Dua bulan yang lalu, saya duduk di ruang tamu sambil menunggui dua orang tukang membenahi dan mengecat teras depan. Saya duduk di ruang tamu namun tak bisa melihat teras, sebab gorden sengaja ditutup agar tidak menyilaukan mata. Saya sibuk mengerjakan sesuatu di depan laptop dan masih bisa mendengar suara dua tukang tersebut mengobrol sembari bekerja. Di saat yang sama, orangtua saya ke bank yang letaknya lumayan jauh kalau jalan kaki, sekitar satu kilo. Orangtua saya bermotor berdua sehingga di rumah hanya ada saya dan dua tukang tadi.
Semua berjalan lancar sampai kedua orangtua saya balik dan saya tidak ingat ada kejadian menarik apa hari itu, selain tangan saya terjepit asbes yang lumayan besar dan berat. Esok malamnya (atau kemarin malam), saya dan Mama mengobrol soal pekerjaan dua tukang tadi. Hanya ada kami di ruang tamu. Lalu obrolan sampai ke soal lem khusus yang dibutuhkan si tukang untuk membenahi sesuatu di atap teras. Lem itu katanya sudah habis dan tukang tersebut butuh membeli, hanya saja tidak ada motor. Tetapi Mama saya bilang, "Lalu kamu SMS papamu dan bilang Pak Soleh minta lem itu, karena kurang."Saya pikir saya salah dengar. Pak Soleh itu nama salah satu tukang. Jadi begini, Mama saya menganggap saya diberitahu Pak Soleh bahwa beliau butuh lem untuk merekatkan sesuatu di atap teras, sehingga saya pun mengirim SMS pada Papa yang ada di bank untuk sekalian membelikannya dalam perjalanan pulang. Antara bank dan rumah, memang ada toko bangunan besar.
Yang jadi masalah: pada saat kejadian ini berlangsung--yang dimulai dari berangkatnya ortu ke bank hingga mereka pulang--saya tidak memegang handphone. Saya hanya fokus mengerjakan sesuatu di depan laptop sambil memikirkan banyak hal dan seseorang. Ponsel malah saya abaikan selama dua jam itu dan Pak Soleh yang ada di teras tidak mengatakan apa-apa soal lem kepada saya.
Sementara, di sisi lain, setiba di rumah, saat Papa saya memberikan lem itu untuk Pak Soleh, beliau berterima kasih seolah-olah tadi beliau memang berpesan bahwa lem yang ia butuhkan habis. Saya berpikir tidak lama dan langsung bisa menyimpulkan bahwa ini tidak beres. Tidak ada permintaan Pak Soleh kepada saya dan saya tidak mengirim SMS apa pun. Lalu, siapakah pengirim SMS itu? Dan apakah Pak Soleh saat itu memang sudah menyampaikan sesuatu kepada "saya"--namun sebenarnya bukan saya?
Saya tahu ini aneh, karena bagaimanapun ingatan saya lebih baik dari siapa pun yang ada di rumah kami. Apalagi untuk sekadar mengingat apakah siang itu saya mengirim SMS atau tidak. Jawabannya jelas tidak. Dua jam itu saya hanya menghadap laptop dan Pak Soleh tidak menyampaikan pesan soal lem yang habis.
Comments
Post a Comment