Skip to main content

[Cerpen]: "Pengarang Tanpa Nama" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Batam Pos edisi 6 Juni 2016)   

Pengarang tanpa nama itu berhenti di depan warung kopi, sebelum melanjutkan langkah ke sebuah lubang di bawah rumah tua. Ia bersembunyi di sana. Ia lelah dikejar para penggila sastra yang menyukai karya-karyanya. Konon, karya-karyanya itu dibuat di ruang bawah tanah sarang tikus. Tidak ada penerangan cukup; hanya beberapa batang lilin yang kadang membuatnya merasa suram.
    Kritikus sastra kenamaan menganggapnya bintang yang terbit di pagi hari. Di kala marak bermunculan nama-nama baru, juga sekaligus karya-karya nol mutu (untuk tidak menyebutnya tumpukan sampah), si kritikus pikir, pengarang tanpa nama inilah harapan. Bintang di pagi hari. Sebuah harapan langka bagi dunia sastra di negeri mereka.
    Pengarang tanpa nama tidak tahu kenapa orang-orang menggilai karyanya yang ia anggap kebohongan. Bahkan, tidak jarang ia menganggap setiap karya yang terbit atas namanya adalah bencana.
    "Seharusnya kamu sebut itu anugerah. Jarang-jarang penulis baru dapat tempat di hati pembaca. Sekarang semua tergila-gila padamu dan mencari karyamu—juga dirimu —di mana pun mereka," kata seorang teman. "Semua itu berkat karya-karyamu yang terbit di media cetak."
    Si pengarang tanpa nama tidak peduli akan pujian macam itu. Lagi pula, dari setiap ucapan itu, ia merasa itu tidak ikhlas. Tidak sedikit juga teman-teman sesama pengarang yang diam-diam membencinya, karena ia dianggap penjahat kecil yang amat beruntung. Sesungguhnya, ia sendiri menganggap dirinya lebih buruk dari bajingan.
    "Tidak ada bajingan beruntung dan tidak ada bajingan yang patut dihormati secara berlebihan. Bajingan tempatnya di neraka, bukan di kursi kehormatan," kata pengarang tanpa nama, dengan sinis. Ia harap teman yang suka memuji itu berhenti berkata omong kosong dan secara jujur menilainya jauh lebih parah ketimbang sekadar 'di neraka'.
    Pertentangan rasa—antara pengarang yang dipuji, juga si pengarang yang merasa tidak layak dipuji—terjadi karena tidak ada yang mengetahui proses si pengarang dalam menghasilkan karya. Ia tidak pernah merasa membuat sesuatu yang luar biasa, kecuali bencana dan bencana.
    Bagaimanapun, ia butuh uang untuk makan. Menulis di media cetak adalah cara yang tepat untuk membantu hidup seorang pengangguran. Ia sudah lama tidak kerja, atau bahkan memang tidak pernah bekerja di mana-mana. Sehari-hari hanya duduk diam di tepi sawah dan melamun. Dan orang hanya akan menganggapnya sinting di suatu hari di masa lalu.
    Sejak pengarang tanpa nama menerbitkan karya pertamanya di media cetak, orang berubah pandangan. Dahulu mungkin saja ia dianggap sinting, tapi sekarang kita semua tahunya ia tidak sesinting itu. Maksudnya begini: bukankah setiap pengarang merenung lebih dulu untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat? Sesuatu semacam karya tulis yang mampu mengubah dunia. Maka, ia melamun itu bukan karena sinting, tetapi untuk memikirkan kebaikan bagi para pembaca.
    Meski begitu, si pengarang tanpa nama merindukan ia dianggap sinting seperti di saat pertama ia menganggur. Lulus SMA, tidak kuliah, makan beras hasil usaha orang tua; harusnya layak disebut gila kalau bukan pemalas. Dan kebiasaannya duduk diam di tepi sawah seharusnya mendukung pendapat pertama.
    Di ruang bawah tanah ia sering memandangi nyala lilin sampai benar-benar habis. Tak ada kegiatan apa pun selain mengetik dan mengetik, meski kepalanya amat pusing. Suatu kali pernah, ketika mengetik cerita, ia merasa sesosok setan datang dan memijat tengkuknya. Setan itu abu-abu dan ia tidak tahu bagaimana mungkin ada setan secantik itu? Tapi, setan itu ada dan nyata. Ia bisa menghirup napasnya yang bagai bangkai tikus. Setan itu bukan mengusik pengarang tanpa nama, malah menyemangati si pengarang agar bisa merampungkan ketikannya sampai berbelas judul dalam waktu semalam.
    "Kamu pasti bisa. Ya, kamu harus bisa," bisik setan cantik itu berkali-kali.
    Di sini sarang tikus. Di ruang bawah tanah yang dibangun dekat bekas kuburan orang komunis ini, pengarang tanpa nama sesekali tidur, atau bahkan menangis setiap sebuah cerita selesai ia ketik dan dikirim ke redaktur sastra. Ia kadang bermimpi aneh, didatangi mayat-mayat hidup dan dicekik sampai mati.
    Sayang sekali, ia berharap itu menjadi kenyataan, ia berharap mati dicekik entah siapa, tetapi ketika di mimpi buruk tersebut ia hampir mati, tiba-tiba saja ia terbangun dan tahu itu mimpi dan ia tidak jadi mati. Pengarang tanpa nama menjadi sangat kesal. Mungkin setan-setan komunislah yang membuatnya sekacau ini.
    Tentu saja, tidak ada kaitan antara dia yang menjadi 'lebih-buruk-dari-bajingan' ini dengan adanya tanah bekas kuburan orang komunis. Segalanya tidak bisa dikaitkan. Ia sendiri tidak peduli, sekalipun mungkin di sini ada banyak hantu. Ia tetap merasa ruang bawah tanah ini membuatnya aman dari siapa pun, termasuk tentu saja aman dari semua teman sesama pengarang.
    Pengarang tanpa nama tahu betul persaingan di dunia literasi amatlah ketat. Ia tahu bahwa tidak semua pengarang senang secara tulus apabila melihat rekan seperjuangan menangguk sukses secara berlebih. Seperti dirinya yang dipuji kritikus kenamaan, juga sekaligus dipuja penggila sastra, misalnya. Tidak semua senang akan hal itu.
    Tentu saja yang pengarang tanpa nama cari bukanlah ketenaran macam itu. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Sekali lagi, hanya uang yang menjadi motivasinya, karena ia terbebani hidup sebagai penganggur yang cuma menghabiskan jatah beras dari orangtua. Ia memilih hidup di ruang bawah tanah sebagai orang buangan, seperti jasad yang dulu dikubur di dekat sini. Dan ia merasa tindakan apa pun tidak akan mengubah pandangan orang pada dirinya. Persis seperti sejarah yang digubah-gubah dan tidak terlalu banyak orang yang protes pada tukang gubahnya.
    "Tempat ini pernah menjadi saksi betapa sejarah pernah dijadikan barang mainan," katanya penuh penyesalan.
    Dalam keadaan pusing karena merasa tidak pantas mendapat pujian dan mungkin saja penghargaan sastra, pengarang tanpa nama tetap mengetik cerita dan mengirimkan itu ke redaktur sastra di mana pun yang ia tahu untuk mendapat uang dan tidak dibilang lelaki tak berguna di lingkungan rumah. Dalam semalam ia biasa menghasilkan berbelas cerita pendek, sampai kebas tangannya. Ia istirahat sampai besok siang, ketika seorang ibu mengantar masuk sarapannya dari ruang atas.
    "Kamu harus makan. Jangan mengetik cerita melulu. Dan habiskan. Jangan sampai tikus-tikus itu yang makan!" begitulah sang ibu berkata. Senang juga sekarang ia tahu anaknya jadi sastrawan hebat. Pemula yang melonjak tanpa batu loncatan, bahkan tanpa aba-aba. Melesat lebih cepat dari roket. Barangkali menyamai cepatnya kendaraan Nabi di kala mengalami peristiwa Isra' Mi'raj.
    Pengarang tanpa nama pun menjalani hari dengan suntuk dan penuh kemuakan. Ia tahu cerita-ceritanya mendapat berbagai pujian dan ia semakin digilai penikmat sastra. Ia tidak bisa lagi keluar seperti dulu, jalan-jalan tidak jelas arah sebagai pengangguran umumnya, atau 'mengukur jalan' kata orang, sebagai ledekan karena pengangguran yang berada di jalanan biasanya tidak akan tahu persis mau ke mana mereka melangkah.
    Pengarang tanpa nama sekarang hanya meringkuk dan bersembunyi di ruang bawah tanah dengan perasaan dosa. Semakin banyak cerita yang terbit, semakin banyak surat pujian melayang padanya, semakin sakit tubuhnya. Setan abu-abu cantik itu mulai memunculkan diri lagi dan melotot padanya agar meneruskan kebiasaannya. Pergi dan duduk di depan mesik tik, lalu kerjakan tugasmu. Semacam itu makna pelototan si setan cantik.
    Pengarang tanpa nama sadar benar, bahwa kualitas semua cerita itu tidak ada yang perlu diragukan. Yang ia anggap perlu diragukan adalah dirinya, juga ruang ini yang dekat dengan rekayasa sejarah. Ia merasa berbuat hal senada: merekayasa sejarahnya. Kelak sesudah ia mati, mungkin orang masih menganggapnya hebat, dan mungkin saja akan ada monumen dirinya dibangun di satu sudut kota tempat ia dahulu dilahirkan. Itu sungguh bencana besar dalam dunia sastra.
    Yang membuat pengarang tanpa nama ini merasa diliputi dosa, serta merasa jauh lebih buruk dari seorang bajingan adalah: alangkah banyak orang percaya padanya. Tak ada yang tahu bagaimana ia membuat cerita-ceritanya di sebuah ruang bawah tanah. Ia bukan berpikir keras atau merenung atau apa pun yang dikerjakan seorang pengarang hebat untuk menghasilkan semua itu.
    Yang ia kerjakan hanyalah menyalin dan menyalin. Ia bisa mengetik berbelas cerita dalam semalam ketika menderita pusing berat. Memang tidak masuk akal. Tentu saja, akan lebih masuk akal jika ia katakan semua yang ia ketik bukan cerita karangan sendiri. Cerita-cerita itu ia dapat dari sahabat yang sudah mati. Sahabat itu ia kenal di terminal beberapa tahun lalu. Sahabat itu mengaku menulis banyak sekali cerita pendek, tetapi tidak berani mengirimnya ke media cetak.
    "Memangnya kenapa?" tanya pengarang tanpa nama—ketika itu ia belum disebut sebagai pengarang, melainkan 'pengangguran' saja.
    "Karena aku tahu kamu lebih membutuhkannya. Pakailah cerita-ceritaku dan kamu akan hidup seribu tahun lamanya." Lalu orang itu memberikan beberapa bundel kertas berisi cerita-cerita pendek yang belum pernah ada.
    Mengenang itu, sungguh, pengarang tanpa nama merasa lebih buruk dari bajingan mana pun, sekalipun sahabat lama yang sudah mati itu merelakan karya-karya besarnya diakui si pengarang yang menghuni ruang bawah tanah sarang tikus. Bagaimanapun, si pengarang ini lebih suka dianggap lelaki sinting, ketimbang membohongi semua orang dan mengukir sejarah palsu sebagaimana tanah kuburan yang tidak jauh dari tempat ia mendekam. [ ]

    Gempol, 2 Mei 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

  1. Satir... Yang tak pernah terpikirkan oleh para pengarang. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Juga mereka yang suka iri dalam arti negatif ketika melihat kesuksesan orang. Heheh.

      Delete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri