Saya sudah mencoba lari mencari pintu lain, tapi tetap saja ujung-ujungnya kamu yang berdiri di sana. Kamu tidak menoleh pada saya, juga tidak menoleh pada siapa-siapa. Hanya memandang bayangan yang hilang ditelan gelapnya hari. Setiap hari saya dan kamu seakan diselimuti malam. Saya dan kamu serba tidak pasti. Di pintu itu kadang-kadang kamu adalah batu, tetapi di lain waktu kamu berubah jadi salju.
Saya tidak tahu jalan lain selain pintu tempat kamu berdiri. Padahal saya berharap menemukan pintu lain agar tidak ada malam di antara saya dan kamu. Saya kira malam pekat itu hadir karena saya dan kamu berada dalam jarak yang begitu dekat, meski tak bisa dibilang dekat. Dekatnya saya dan kamu adalah jarak Pasuruan-Malang di peta skala satu banding sekian juta; sekilas nampak dekat, tetapi kenyataannya tidak sedekat itu.
Saya ingin pergi sejauh mungkin ke luar angkasa dan hilang ingatan di sana dan jatuh cinta pada alien demi melupakanmu. Tapi saya tidak bisa. Saya tidak tahu cara pergi ke luar angkasa. Setiap hari yang saya temukan hanyalah pintu yang terbuka lebar dengan kamu yang berdiri sendiri di sana. Kamu yang tak melihat saya, juga tak melihat apa-apa selain bayangan yang ditelan gelapnya hari.
Saya ingin pergi sejauh mungkin ke luar angkasa dan hilang ingatan di sana dan jatuh cinta pada alien demi melupakanmu. Tapi saya tidak bisa. Saya tidak tahu cara pergi ke luar angkasa. Setiap hari yang saya temukan hanyalah pintu yang terbuka lebar dengan kamu yang berdiri sendiri di sana. Kamu yang tak melihat saya, juga tak melihat apa-apa selain bayangan yang ditelan gelapnya hari.
Yakin mau keluar angkasa? hahha
ReplyDelete