Skip to main content

[Cerpen]: "Doa yang Mengerikan" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 8 Januari 2017)

    Aku belum tidur dan perutku sangat lapar. Malam itu aku berdoa agar Ayah tidur selamanya. Jika Ayah tidur dan tidak pernah bangun, aku bisa makan es krim sepuasnya di kulkas. Aku juga bisa mengambil uang di dompetnya dan pergi ke mini market depan untuk membeli beberapa bungkus roti.
    Kalau Ayah terbangun, mungkin aku dipukuli karena telah mengambil uang tanpa izin. Tetapi karena dia mati selamanya, aku dengan santai meninggalkan rumah tanpa takut ada yang mengejar dan menghantamku dari belakang seperti biasa. Begitu sampai di mini market, aku percaya bahwa Tuhan ada lagi.
    Dulu, Tuhan ketiduran di awan, sehingga tidak bisa melihatku yang disiksa Ayah. Atau, jangan-jangan Tuhan melayani anak-anak lain yang rumahnya jauh dari rumahku? Aku tidak mampu membuktikan keberadaaan Tuhan, sehingga suatu ketika kuputuskan: Tuhan mungkin tidak ada. Aku lalu berhenti berdoa. Tetapi aku tahu hanya doalah yang bisa membuatku lupa akan rasa sakit. Jadi, malam itu kembali aku berdoa. Doanya agak berbeda: Aku berharap Ayah mati selamanya. Jika Ayah betulan mati dan tidak pernah bangun lagi, aku bisa melakukan apa pun kesukaanku. Bukankah itu menyenangkan?
    Aku akan pergi ke luar dan mencari makanan untuk mengganjal perutku. Aku akan bertanya pada pegawai mini market yang berbaju merah-biru, "Di mana rak roti sobek, ya?" Dan ia menunjukkanku tempat di mana ada banyak sekali roti sobek. Aku tinggal memilih rasa mana saja yang kusuka, sambil melompat riang gembira dari baris satu ke baris lain rak tersebut. Dan aku lalu membayarnya pakai uang tunai, tanpa harus takut ketahuan mengutil.
    Tetapi, Ayah masih mendengkur di atasku. Aku di kolong tempat tidur dan perutku masih lapar. Tuhan mungkin sedang bersembunyi, dan bukannya tidak ada, dan aku tahu jika aku berdoa terus menerus, mungkin saja doaku akan dikabulkan oleh Tuhan dan dua jam lagi mungkin Ayah mati selamanya.
    Aku tahu pertanda Ayah mati untuk saat ini adalah: berhenti mendengkur. Ayahku suka mendengkur kalau tidur dan itu sangat mengganggu tidurku. Aku tidak berani lagi membangunkannya setelah suatu hari, tepat di hari ketujuh kematian ibuku, aku pengen pipis dan mencoba membangunkan Ayah.
    "Pipis sendiri sana!" bentaknya, lalu Ayah menghantamku dengan tangannya yang besar dan kasar.
    Aku terbanting di lantai dan mengaduh kesakitan, dan terkencing di celana.
    Sejak malam itu, hubunganku dan Ayah terus menerus memburuk.
    Ayah tidak memberi alasan pasti kenapa ia harus menghukumku. Jika aku dihukum, maka tubuhku seperti barang rombeng. Aku anak yang tak berguna dan lebih buruk dari semua jenis binatang. Itulah kata ayahku.
    Aku merasa seharusnya aku mati, karena pukulan-pukulan Ayah sering membuatku berdarah di hidung dan mulut, tetapi aku belum mati, dan mungkin nyawaku ada seratus empat puluh dua. Jika memang ada segitu, kalau kuhitung dengan pasti, mungkin tidak lama lagi aku betulan mati, karena terlalu seringnya Ayah memukuliku.
    Suatu hari aku ingin Tuhan mematikanku, tanpa peduli jumlah nyawaku yang banyak itu. Tuhan sangat jahat karena tidak mau menyembuhkan luka dan rasa laparku, tetapi aku terus saja diberi hidup. Semalaman aku terus berdoa agar langit di atas kota ini runtuh semua dan aku beserta ayahku menjadi penyet seperti pecel lele. Sayangnya, itu tidak terjadi dan kupikir, mungkin Tuhan tidak mau membunuh tetangga-tetangga kami juga.
    Jadi, aku mulai berdoa agar langit yang runtuh cukup di atas rumah kami saja, lalu rumah itu rata dengan tanah dan mayat kami tidak perlu ditemukan karena benar-benar hancur. Semua rata dengan tanah dan tidak ada lagi sisa kami. Tapi kukira itu agak aneh, karena nanti para tetangga pasti akan berpikir aku dan ayahku kabur membawa rumah kami ke tempat jauh. Ayah 'kan utangnya banyak.
    Aku pernah berdoa agar Tuhan mengirim hujan batu besar agar merobohkan rumah ini; aku belum tidur dan Ayah sedang tidur, jadi hanya ayahlah yang mati dan aku bisa pergi ke tempat lain dan mencari orangtua baru yang baik hati dan tidak memukuliku tanpa alasan. Tapi, itu tidak terkabulkan. Aku juga bahkan pernah berdoa agar Ayah mati ditabrak kereta. Dia tetap pulang pada sore hari untuk memukuliku sampai pingsan.
    Aku disuruh Ayah tidur di bawah kolong tempat tidur, karena di sana ada banyak tikus. Ayah tahu aku benci tikus, karena suka mengerikiti jempol kaki dan aku sering merasakan gatal tidak nyaman pada kakiku karena tikus. Jadi, Ayah menghukumku tiap malam dengan cara itu.
    Tapi Ayah tidak selalu jahat. Kadang-kadang ia baik dan membiarkanku makan es krim sepuasnya di lemari es. Meski tidak jarang es krim itu sudah lama dan membuat perutku sakit, aku tetap bahagia karena masih bisa menikmati rasa es krim. Ayah tidak suka aku menolak semua perintahnya, termasuk makan es krim yang sudah terlalu lama dan layak dibuang. Ayah juga, tentu, tidak suka aku menolak perintahnya untuk berhenti dari sekolah demi membereskan rumah setiap hari.
    Ketika aku mulai sedih, karena tidak lagi ketemu teman-temanku di sekolah, Ayah beli sebuah boneka untuk kumainkan di bawah kolong tempat tidurnya. Ia bilang, "Kau boleh berteman dengan itu. Tidak yang lain!" Aku patuh saja dan berdoa keras-keras di dalam hati agar Tuhan mengirim lagi boneka untukku agar temanku ada banyak.
    Sering aku memikirkan Tuhan, tetapi tidak paham kenapa Ia membiarkan tingkah jahat Ayah kepadaku? Aku tidak tahu apa Ayah menyogok Tuhan agar tidak membelaku, atau memang Tuhan sedang ketiduran saja. Tetapi pada akhirnya aku menganggap Dia tidak pernah ada.
    Anggapanku soal Tuhan yang tidak ada memang sering berganti-ganti dan itu amat tergantung pada kondisiku. Jika aku bahagia karena boleh main boneka atau membuka kulkas untuk mengambil makanan atau es krim, kukira Tuhan ada. Tetapi jika aku sakit setengah mati, sebab Ayah baru saja memukuliku, kupikir Tuhan baru saja menghilang dan tidak pernah kembali.
    Begitulah hari-hari berjalan membosankan, dan membuatku berpikir mati secepat mungkin lebih baik daripada tetap hidup. Mati menyusul Ibu di surga menjadi tujuanku, tapi aku tidak tahu cara bunuh diri dan tidak berani. Makanya aku hanya berharap ada sesuatu yang bisa membunuhku, sesuatu yang bukan berasal dari tanganku sendiri, bahkan kalau bisa dari tangan Ayah juga tak masalah. Hanya saja, sekeras apa pun Ayah menghukumku, aku tidak mati.
    Aku masih hidup dan kedinginan dan merasa lapar. Perutku melilit seakan di sana hidup beberapa ekor serigala yang menerkam dinding perutku. Aku berpikir ada pisau di dapur yang bisa kugunakan untuk membelah jalan bagi para serigala itu, tapi aku takut pada rasa sakit terkena pisau. Jariku pernah kena pisau, dan itu sangat sakit. Bagaimana kalau perut yang kena, ya?
    Jadi, aku bangun pada suatu malam dan berdoa agar Ayah mati selamanya. Doa itu lagi. Sering kali aku berharap Ayah mati, tetapi baru kali ini aku meminta agar Tuhan mematikannya begitu saja tanpa sebab besar, seperti misalnya langit kota roboh atau ada hujan batu menimpa rumah. Cukup mati mendadak dan nyawanya tidak ada, itu sudah membuatku senang. Maka, kali itu aku bersungguh-sungguh agar doaku dikabulkan.
    Aku sudah membayangkan bakal bebas berbuat apa pun jika Ayah mati selamanya dalam tidur. Ia tidak memukuliku lagi dan aku bisa pergi ke mini market dan membeli semua yang kubutuhkan dan kusuka. Setiap hari aku merdeka.
    Aku tidak pernah memegang uang. Ketika kubayangkan dompet Ayah benaran ada di tanganku, mungkin tubuhku akan bergetar hebat karena gugup. Atau barangkali aku akan ketahuan mencuri uang ayahku? Anak kecil tidak wajar membawa uang sendiri ke mini market, kecuali disuruh. Bagaimana kalau aku cepat ketahuan, karena yang kubeli hanya roti sobek dan semua makanan kesukaan anak kecil?
    Aku berputar-putar di kolong tempat tidur seperti gasing, karena perutku semakin sakit. Sekarang serigala-serigala di perutku meronta, karena belum ketemu jalan keluar, sehingga mereka tidak berhenti mencabik dan menerkam.
    Aku ingin berteriak keras-keras, lalu menghentikan suara dengkur Ayah dan ia pun mati seketika. Aku tidak yakin terjadi, tetapi terus berharap begitu. Ayah tidak mungkin mati hanya karena teriakanku; yang ada ia malah melompat bangun dan menarik kakiku dari kolong tempat tidur, dan memukuli serta menendangiku sampai puas. Ia akan terus berkata, "Dasar anak setan!" Dan aku adalah barang rombeng tak berguna.
***
    Karena tidak tahan, aku memutuskan mencuri uang Ayah, sekalipun ia tidak mati selamanya. Ayah masih tidur dan aku merayap keluar dari kolong tempat tidurku. Aku mencari celananya yang digantung di pintu dengan tubuh berkeringat dan bergetar. Aku berhasil menemukan dompet itu. Aku ambil beberapa lembar uang. Ternyata tidak sulit.
    Beberapa menit kemudian aku sudah ada di luar rumah tanpa Ayah tahu. Mungkin ia masih mendengkur dan tidak sadar uang dalam dompetnya hilang seratus ribu. Tapi aku tidak akan mengaku besok pagi, seandainya Ayah sadar uangnya ada yang mencuri. Jadi, aku harus cepat-cepat pergi ke mini market, memakan roti sobek dan jajananku di jalan secepatnya, dan pulang. Semua itu agar aku tidak ketahuan mencuri.
    Tapi, kalau aku kembali, toh Ayah masih punya alasan memukuliku seperti biasa. Tidak bersalah saja aku dihukum, apalagi uangnya hilang (dan aku bersalah karena telah mencuri). Aku takut membayangkan amukan Ayah; pukulan itu, terjangan itu, tindihan itu, semuanya. Aku takut disiksa Ayah, jadi mungkin sebaiknya aku tidak kembali ke rumah setelah mendapat makanan yang kubutuhkan. Mungkin sebaiknya aku kabur saja ke tempat lain, sebuah tempat yang mungkin dihuni Tuhan yang mau melindungiku. [ ]
   
    Gempol, 2 September - 19 Desember 2016

*Cerpen ini terinspirasi curhatan seorang teman.

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri