Skip to main content

Akun Medsos-mu, Tanggung Jawabmu!

Berselancar di medsos sebenarnya tidak perlu membuat kita sampai baperan. Agak kurang cocok sama isi status orang lain, langsung tersinggung. Lalu balas orang itu di kolom komentar atau bikin status sindiran, dan sebagainya. Bahkan di postingan fanpage tertentu yang materinya cukup kontroversi, terjadi caci maki terhadap sesama netizen--yang seharusnya sangat mungkin dihindari. Apa yang kita cari di medsos? Teman atau lawan? Untuk mencari sesuatu yang bermanfaat atau main-main? 

Bermedsos ria bisa membuatmu cepat tua, jika hal-hal yang harusnya tidak terlalu perlu dipikirkan, seperti misalnya perbedaan pendapat (karena ini wajar, sebab kepala manusia sejagat raya isinya pasti tidak sama; kita bukan robot), sikap orang lain terhadap kita (yang mungkin menyinggung perasaan, padahal belum tentu dia berniat begitu), dan lain-lain yang berpotensi melahirkan baper di hatimu, malah kau gandrungi, dan bahkan kau jadikan "budaya" dalam menjalankan akun medsosmu.

Sebenarnya simpel saja. Jika ingin mencari manfaat, dekati apa yang kita sukai/minati, dan jauhi yang tidak kita suka. Orang punya pendapat beda itu wajar. Tidak perlu diajak bertengkar sampai membawa tanda pentung rangkap tiga, misalnya, apalagi menyebut-nyebut nama para satwa yang tidak tahu urusan hatimu. Take it or leave it; sesederhana itu prinsip yang dapat kita rawat. 

Jika dapat manfaat dari suatu akun, jangan lantas grab and go, dibawa dan dinikmati sendiri, tapi juga dibagi. Siapa tahu teman lain juga butuh manfaat dari apa yang kita sudah dapat. Jika kamu maunya cari ribut dengan memakai akun palsu, buatlah keributan dengan cara paling kurang ajar, dan terserah dirimu. Tapi jika nanti ada yang memperkarakan dan menangkapmu, ya tidak usah cengeng. Bukankah sejak awal main medsos niatnya sudah bikin masalah?

Baper itu wajar. Tapi apa-apa gampang membuat baper, berarti ada yang tidak beres. Kalau tidak siap dengan perbedaan dan segala konsekuensi pergaulan via dunia maya, ya tidak usah main medsos. Buang saja keinginan bermedsos sebagaimana orang lain lakukan, dan duduk diam saja di rumah sambil makan roti goreng.

Kecuali kita anak kecil, kita tidak tahu apa risiko yang bakal didapat dengan bermain medsos. Risiko itu, salah satunya, adalah akan selalu bermunculan orang yang membuat kita sebal. Sebal karena beda pendapat. Sebal karena sikapnya gak sesuai ekspektasi kita. Atau bisa juga sebal hanya karena kitanya suka berpikir negatif. 

Lakukan semua dengan kesadaran penuh bahwa akun yang kamu pegang adalah tanggung jawabmu dan di medsos segalanya akan selalu mungkin. Tidak ada tatap muka, tidak ada juga kontak fisik. Tapi seluruh dunia seakan tidak berdinding dan kita bisa tahu banyak hal, tetapi juga tidak benar-benar tahu isi hati seluruh netizen. 

Comments

  1. Statusmu berkali-kali mbikin aku baper, Mas :3

    Sayang, sekarang akunku cuma mengikuti akunmu, ndak berteman lagi, jadi ndak sering nongol di berandaku deh statusmu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri