(Dimuat di Haluan Padang edisi Minggu, 5 Juni 2016)
Di suatu desa ada bau busuk. Bau itu bersumber dari mulut lelaki bernama Mudakir. Kebusukan di level atas, menyerupai gunung bangkai di negeri tanpa malaikat. Setan- setan bergerumbul di jalan. Tangan dan kepala mayat bergeletakan sana-sini, jadi rebutan anjing liar. Dan setiap orang masih sempat berangkat kerja. Adakah yang lebih buruk?
Bau busuk itu bukan karena Mudakir malas gosok gigi. Ia terkenal paling bersih. Ia juga sering makan makanan tertentu yang bisa menghilangkan bau mulut, tetapi selalu sia-sia. Kata dukun, mulutnya dimasuki setan yang entah datang dari zaman mana, yang kemudian membangun koloni di sudut mulut Mudakir; di tempat itu kelak berdiri gunung bangkai.
"Setan-setan keluar untuk makan. Anda tahu? Mangsanya manusia. Mereka makan tiap hari, tidak peduli dewasa atau anak-anak, semua dilahap. Tapi begitulah setan; belum habis satu, sudah tergoda yang lain. Satu mayat belum tuntas, perburuan baru kembali dimulai."
Dukun itu setengah sinting. Mudakir malas bicara, tapi karena di tempat kerja satu- dua rekan mulai membencinya, sebab bau busuk itu, terpaksa ia bicara di tempat dukun. Siapa lagi, kalau bukan dukun gila, yang betah lama-lama ia dekati tanpa perlu merasa mual?
Istri Mudakir minta cerai. Ini puncak derita seorang berpenyakit aneh: bau mulut serupa bangkai. Perempuan itu tidak betah bersetubuh dengan lelaki yang bau mulutnya serupa bangkai, apalagi segunung. Mudakir membungkam mulut dengan kain direndam deterjen dan pengharum cucian, agar istri tidak pergi. Hasilnya, bau itu malah makin tak keruan.
"Saya curiga," kata si istri dengan sinis, "Saya curiga selama ini, diam-diam, kamu makan bangkai!"
"Tidak. Sungguh saya tidak makan bangkai!"
"Kamu kaya karena kamu makan bangkai. Maaf, ya. Saya tidak mau punya suami kanibal."
Istrinya tetap pergi meninggalkan Mudakir yang semakin tak mengerti. Ia memang tidak sadar kenapa mulutnya menjadi sangat bau. Bahkan, menurut penglihatan si dukun, malaikat-malaikat enggan terbang melintasi atap rumahnya.
Mudakir heran; kenapa malaikat membenci bau busuk, sedang di tubuh mereka ada harum surgawi yang mengusir bau tidak enak di sekitarnya? Kenapa juga terkesan takut pada setan, kalau memang bau busuk itu disebabkan setan yang masuk dan tanpa izin membangun koloni di mulutnya?
Pertanyaan-pertanyaan itu bersambung dengan rasa ingin tahu. Ia mulai tidak tidur semalaman, meneliti kebenaran kata-kata si gila; ia bercermin dan dengan sebuah senter, ditelitinya satu per satu celah gigi dan rongga mulut dengan cara paling telaten agar bisa melihat setiap bagian.
Tak ada setan. Tentu saja. Setan bukan rendang atau pecahan uang seratus ribuan yang bisa kelihatan dan membikin kenyang perutmu, Mudakir! Ia mengutuk diri sendiri dan kelahirannya. Seandainya dulu saya lahir dengan bakat supranatural, sebagaimana paranormal di televisi yang bisa melihat dan komunikasi dengan para setan. Saya mulai mengingkari prinsip sendiri betapa acara-acara semacam itu hanyalah rekayasa!
Nah, Mudakir—suatu suara terdengar, seakan masuk oleh tenaga gaib—ketahuilah di mulutmu ada setan. Mereka bangun koloni dan kamu tak bisa menyetop dengan cara konvensional, karena kamu tak bisa melihat. Mereka juga tak tersentuh. Setan-setan ini dicipta bukan untuk dilihat atau disentuh, tapi dirasa. Itulah kenapa gunung bangkai juga tidak kelihatan. Sudah berapa orang kau bunuh, he?
"Saya tidak membunuh!"
"Bangkai-bangkai itu, kamulah yang membunuh!"
Mudakir kian heran. Sejak kapan ia pembunuh? Ia cukup waras untuk tak membuat polisi datang meringkusnya karena membunuh tanpa alasan. Ia tidak pernah sekali-kali membayangkan beberapa polisi mengetuk pintunya: "Selamat siang, Saudara Mudakir. Anda kami tahan karena membunuh Mister X di pasar."
Mudakir merasa hidupnya sudah lurus, tetapi karena kutukan entah apa, mulutnya menjadi sangat bau dan dibenci semua orang, hingga kaum malaikat turut menjauhinya. Selama ini ia tidak bisa mengukur seberapa kuat bau itu, karena terbiasa dengan aroma napas. Bukankah tiap penderita bau mulut hampir selalu tak sadar aibnya sendiri?
Ia banting cermin di kamar dan lari ke kamar mandi. Tiba-tiba ia hirup sedikit demi sedikit bau busuk yang dirasai orang lain. Kini setan-setan agaknya memberi Mudakir kesempatan mencicipi bau itu. Ia tidak tahan. Obat kumur dituang ke mulut berkali- kali sampai mulutnya bak terbakar.
"Mati kau! Mati kau, Setan!"
Hingga obat kumur habis dan mulut Mudakir kaku, bau itu kian menggila. Dukun itu benar. Di mulutnya mungkin ada gunung bangkai yang dibangun dari jasad para korban yang dimangsa setan. Boleh jadi, kelak mulutnya menjadi neraka. Api berkobar dan malaikat menjauh. Ia bayangkan itu. Tapi neraka harus ada yang menjaga; ia tahu itu. Dan si penjaga neraka juga tinggal di mulutnya!
Mudakir tak berani membayangkan.
Pintu diketuk.
Akhir-akhir ini ada wacana dari kepala desa soal pengusiran dirinya, karena bau itu menyebar ke seisi desa dan semua orang muntah-muntah, padahal mereka jorok dan jarang ke masjid. Mudakir marah kalau benar diusir. Ia tahu mulutnya bau, tapi sungguh ingin tahu bagaimana mula bau bangkai bersarang di sana, di antara gigi geliginya yang selalu bersih, sehingga ia bisa memperbaiki semuanya.
Para tamu, orang-orang dengan berbagai jenis masker di mulut, memeluk Mudakir dengan bahagia begitu pintu itu dibuka. Aneh. Mereka baru tahu kabar Mudakir dibenci kaum malaikat karena baunya. Mereka minta tolong agar Mudakir tidak ke mana-mana. Dengan terus di sini, begitu yang mereka bilang, malaikat pencabut nyawa mungkin juga tidak datang dan mereka semua akan abadi.
Demikianlah akhir sebuah desa dengan seorang pembohong yang nyaris bertemu hidayah. [ ]
Gempol, 3 April 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya tersebar di berbagai media lokal dan nasional.
Wah, keren. Tak kira karena dia suka ghibah, eh ternyata
ReplyDelete