Skip to main content

[Cerpen]: "Jamuan Mariana" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Radar Jember, Minggu, 9 Oktober 2016)

Aku pingsan tiga jam setelah melihat lelaki yang tidak kukenal mati tertabrak truk. Orang-orang tahu tidak ada hubungannya kecelakaan itu denganku, dan aku juga bukan korban kecelakaan, tetapi mereka tetap menolongku. Aku dibawa ke rumah perempuan bernama Mariana, dan dia menungguiku sampai sadar.
Aku tidak tahu bagaimana orang-orang membawaku kemari, tentu saja. Aku tidak sadarkan diri saat mereka menggotongku kemari. Ketika bangun, kulihat wajah Mariana bersinar oleh lampu kamar. Ia berdaster dan rambutnya beraroma melati.
Bagaimana aku bisa tahu aroma itu datang dari rambutnya, karena ia membungkuk dan mendekat ke arah wajahku untuk memastikan aku benar-benar sadar. Aku memang sudah sadar dan kaget. Ia tak kukenal. Setelah mengenalkan namanya, Mariana bertanya apakah aku lapar.

"Saya tidak lapar, dan saya ingin pulang," kataku.
"Oh, Anda pasti lapar. Jangan sungkan. Saya sediakan makanan khusus untuk Anda. Tadi Anda pingsan selama tiga jam."
Aku tidak dapat menjawab, karena lumayan terkejut dengan penyebutan angka tiga. Aku tidak pernah pingsan selama tiga jam. Bahkan, sepanjang yang mampu kuingat, aku malah tidak pernah pingsan seumur hidupku. Tetapi mungkin karena kondisi di TKP tadi mengerikan, kukira wajar jika secara mendadak aku yang tidak pernah pingsan ini harus pingsan. Melihat orang tewas di depan mata bukan kebiasaanku. Maksudku, aku bahkan takut melihat darah.
Aku ingat bagaimana akhirnya bisa pingsan; kecelakaan itu mengerikan dan aku tidak perlu menjelaskan secara detail. Ada darah di mana-mana. Sebagian kena sepatuku, dan aku membayangkan membuang sepatu tersebut jauh-jauh. Ini bukan soal uang yang harus kukeluarkan lagi demi membeli sepatu baru, tapi soal darah lelaki asing yang mengenai benda pribadiku. Bagiku, itu sangat mengerikan.
Mariana juga barangkali tahu insiden tersebut, karena kecelakaan itu terjadi tepat di depan rumahnya. Kukira itulah alasan masuk akal kenapa orang-orang membawaku kemari untuk disadarkan. Aku mengintip jalanan yang mulai sepi, karena sudah malam. Jam di dinding menunjuk angka sembilan. Bekas darah tersebut masih kelihatan, tetapi kini sudah berupa bulatan hitam karena orang-orang membersihkan bekas darah korban dengan air, dan air yang belum sepenuhnya kering menimbulkan bekas hitam di jalanan aspal.
Aku memutar ingatan lain tentang pertemuan dengan Ami, istriku, yang meminta cerai dalam waktu dekat. Ia bawa anak kami dan tadi sore adalah pertemuan terakhirku dengan anakku. Aku memang tidak tahu apakah tadi betul-betul menjadi pertemuanku yang terakhir dengan anak itu, tetapi aku yakin memang itulah yang akan terjadi. Ami tak akan sudi mengalah untukku, dan lagi pula soal perceraian itu, akulah yang salah. Ia tahu aku selingkuh dengan teman sekantorku, dan aku juga sering mabuk.
Mariana kembali ke kamar dan mengabarkan bahwa makanan untukku sudah siap. Aku menoleh dan melihatnya dengan penglihatan yang lebih jelas, karena sekarang aku sudah seratus persen sadar. "Saya memang tidak lapar, tetapi saya tidak tahu bagaimana Anda percaya seorang seperti saya tidak akan berbuat apa-apa di sini," kataku.
"Anda bukan penjahat. Anda cuma bingung. Saya tahu. Anda bingung, lalu di jalan terjadi kecelakaan itu, dan kebetulan Anda melihatnya. Jadi, Anda pun pingsan," sahut Mariana. Ia menjelaskan bahwa profesinya adalah seorang perawat. Jadi, wajar saja dia cemas padaku dan ingin memberiku segala sesuatu yang terbaik yang bisa ia lakukan.
Aku ingin bilang bahwa Mariana sudah melakukan ini dengan sangat baik, tetapi wanita ini sudah memalingkan badan dan tidak ada kesempatan membantah tawarannya di meja makan. Jadi, aku berjalan mengikutinya menuju meja makan.
Aku tidak pernah melihat rumah besar sesunyi ini, tetapi Mariana tampak kerasan dan tidak terganggu dengan apa yang kemungkinan muncul di pikiranku. Wanita cantik yang berprofesi sebagai perawat, yang tinggal seorang diri di rumah besar begini; boleh jadi incaran penjahat mata duitan sekaligus cabul. Hanya saja, dia tampak tenang.
"Saya masak sendiri, lho. Khusus buat Anda," kata Mariana memecah lamunanku.
"Oh, ya? Anda tidak punya pembantu?"
"Berapa gaji untuk pembantu? Maksud saya, rumah ini rumah warisan, dan saya tidak terlalu kaya kok. Jadi, dari mana saya bisa membayar pembantu?"
Aku cuma mengangguk pendek, dan mengambil piringku setelah dipersilakan oleh tuan rumah. Mariana memandangiku beberapa detik saat kuciduk nasi hangat di depan kami. Dia bilang, aku boleh makan sampai kenyang jika aku mau, untuk memulihkanku yang baru siuman dari pingsan selama tiga jam.
"Saya tidak pernah pingsan selama tiga jam," tukasku, yang merasa perlu berucap jujur soal ini. "Bahkan, sejauh yang bisa saya ingat, saya tidak pernah pingsan satu kali pun seumur hidup saya."
"Anda sedang shock. Anda banyak pikiran. Saya kira itu bisa jadi penyebabnya. Di perut Anda terdapat memar. Anda pasti kelelahan dan baru-baru ini tidak sengaja jatuh di suatu tempat, ya?"
"Ya, di tempat parkir."
"Anda bawa mobil?"
Kujelaskan bahwa dua hari yang lalu aku memang masih punya mobil, tapi benda sial itu sudah kujual karena aku butuh uang. Aku dipecat dari pekerjaanku karena orang telanjur tahu aku bermain api dengan salah satu teman sekantorku. Perbuatan itu dicap sebagai aib, dan kami berdua sama-sama dipecat secara tidak terhormat.
Tapi, aku tidak mungkin menceritakan hal tersebut kepada Mariana yang baru saja kukenal beberapa menit yang lalu. Aku tidak akan membuatnya takut dan berpikir bisa saja aku kembali ke watak asliku yang bejat, dan kemudian berbuat tidak senonoh pada dirinya malam ini juga. Rumah ini sepi, tapi aku sangat rispek terhadap apa yang wanita ini lakukan. Jadi, aku tidak akan membuatnya takut. Aku hanya ingin pulang.
Mariana terpaksa mendengar kebohonganku. Kubilang, mobil sial tersebut terpaksa kujual dengan alasan untuk membantu seorang saudara dan membayar utang-utangku yang menumpuk. Jadi, itulah kenapa aku stress dan melamun, sampai akhirnya pingsan setelah melihat darah orang yang tewas tertabrak truk.
"Jadi, darah itu semacam puncak dari seluruh kejatuhan Anda, ya?" balas Mariana pendek.
Aku cuma bisa mengangguk, dan tidak tahu bagaimana Mariana bisa terlihat tetap tenang sampai detik ini. Kami lalu makan tanpa bicara apa-apa lagi. Aku minum empat gelas air putih. Aku tidak ingin minum apa pun selain air putih, karena aku sendiri juga ingin cepat pulang.
Kuucapkan terima kasih pada Mariana, saat ia mengantarku ke pintu depan. Wanita itu meminta kartu namaku jika ada. Kubilang, tidak ada. Aku orang miskin yang tidak mempunyai kartu semacam itu. Lalu Mariana tertawa dan mengatakan bahwa ia sempat menemukan kartu nama di jaketku setelah warga membawaku kemari dengan panik.
"Jangan khawatir. Semua rahasia Anda saya pegang kok," bisiknya sambil berkedip sebelah mata. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana Mariana mengatakan soal rahasia. Aku juga tidak tahu apakah dia tahu seluruh rahasiaku atau bagaimana. Aku bingung dan memutuskan segera cabut dari tempat ini.
Aku berjalan dan terus berjalan sampai beberapa ratus meter, dan menemukan mini market yang berdiri persis di sebelah sebuah masjid. Aku ingin membeli air mineral dan ke masjid untuk berdoa. Aku sudah lama tidak ke masjid. Tapi, saat benar-benar masuk ke mini market, aku tidak yakin ingin membeli air mineral, dan malah pergi ke bagian di belakang, yang penuh rak dengan berbagai merk popok bayi. Aku mengambil dua dan langsung pergi ke kasir.
Aku membayar benda itu tanpa tahu kegunaannya, dan mulai berpikir bahwa kini aku benar-benar linglung. Aku tahu kemampuan berpikirku mendadak menurun setelah mencegat taksi, dan duduk di bangku belakang sambil mengingat bahwa aku tidak jadi pergi ke masjid.
"Seharusnya saya tadi ke masjid," kataku ke sopir taksi, yang segera menoleh dan membuatku terkencing-kencing. Sopir taksi itu tidak berwajah, tetapi ia dengan tenang menyetir mobil yang kutumpangi.
Aku memohon pada sopir taksi yang tidak berwajah ini agar berhenti sekarang atau kutembak kepalanya biar dia benar-benar menghentikan kendaraannya. Sopir taksi tidak menuruti perkataanku dan malah menambah kecepatan mobilnya. Aku terjengkang ke bangkuku dan mulai muntah-muntah. Sekarang aku tidak sesehat beberapa menit yang lalu ketika berada di rumah Mariana. Sekarang aku sangat kacau. Bau pesing dan asam akibat muntahanku sendiri membuatku kesal dan ingin memukul bos yang memecatku.
Aku kelelahan dan pasrah. Kubiarkan taksi tersebut berjalan entah ke arah mana. Saat matahari sudah terbit, taksi berhenti dan si sopir menarikku keluar dari pintu. Ia tidak berkata apa-apa, karena masih tidak berwajah; tidak ada mata, hidung, atau mulut. Ia mendorongku ke tepi jalan sampai punggungku membentur sebatang pohon.
Aku tidak tahu aku di mana. Aku hanya memikirkan rumahku yang tidak seramai dulu. Ami dan anak kami tidak akan kembali padaku, dan mungkin mereka membangun lagi keluarga baru bersama kepala keluarga yang baru dan jauh lebih bertanggung jawab daripada aku. Memikirkan itu membuatku pusing.
Akhirnya aku bangkit pada siang harinya dan berjalan tanpa arah. Aku berhenti di depan sebuah halte dan memutuskan duduk di sana sambil membaca sebuah majalah yang tergeletak di kursi halte. Seorang yang tidak kukenal mendadak menyentil puntung rokoknya ke tempat sampah di samping kiriku. Puntung tersebut tidak tepat masuk ke tempat sampah, tapi kena sepatuku sehingga kutegur dia. Tetapi, lelaki itu tidak peduli dan segera menyebrang. Dari arah lain, sebuah truk mendadak oleng hingga melibasnya tanpa ampun. Darah di mana-mana. Kepalaku berat. Aku tahu sebentar lagi aku akan pingsan, dan sebelum kesadaranku benar-benar lenyap, kulihat Mariana tersenyum dari balik jendela rumahnya... []
Gempol, 28 September 2016
  
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.


Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri