(Dimuat di Flores Sastra, Senin, 8 Agustus 2016)
1/
Pada jamuan makan malam kali ini, Janus ingin yang spesial dan berbeda. Ia tidak menghadirkan tema khusus sebagaimana biasa—kalau tidak disebut memaksa, sebab sekali ia bilang: 'Datang pakai kostum ini, ya', atau 'Mau nggak mau, pokoknya harus suka makanan India', maka tak seorang pun bisa membantah—melainkan membebaskan para tamunya datang dengan baju dan dandanan sesuka hati.
"Waduh, ada angin apa nih?" tanya Sapto, salah satu rekan yang biasa datang sekali sepekan memenuhi undangan makan malam tersebut.
Barangkali, si tambun itu merasa dirinya mulai menjadi raja, sebab kebebasan itu hal langka di meja makan Janus. Prita, mantan pacar Janus semasa SMA, yang juga kerja sekantor dengannya, menganggap perubahan drastis adalah perlu; tidak dijelaskan alasannya, namun apabila kita bertanya lebih jauh, mungkin, ia akan menjawab: "Saya muak."
Lagi pula, siapa tidak muak?
Janus banyak aturan. Perkara tema, itu nomor satu. Belum nomor dua, nomor tiga, dan seterusnya. Nomor dua, tentu saja kostum. Nomor tiga? Tidak boleh begini-begitu. Nomor empat? Apa perlu saya jelaskan? Nomor lima? Anda tanya atau wawancara sih?
Intinya begini. Makan malam ala Janus adalah makan malam robot, di mana Anda akan merasa disetir sedemikian kurang ajar, padahal di tempurung kepala Anda ada otak, bukan batu baterai. Kalau Anda jadi saya (mohon maaf, saya tidak mau sebut nama di sini—nama saya, maksudnya), mungkin Anda lebih memilih resign atau bunuh diri saja sekalian.
Mula-mula koki kita yang satu ini tidak sadar kekurangannya. Ia jatuh pada euforia yang dilukis, dicipta, dan dijilati sendiri, sementara tamu-tamu (termasuk saya) hanya nonton di tepi lapangan seolah-olah dia diktator dan mereka rakyat jelata bodoh.
Namun, waktu menunjukkan taringnya. Minggu demi minggu, kehebohan turun drastis. Levelnya tidak lagi setinggi pada permulaan, yang ketika itu ia mendapat tepuk tangan teman sekantor berkat kemurahan hati, "Bila orang punya pesta setahun sekali, teman kita yang satu ini seminggu sekali. Jempol, nggak?"
Janus mulai merasa kadang-kadang undangan makan malam sekali sepekan, yang dia kirim via e-mail atau mengabarkan langsung lewat telepon ini, yang menurutnya cara ungkapkaan rasa syukur kepada Tuhan karena kariernya terus melesat, meski ia tidak terlalu pintar menangani urusan perkantoran, bahwa teman-teman, sahabat-sahabat, dan mantan-mantannya tidak benar-benar puas dengan pelayanannya.
Anggaplah enam minggu lalu, ketika tema 'gunung' dipaksakan, sehingga betapa pun malam hari hampir selalu gerah, setiap orang diwajibkan memakai jaket bulu—atau minimal baju rangkap dua—suasana makan menjadi sangat tidak nyaman dan canggung dan penuh bisik-bisik kesal menyeruak ketika Janus ke dapur mengambil sendok atau piring. Gulai kambing dan bergelas-gelas wedang jahe—minuman alkohol, meski bikin tubuh hangat, kata temannya si tuan ceramah, Husni: haram—dihidangkan. Tak ayal, setiap orang mengeluh kepanasan sebelum gulai yang disuguhkan habis!
Atau sebut saja yang terbaru, dua minggu lalu: Janus punya ide membikin tema superhero, dan sudah bisa ditebak jika Maryam yang pemalu itu malah jadi bahan canda sebab memakai kostum Cat Woman yang ketat. Besoknya, dua hari perempuan itu bolos kerja, dengan alasan sakit mulas, padahal aslinya ia belum bisa buang rasa malu akibat di pesta datang juga Niko, cowok idamannya, yang pakai baju Thor. Tahu apa yang orang bilang?
"Kamu lebih pas jadi babunya!"
Barangkali Janus dengar keluhan-keluhan itu, atau mungkin saja suatu malam ia disinggahi mimpi buruk, di mana teman-temannya, yang berjumlah empat belas orang itu, tahu-tahu menculiknya dan memaksanya makan kue klepon yang sangat ia benci. Kue itu, dulu sekali, belasan tahun silam, waktu Janus masih SD, pernah jadi kenangan jelek. Janus bisulan di lengan kanan dan benjol lumayan besar serta begitu mengilat persis permen lolipop salah tempat. Kata Simbah, "Kamu kudu makan ini klepon kalau mau sembuh!" Begitu makan kue itu, bukannya sembuh, Janus malah muntah-muntah.
Tapi, siapa pun tidak tahu apakah benar ia bermimpi sedemikian buruk, sehingga tahu-tahu sore kemarin, via e-mail maupun panggilan telepon, sebuah undangan makan malam melesat darinya ke belasan teman-teman, sahabat-sahabat, mantan-mantan, dan diterima dengan hati berbunga-bunga: Tema bebas. Boleh pakai apa saja!
"Ada angin apa, nih?"
Tidak ada angin kok. Hari ini cuaca cerah dan mungkin juga tidak ada rasa gerah atau bisik-bisik sebal atau rasa malu satu sama lain karena terpaksa pakai kostum yang tak sejalan dengan selera. Satu hal yang mungkin terlupa adalah Janus keponakan Pak Bos, bocah yang bukan lagi bocah, yang dianggap anak kandung sendiri sehingga begitu besar rasa sayang Pak Bos pada pemuda itu.
Saya kira Anda mafhum. Tidak ada lagi pertanyaan soal keterpaksaan, 'kan?
2/
Janus menyiapkan delapan jenis masakan mulai dari makanan pembuka, makanan berkuah, makanan bersantan, makanan goreng, makanan panggang, makanan bakar, makanan rebus, dan makanan penutup. Berbagai jenis es dan minuman hangat juga. Semua ditata rapi di meja bernomor dan berpapan—sebagaimana pada suatu resepsi pernikahan mewah di gedung-gedung besar. Papan itu tentunya bertuliskan judul setiap masakan dengan font yang menarik hati.
Setelah pekerjaan memasak dan menata meja beres, Janus mandi. Saya kira ini tak perlu diceritakan. Maka kita skip saja dan biarlah waktu yang menunjukkan taring bagai Count Dracula tadi maju kira-kira dua puluh empat menit. Persis pukul tujuh malam teng—tidak lebih, tidak kurang—gemerosok roda demi roda mobil-mobil menerabas dedaunan kering di halaman rumahnya terdengar.
Cepat-cepat Janus rapikan rambut; ia pakai minyak rambut seharga lima belas ribu rupiah, serta kaus bekas sekenanya, sebuah kaus bergambar pria nongkrong di jamban. Celananya pendek berbahan jeans dan ada bolong selebar sembilan sentimeter di paha kanan. Ini tema bebas, ingat? Dan, ia sangat tak sabar. Bagaimana, ya, teman-temanku nanti? Apa yang mereka pakai, ya?
Tentu bukan kostum gila-gilaan setema. Ia membayangkan Prita yang cenderung cuek, akan memakai baju singlet favoritnya biar tidak gerah, sehingga belahan dadanya nampak. Atau, barangkali Nancy, yang Janus lirik akhir-akhir ini, memakai kaus oblong sehingga kelihatan begitu polos dan lugu—kadang kaus oblong bisa menampilkan sisi lain seorang perempuan, 'kan?
Kalau soal teman-teman lelaki sih, Janus yakin Husni pakai sarung dan baju koko. Alangkah lucu Tuan Ceramah itu, batinnya mengikik geli. Kemudian, si Sapto, mungkin pakai kaus hadiah resto cepat saji langganannya, yang tempo hari di-review olehnya dan dipajang di blog-nya. Wah, sungguh tak terbayang betapa seru malam ini!
Begitulah Janus berdiri di ruang tamu, sementara pintu dibiarkan menutup agar memancing kata-kata 'kejutan!' atau 'halo, kami datang!', semacam itu dari para tamu ketika bel berbunyi dan ia pura-pura buru-buru membukakannya. Tetapi bel belum juga berbunyi dan ia tidak dengar kegaduhan langkah teman-teman, sahabat-sahabat, dan mantan-mantannya yang berjumlah empat belas orang itu di teras.
Pada ke mana, yak?
Janus melongok ke jendela, tepatnya ngintip. Mobil-mobil sudah parkir dan ia pun sangat kecewa. Rupanya teman-temannya itu saling berbisik dan entah apa yang sedang mereka omongin di sana, di tempat parkir, di bawah bayang gelap pohon-pohon palem. Kenapa tidak buruan masuk? Kenapa tidak pencet bel dan bilang: 'halo, kami datang!'?
3/
Saya tahu itu karena sempat lihat kepala botaknya nongol di jendela sehingga saya kasih kode teman-teman agar stop ngegosip dan langsung masuk saja.
Janus tampak morat-marit rambutnya, meski badan wangi. Pasti ia habis mandi dan sengaja dandan begitu. Kami sendiri juga dandan baju bebas, tetapi tidak awut-awutan. Kami pakai baju bepergian yang santai namun sopan. Casual, kira-kira. Bukan gaya anak kost mau tidur macam Janus, sehingga satu menit pertama kami semua mematung dan canggung. Saat kebebasan kami dapat pun, masih juga merasa terkekang, kira-kira itu maksudnya.
"Lihat teman kita yang satu ini," kata Niko dengan lagak penjilat, "sesekali gantian kita dong yang ngasih hadiah. Mungkin dengan rekreasi ke mana gitu dan kita semua yang patungan bayarin Janus. Gimana? Setuju? Mumpung minggu depan liburan."
Satu dua orang menyahut dan menyumbang ide-ide brilian; tempat-tempat wisata, kendaraan yang nanti akan kami sewa, penginapan, dan lain sebagainya. Tetapi aku dan sebagian besar tamu yang hadir cuma saling pandang, sebab itu cuma cara Niko bikin Janus tidak kecewa gara-gara tahu kami tadi bisik-bisik—seolah perkara balasan manis ini yang kami bahas diam-diam, padahal tidak. Dan semua orang juga sudah tahu ia tahu karena aku yang memberi tahu. Meski Janus tidak tahu kami tahu dirinya tahu, tetap saja rasa tidak enak menggelayut di wajah kami. Dasar tamu-tamu tak tahu diri!
Namun demikian, Janus menjamu kami dengan baik. Kami makan dengan nyaman dan sesuai selera. Tidak dipaksa, tidak dikekang, tidak diatur; kami bukan robot dengan baterai di dalam tempurung kepala. Kami manusia, ingat?
Sepertinya teman kami mulai belajar. Perkara makan malam bukan lagi soal nomor satu, nomor dua, dan seterusnya, tapi kebersamaan. Di sepanjang acara jamuan, sesekali satu dua bersendawa. Ia ketawa. Sesekali satu dua kentut. Ia cemberut—pura-pura jengkel. Kami terpingkal-pingkal. Bau kentut campur bau rokok campur bau berbagai masakan bikin saya mual, tetapi merasa ini jauh lebih baik ketimbang jamuan-jamuan sebelumnya yang sudah dua puluh satu kali diadakan.
Sampai rumah, saya merasa jamuan tadi paling mengharukan. Bukan karena mulai esok tahu Janus sepenuhnya berubah, tetapi karena menyadari bahwa kami teman-teman menyebalkan. Paling tidak Janus lebih baik dari kami. Ia rela berbahagia dan berpesta bukan untuk dirinya saja, tetapi membaginya pada siapa pun di mana tempat ia berada, walau caranya terkadang aneh. Saya belajar banyak darinya.
2015 - 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya tersebar di media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment