yang sangat tua dan tampak kelaparan. Sementara para pejalan kaki berlintasan tepat di belakangnya, demi merayakan malam pergantian tahun, lelaki tua itu justru menangis sesenggukan karena belum makan sejak kemarin.
    Aku katakan pada lelaki tua itu, bahwa kami tidak punya makanan, dan hanya ada sebungkus cokelat. Ia mempertimbangkan apakah cokelat dapat membuatnya sakit atau kenyang, atau dua-duanya sekaligus. "Tapi saya berharap cuma mendapat rasa kenyang saja," katanya dengan jujur.
    Dengan segera kuambil cokelat di tangan Kim, yang ketika itu berdiri dengan agak malas di sampingku, yang membiarkan lelaki tua tersebut bersandar pada tiang halaman teras kami. Perempuan itu tidak protes, tetapi aku tahu ia tidak suka cokelat hadiah tadi diserahkan begitu saja ke orang asing yang tak kami kenal. Setelah lelaki tua itu berlalu dengan membawa cokelat yang sebenarnya diharapkan Kim untuk kutelan, kukatakan padanya, "Toh, cokelat tersebut untuk membuat seseorang bahagia, 'kan?"
    Karena tidak ada acara istimewa, sebagaimana malam-malam tahun baru sesudah ini, aku dan Kim malas menyalakan televisi, tetapi juga enggan pergi ke luar rumah. Di beberapa tempat orang-orang sedang sibuk menyiapkan ini-itu, terutama kembang api, yang menurutku adalah bentuk pemborosan. Tetapi Kim, sekalipun tidak pernah benar- benar berminat menikmati malam pergantian tahun di luar rumah, menganggap mereka yang menyalakan kembang api itu harus dimaklumi.
    "Dengan apa orang merayakan hari yang spesial, kalau bukan dengan sesuatu yang indah macam kembang api?" katanya dengan suara datar.
    "Dan cokelat juga salah satunya?" sahutku.
    Kim tidak menjawab, tetapi menggamit lenganku dan kami meluncur begitu saja ke jalanan tanpa tujuan. Kami berjalan dengan mengikuti bisikan hati saja dan percaya bahwa tanpa pemikiran tentang tujuan keluar di malam tahun baru, seseorang juga dapat menemukan kesenangan. Lagi pula, pemberian cokelat kepada pengemis tua tadi tidak membuat Kim senang. Dan aku berharap dengan jalan kaki kami menemukan apa yang membuatnya senang.
    Kira-kira lima belas menit, kami sudah berjalan cukup jauh, ke sudut kota yang tak begitu kukenal. Memang belum lama kami pindah kemari dan perjalananku ke kantor tak pernah melewati jalanan yang berbeda. Aku jarang keluar rumah kalau bukan pergi ke bioskop atau rumah teman atau sesekali ke taman favorit Kim, sehingga tidak semua sudut kota kami kenali.
    Setelah menyeberangi sebuah pertigaan, aku dan Kim tiba di depan bangunan hotel tua, yang agaknya terbengkalai sejak lama. Warna-warni bertebaran di langit kota, juga di sekitar kami, tetapi di tubuh hotel tua hanya kelabu. Entah kenapa Kim mengajakku berdiri tegap sambil memandang bangunan tua tersebut dengan cara mendongak, karena hotel yang kumaksud lumayan tinggi. Ada puluhan lantai yang seharusnya bisa memuat ratusan manusia di sana yang tak mempunyai tempat tinggal di kawasan ini.
    "Aku ingat bangunan ini," kata Kim dengan tenang. Ia lalu bercerita tentang lelaki baik hati yang mencegatnya di suatu jembatan. Kim dengan cekatan menunjuk sebuah arah, tidak jauh dari pertigaan tersebut, yang mana memang terdapat jembatan di sana. Ia bilang, di jembatan itulah ada seorang lelaki yang memintanya tersenyum, dan tidak meminta apa pun selain senyuman. Kim memberinya senyum dan orang itu memberinya modal berjualan cokelat.
    "Aku ingat uang dua ratus ribu pada zaman itu jumlahnya amat sangat besar. Dan lelaki yang kumaksud tidak pernah sudi menyebutkan namanya. Ketika kutanya di mana ia tinggal, ia bilang di sinilah ia tinggal," jelas Kim panjang lebar, lalu memelukku dan mulai menangis.
    Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan. Aku tahu tahun ini akan segera berakhir dan itu tidak akan lama. Kurang dari satu jam, kembang api akan bertaburan di langit kota, dan hampir seluruh manusia menganggap momen tersebut adalah momen istimewa dan menakjubkan dan tidak patut dilewatkan.
    Tetapi bagiku, pergantian tahun biasanya akan tetap sama dan tidak akan ada yang istimewa. Aku tidak tahu kenapa tiap pergantian tahun terjadi, Kim tidak bosan bercerita tentang perjalanannya bersama batangan cokelat dan segala proses di baliknya. Seakan- akan dia dicipta ke dunia ini hanya untuk cokelat. Bayangkan, seorang perempuan yang meraih kehidupan terhormat dan mapan di masa dewasanya, yang menikah dengan pria yang dia cintai, tidak pernah bisa melepas kenangan pahit masa kecilnya yang nyaris tak terselamatkan.
    Aku tahu bagaimana Kim dapat disebut nyaris tak terselamatkan itu, karena setelah kedua orangtuanya mati ditembak perampok, anak itu diculik dan dibawa ke lokalisasi dan kebetulan saja seseorang yang kukenal berada di sana ketika itu. Aku mengenal dia, lelaki yang memberinya modal berjualan cokelat, dan semua itu dilakukannya karena ia tidak mau Kim celaka.
    Aku tahu lebih banyak dari segala yang Kim ceritakan, sebab ingatan perempuan itu tidak selalu bekerja. Pada masa itu, lelaki yang tinggal di suatu hotel dekat pertigaan serupa bayang samar, dan cenderung mendekati wujud malaikat yang tak mungkin Kim jangkau. Tetapi, aku tahu Kim salah.
    Aku tahu lelaki itu bukan tak terjangkau. Ia hanya tidak ingin merasa bantuannya di masa lalu dinilai demi suatu tujuan. Ia bahkan tidak tahu ketika akhirnya Kim sukses sebagai wanita karier, kemudian mengenalnya sebagai senior yang dapat dipercaya, lalu kemudian gadis itu jatuh cinta padanya tanpa memandang usia. Ia tidak tahu sampai ada saatnya Kim bercerita tentang masa lalu.
    Sejak itulah, aku tahu, tindakan masa lalu kadang-kadang menimbulkan efek yang mengejutkan di masa depan. Aku bahkan tidak pernah berpikir menikahi seorang gadis yang dulu kutolong dengan segepok uang tepat di malam pergantian tahun. Gadis yang memilih cokelat sebagai caranya lepas dari kepahitan. Aku kira, sampai kapan pun, aku tidak bisa memberinya penjelasan yang sesungguhnya. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin malu, atau mungkin ada alasan-alasan lain yang sulit kutemukan. Tetapi, aku lebih suka merasa jenuh oleh kisah cokelat, karena perasaanku pada Kim begitu kuat dan tak tega kubayangkan wajah kecilnya yang menderita setiap kali ia membahas cokelat. Dan saat ia tahu lelaki penolongnya adalah aku, apa yang terjadi pada kami?
    Ketika akhirnya kembang api di setiap sudut kota dilepas ke udara, dan puncak gedung hotel tersebut benderang oleh warna, kuajak Kim pulang dan berjanji memakan kue cokelat yang dia bikin besok pagi sampai habis. Ia tersenyum dan aku tahu aku bisa selalu membuatnya tersenyum. []
   
    Gempol, 31 Desember 2016
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri