Skip to main content

[Cerpen]: "Cara Buruk Menulis Kisah Cinta" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Harian Analisa edisi 8 Januari 2017)

    Tidak ada alasan yang lebih baik selain aku sudah bosan. Kukatakan itu berulang- ulang kepada Nancy, sehingga ia pun muak dan memintaku pergi secepat yang aku bisa. Maka, aku pergi.
    Di sini garis pantai dituangi ramuan cinta. Ketika engkau berada di dekatnya, ada warna merah muda melayang-layang di sekitarmu. Ketika aku akan pergi menjauh dari kekasihku Nancy, warna itu tidak berubah dan tetap mengitari udara dan segala macam benda yang ada di sekeliling. Tetapi barangkali, di suatu hari yang beda, Tuhan pernah mengganti warna darah.
    Aku tidak pernah betul-betul mencintai Nancy seperti yang orang lain pikirkan. Di bagian terdalam hatiku, yang hanya aku dan Tuhan saja yang tahu, bahkan Nancy tidak pernah ada. Dia hanya ada dalam aroma parfum dan persetubuhan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Dia hanya ada dalam foto-foto yang kusimpan dalam dompet hanya agar orangtuaku berpikir, "Kamu bukan lelaki tidak waras."
    Aku memang waras. Itulah yang seharusnya orang pikirkan. Aku waras, tapi belum satu pun perempuan menarik minatku. Aku jatuh cinta pada seorang gadis bernama Mei beberapa tahun sebelumnya, dan ditolak, lalu sejak hari itu aku belum pernah jatuh cinta. Kamu seharusnya sudah punya anak, kata orang-orang. Memangnya Anda semua Tuhan; ingin kukatakan kekesalanku ini. Tapi, toh orang hanya dapat mendengar apa yang ingin mereka dengar.
    Kepada Nancy kubangun sebuah jalan, agar orang menjadi tenang dan tidak perlu mengusik hidupku lagi. Mungkin orang akan berpikir aku lelaki yang tidak berperasaan. Mungkin juga orang berpikir aku pantas diikat di sebuah kapal tanpa awak, dan kapal tersebut dilarungkan ke samudera dan biarlah aku mati oleh ganasnya alam. Tetapi, aku sendiri juga tidak bisa menghindar dari pilihan ini. Aku hanya ingin hidup tenang. Dan Nancy sempat membuka peluang untuk hal itu.
    Pada awalnya kami mudah saja membangun kemesraan. Suatu sore Nancy berkata, "Aku ingin ke pantai cinta. Di sana orang-orang berwarna merah muda. Langit merah muda. Air merah muda. Gelas berisi es kelapa muda berwarna merah muda. Sandalmu yang tadinya warna biru, juga merah muda. Segala hal hanya merah muda. Pantai cinta, katanya, dapat mengawetkan hubungan-hubungan sulit setiap manusia."
    "Bagaimana jika hubungan-hubungan mudah justru malah rusak di sana?"
    "Dari mana kamu berpikir begitu, Sayang?"
    "Karena kamu bilang, pantai itu cocok untuk mereka yang punya hubungan sulit?"
    "Maksudku bukan sepenuhnya begitu. Tapi, segalanya akan menjadi lebih baik."
    Maka, sejak itu, kami sering ke pantai merah muda, yang memancarkan warna itu secara aneh tanpa ada satu pun ilmuwan yang tahu rahasianya. Fenomena ini serupa apa yang terjadi di buku-buku dongeng, tapi memang benar sandalku yang tadinya berwarna biru, berubah jadi merah muda.
    Segala yang kami temui merah muda, dan ketika aku bercermin, aku baru sadar di wajahku tidak ada merah muda. Nancy mengira mungkin aku sakit, tapi tidak tahu betul apakah warna hijau adalah tanda orang sedang sakit atau bagaimana. Dan akhirnya kami terpaksa pulang.
    Di rumah, Nancy bilang, "Kamu benar-benar biru tadi. Seperti sandalmu ini, yang masih dalam keadaan normal. Hanya saja, wajahmu tidak bau karet."
    "Aku kira aku melihat hijau di sini," sahutku seraya menunjuk pipi.
    "Mungkin kamu salah lihat. Aku tidak buta warna, atau jangan-jangan kegagalan di masa lalumu karena itu?"
    Aku tersinggung dengan tuduhan Nancy, meski tentu saja benar apa yang gadis ini katakan. Tapi, aku diam saja dan tidak mencoba bercerita bagaimana dahulu aku pernah berjanji tidak akan makan sebutir pun nasi, sampai berhasil masuk sekolah pilot. Aku benar-benar melakukannya; tidak makan nasi selama berbulan-bulan, dan hanya makan roti sebagai pengganjal perut, dan ketika usaha belajarku nyaris mencapai puncak, aku menyadari bahwa ternyata aku buta warna. Aku marah dan menganggap dunia ini tidak adil. Aku langsung berpikir, mengapa semua saudaraku tidak buta warna dan sukses dengan apa yang mereka cita-citakan, dan mengapa harus ada dilarang buta warna bila seseorang ingin menjadi pilot?
    Aku toh menganggap dunia mulai membosankan, dan setelah Mei menolak cintaku, yang kuyakin adalah karena aku gagal jadi pilot, aku menganggap dunia tidak lebih dari gumpalan kotoran raksasa. Kotoran mana pun selalu berpenyakit. Segala macam bakteri dan kuman dan benda-benda tidak berguna membentuk koloni, terhimpun dalam wujud dunia.
    Dan kini, lihatlah, apa yang Nancy ucapkan membuatku berpikir begitu jauh pada masa lalu. Aku melompat bertahun-tahun ke belakang, ke masa yang sia-sia dan penuh kejengkelan. Aku tahu warna di sekitar pantai cinta itu memang merah muda, karena itu yang selama ini kudengar tentang pantai tersebut. Ketika bercermin, aku merasa wajah ini berbeda saja, dan aku tahu-tahu menyebut warna hijau begitu saja.
    Nancy mencoba membisikkan, "Sebenarnya itu biru, Sayang. Tidak ada yang hijau. Dan kenapa kamu diam begini?"
    Sejak itu kami tidak pernah membahas warna. Kami hanya datang dan pergi lantas pulang dan bercumbu di kamar. Begitu terus selama bertahun-tahun. Nancy juga pernah harus menjadi pembunuh darah dagingku sendiri, yang sama sekali tidak membuatnya menyesal, karena dia pikir, "Aku belum siap menjadi ibu."
    Ingin kukatakan betapa aku siap menjadi ayah, dan tentu saja anakku tidak pernah mendapat ibu seburuk Nancy. Aku harap anakku lahir dari perut Mei. Aku harap anakku berwajah campuran antara aku dan Mei. Nancy bukan tidak cantik, tetapi sekali lagi aku katakan: aku tidak pernah betul-betul mencintainya. Dan ternyata, mitos tentang pantai itu tidak terbukti kebenarannya. Hanya merah muda tanpa penjelasan ilmiah. Itu saja. Selebihnya hanya serupa dongeng tanpa arti.
    Tetapi, tetap saja perjalananku dan Nancy harus terekam dengan baik di kepala tiap orang yang mengenalku. Mereka tidak perlu menyesali dan menertawakan kegagalanku menjadi pilot dan merebut hati Mei, dan juga tidak perlu mengarang-ngarang cerita soal aku yang mendadak tidak waras. Aku jelas menyukai perempuan. Sampai mati, itu yang selalu terjadi.
    Nancy belum menyadari sandiwara ini. Orang-orang termakan tipuanku. Aku pikir ini tidak perlu disesali, sebab suatu hari ada saatnya kami harus berpisah. Dan itu sudah kurancang sejak sekarang agar aku tidak merasa bersalah pada siapa pun. Jika pada saat ini aku berpacaran dengan perempuan yang tidak kucintai, yang kelak sudah pasti akan kutinggalkan, aku tidak bakalan berpikir sama dengan memutus hubungan dengan siapa pun yang kepadanya ingin kuberikan seluruh cintaku. Di sanalah letak perbedaannya.
    Nancy mungkin mencintaiku, dan aku tidak peduli akan hal itu. Nancy sendiri yang merusak dirinya, dengan berbagai cara dan alasan persetubuhannya denganku. Ia bilang, "Tidak ada yang lebih baik darimu." Atau sesekali ia mengaku putus asa dengan setiap lelaki yang ditemuinya, dan tidak merasakan hal yang sama ketika ia menemuiku. Aku kira, itu hanya alasan standar orang yang jatuh cinta. Atau, mungkin aku terlalu pendiam dan memberinya kebebasan memperlakukan tubuh kami berdua sesuai dengan apa yang ia inginkan.
    Seandainya aku mudah mengalah dengan diriku sendiri, aku bisa membawa Nancy ke tingkatan yang lebih terkendali. Tidak ada persetubuhan tanpa restu. Tidak ada upaya menghabisi calon manusia dalam perutnya. Yang ada hanya sebuah pernikahan.
    Aku jelas tidak ingin menikahinya, meski mampu. Aku sendiri tidak pernah setuju akan tindakan aborsi, dan meminta Nancy membuang bayinya jika memang nanti lahir. Tetapi, ia bilang ia tidak akan mau melahirkan sebelum menikah. Kami benar-benar ada di gumpalan tahi.
    "Jika memang begitu, kenapa kau selalu merayuku di tempat tidur?" kataku dengan jengkel.
    "Karena aku hanya ingin saja! Kamu tidak tahu, Sayang? Aku hanya ingin!"
    Pada akhirnya aku bosan berpura-pura dan memutuskan hubungan kami. Di pantai yang sama, pantai cinta, warna merah muda di mana-mana. Aku tidak pernah bercermin di sekitar situ, dan membiarkan Nancy bersaksi bahwa kadang-kadang wajahku ini biru, cokelat, kuning, ungu, hijau, dan sebagainya. Lalu ia juga pernah bilang, "Mungkin dulu kamu memang betul melihat warna hijau, dan pada saat yang berbeda sepersekian detik, aku melihat warnanya sudah berubah menjadi biru."
    Dia lalu menganggap kegagalanku masuk sekolah pilot adalah karena Mei memang tidak suka aku jadi pilot. Ya, aku akhirnya cerita juga soal Mei padanya, karena Nancy pernah mendesakku untuk bercerita tentang cinta pertamaku. Itulah yang bisa kukatakan. Mei yang tidak menginginkanku, meski mungkin mencintaiku.
    "Mencintai bukan berarti menginginkan, dan begitupun sebaliknya," kataku kepada Nancy. Aku berbalik badan dan berjalan beberapa langkah di tengah warna merah muda. Lalu, ketika kupastikan apakah ia masih duduk di sana atau sudah pergi menjauh, yang kulihat adalah genangan merah muda melingkupi seluruh tubuh Nancy yang terbaring. Aku tidak tahu apakah dia sudah mati atau belum, tapi semoga saja dia memang sudah mati. Sebab, itu lebih baik ketimbang kami harus putus hanya karena bosan. Aku nyaris melupakan orang-orang yang mengaku peduli dengan terlalu banyak bicara. []
   
    Gempol, 3 November 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri