Skip to main content

[Cerpen]: "Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih
(Dimuat di Haluan edisi Minggu, 22 Januari 2017)   

Belum sampai tikungan, lelaki tua itu berhenti. Saya tidak pernah melihatnya, tapi motor bututnya menerbangkan saya ke ingatan belasan tahun silam soal Bapak. Di sini, di tikungan ini, dahulu Bapak juga sering berhenti dan menyetandarkan motornya di sisi jembatan. Tanpa menoleh kanan-kiri, ia melongok bawah dan berteriak, "Maria, Maria."
    Saya kira, mungkin lelaki tua itu Bapak saya. Apa mungkin seseorang yang sudah meninggal tahu-tahu menyambangi kita? Di dunia ini, hal paling konyol saja bisa terjadi, apalagi hantu. Hantu bukan hal konyol, walau saya berharap bapak saya tidak menjadi hantu.
    Saya menyeberang dan meninggalkan Leli, pacar saya, di butik sehingga ia protes. Saya ke sana dulu, begitu kata saya. Tak tahu apa yang Leli omelkan. Saya sampai di jembatan, menjelang tiang lampu tempat motor butut itu disandarkan.
    "Sore, Pak!"
    Lelaki tua menoleh dan ia bukan hantu. Posisi tubuhnya membungkuk bersangga pada dinding jembatan, melongok ke bawah. Agaknya ia siap meneriakkan sebuah nama, namun urung setelah mendengar saya. Ia menjabat tangan saya dan berkata bahwa dulu pernah ada bunuh diri di sini. Saya tidak meminta bercerita, tetapi ia terus menjelaskan bagaimana perempuan itu mati bunuh diri.
    Saya tidak tahu apa profesi lelaki tua ini, tapi dia pintar bercerita. Mungkin guru TK sehingga sudah biasa mendongeng. Atau di setiap malam, kepada anak-anak kecil di rumahnya, ia biasa menghibur mereka dengan cerita-cerita ajaib dari luar negeri.
    Saking pandainya lelaki tua ini menyusun komposisi bagaimana sebuah cerita yang baik itu disampaikan, saya sampai terbuai dan bisa membayangkan detik-detik bunuh diri yang sukses itu. Pacarnya mati dengan kepala pecah membentur batu kali.
    "Kasihan," kata saya.
    "Sayalah yang kasihan. Bertahun-tahun tidak pernah hidup tenang," sahutnya. Saya kira, saya menyinggungnya, tetapi lelaki itu tersenyum memandang saya, "barangkali, kalau saya tidak pergi ke rumah sepupu, ia masih ada di dunia ini."
    Saya tidak tahu perjalanan cinta kedua orang ini, tetapi tahu bagaimana Bapak saya tidak kalah menderita. Ibu saya juga mati bunuh diri di sungai ini; lompat dari jembatan agaknya sempat menjadi trend, entahlah.
    Saya tidak tahu persis kapan lelaki tua yang sempat saya kira hantu ini ditinggal bunuh diri sang pacar. Dan tidak mau mengingat tahun kematian Ibu di tempat yang sama. Waktu itu saya terlalu kecil dan terpukul. Menjadi orang dewasa waras dan hidup senormal hari ini membuat saya bersyukur. Kalau saja gila, tidak bakal Leli yang cantik itu mengejar-ngejar saya.
    Tanpa sadar, setelah mendengar lelaki tua bercerita soal hubungannya yang rumit dengan pacarnya, saya bersangga pada jembatan. Arus kendaraan dari arah kota tidak padat hingga saya bisa merasakan Leli geram menunggu saya di seberang. Biasanya, di butik, ia tidak melepas kesempatan mencari perhatian. Leli tidak suka saya bungkam saat ia meminta pendapat tentang bajunya.
    Mencari alasan untuk diterima perempuan sekeras Leli tidak mudah. Dan lelaki tua ini alasan paling benderang. Saya tidak suka Leli yang tidak pedulian, hingga nanti bisa saja saya katakan, "Kakek itu ingat pacarnya yang mati di situ dan dia mau bunuh diri. Makanya aku diam dan mencoba membujuknya bahwa bunuh diri bukan solusi."
    Urusan Leli percaya atau tidak pada kebohongan saya, adalah urusan belakangan. Tapi dia boleh tidak percaya dan memarahi saya. Jika begitu, saya memakai ucapannya sebagai senjata untuk serangan balik. Saya sebenarnya sudah bosan pacaran sama Leli. Hubungan kami seperti jalinan yang kusut karena dibangun atas dasar terpaksa.
    Karena diam terlalu lama, tanpa sadar, saya pun bercerita soal pengalaman Bapak pada lelaki tua ini. Dahulu waktu beliau hidup, demikian kata saya pada si lelaki tua, bapak saya rutin kemari pada tanggal tertentu. Hari kematian ibu saya. Lelaki tua memandang takjub, lalu berubah menjadi tertekan.
    "Yah," kata saya, "ibu saya juga mati dengan cara yang sama. Bunuh diri dari atas jembatan ini persis di musim kemarau. Tapi, seingat saya, kata Bapak itu bukan lagi kemarau, melainkan awal musim penghujan. Untung mayat Ibu tidak hilang."
    "Saya turut prihatin."
    "Terima kasih."
    Lelaki tua itu meraba kantung jaket. Saya kira, ia tidak menemukan yang dicari, karena meraba demikian lama. Barangkali rokok. Berinisiatif membangun kepedulian, juga rasa saling mengerti bahwa kami sama-sama kehilangan orang tercinta di jembatan ini, di sungai ini, saya sodorkan sepuntung rokok yang kebetulan belum saya isap. Leli tadi buru-buru turun dari mobil dan menggandeng tangan saya, sebelum sempat saya sulut rokok itu.
    Lelaki tua memandang saya kaku, lalu tersenyum. Ia menggeleng dan mengangkat tangan kanannya, dan menepuk-nepuk dada dengan cukup keras. Saya kira, ia lelaki tua yang kuat. Walaupun kurus, tepukan keras tadi tidaklah membuatnya batuk.
    "Kalau dari muda saya merokok, tidak ada pertemuan ini."
    Saya mengerutkan kening. Ia tertawa dan bilang 'terima kasih', tapi meraih rokok tadi dan memasukkannya kembali ke kantung saku saya.
    Saya paham. Lelaki tua ini sehat sampai di usianya yang hampir tujuh puluh; hanya selisih beberapa tahun dengan Bapak. Hanya saja, dulu Bapak perokok dan meninggal di usia keempat puluh. Saya tidak lupa mengatakan bahwa Bapak saya meninggal di usia relatif muda dan juga sering melongok ke bawah dan memanggil nama ibu keras- keras tanpa peduli orang lewat menganggapnya gila. Di pagi hari sebelum kerja, atau sore pulang dari ngantor, Bapak mampir ke jembatan ini. Saya tidak bisa melupakan kenangan soal itu, karena teman-teman di kelas sering menganggap Bapak saya tidak waras.
    "Saya juga sering dianggap gila kok," kata lelaki tua. Kali ini senyumnya pudar. "Di mana-mana, kalau cinta tidak dilengkapi kegilaan, kita tidak pernah bisa melihat seberapa lama cinta semacam itu bertahan. Analogi sederhananya adalah: orang sinting tidak protes walaupun kamu kurung di WC umum selama dua bulan berturut-turut, asal diberi makan. Hehehe."
    Saya diam sebentar, lalu tertawa.
    Lelaki ini luar biasa. Di tengah derita mengenang seorang kekasih yang bunuh diri berpuluh tahun silam, ia sempat menghibur pemuda tiga puluh tahunan yang belum pernah menemukan cinta sejati.
    Mungkin karena alasan itu, cinta sejati itu, lelaki tua ini menjadi sosok tangguh, walau kelihatan rapuh di luar, bagai kakek penderita bengek. Hatinya mungkin terbuat dari baja. Dan sang pacar, apa pun alasannya bunuh diri, sama sekali tidak membuatnya patah dalam merawat perasaan. Lelaki tua ini mengaku tidak pernah menikah seumur hidupnya.
    "Dulu Ibu bunuh diri karena tidak mau menyusahkan kami," kata saya setelah kami diam cukup lama. "Ia sakit, tetapi Bapak selalu percaya suatu hari Ibu sembuh. Dan Ibu tidak pernah percaya, karena ia dokter. Ia lebih tahu dari Bapak soal penyakit. Ia lebih tahu karena ia yang merasakan."
    Lelaki tua menatap saya lamat-lamat. Katanya, ia seakan terikat dengan cerita saya. Pacarnya dulu juga memilih mati karena tidak mau menyusahkannya. Ia juga bilang, sang pacar tidak ingin menjadi beban seandainya mereka menikah dan hidup sampai tua. Seakan di kepala pacarnya itu tergambar adegan perempuan di kursi roda dan seorang lelaki tampan sehat wal'afiat repot menyiapkan segala sesuatu demi kekasih yang tidak bisa berbuat apa-apa karena kanker.
    "Padahal saya siap sehidup semati dengannya," tutup lelaki tua itu. Ia seperti telah terbiasa menahan tangis. Saya hanya melihat cermin di kedua bola matanya. Ada cermin zaman purba yang tertinggal di sana. Dan saya melihat masa lalu begitu jelas.
    Sebelum kami berpisah, lelaki tua menemukan sesuatu yang dicari. Bukan di saku jaket, melainkan saku belakang celana. Ia menggeleng pelan, memaklumi gejala pikun yang datang, dan menunjukkan sesuatu itu. Foto sang pacar. Perempuan itu cantik sekali. Ia bernama Yohana. Usianya mungkin tidak jauh dari Ibu. Dan ia pemain biola.
    Lelaki tua itu berkata, ia tidak tahu bagaimana Tuhan mempertemukannya dengan pemuda yang memiliki kisah kematian orang tercinta yang nyaris sama dengannya: Maria (ibu saya) dan Yohana sama-sama lompat dari sini, dan mungkin sama-sama melepas nyawa di batu itu, batu raksasa yang teronggok persis di bawah kaki kami saat ini.
    Saya benar-benar melupakan Leli yang sendirian di butik. Dan saya tahu saya tidak perlu bohong soal kesetiaan lelaki tua ini demi membuatnya tahu alasan saya pergi dari butik. Biarlah gadis itu belajar.
    Hari tenggelam dan lamat-lamat azan maghrib terdengar. Lelaki tua pamit setelah memanggil nama Yohana tiga kali. Tubuhnya yang bungkuk itu mungkin terjadi karena berpuluh tahun selalu melongok ke bawah, berharap melihat hantu sang pacar. Sayang sekali, dalam kisah romansa, kadang-kadang hantu tidak selalu ambil bagian. [ ]

  Gempol, 17 Juli - 7 November 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional. Buku terbaru karyanya, kumpulan cerita Museum Anomali (Unsa Press, 2016).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri