Skip to main content

[Cerpen Remaja]: "Penggemar Rahasia" karya Ken Hanggara

 
    (Dimuat di Harian Analisa, edisi Minggu, 29 Mei 2016)

Sekali lagi surat itu kuterima. Tak tahu siapa penulisnya. Tiba-tiba sudah di laciku. Seminggu terakhir, hampir setiap hari, selepas jam istirahat, aku temukan amplop pink dengan aroma jeruk.
    Sepertinya orang itu tahu bagaimana aku, yang begitu menggilai warna pink, serta menyimpan potongan kulit buah jeruk di tas untuk sesekali kuhirup jika jam pelajaran berlangsung. Aku suka sekali aroma jeruk.
    "Mungkin penggemar rahasia," celetuk Yuni, teman sebangkuku.
    Penggemar rahasia? Mana mungkin aku punya penggemar rahasia? Gadis tertutup sepertiku, tidak cantik, tidak berprestasi. Cuma orang kurang kerjaan yang bisa seperti itu. Bukankah untuk digemari harus memiliki syarat, minimal, fisik yang bagus? Dan aku sama sekali tak memenuhi itu.
    "Yah, mungkin dia liat sisi lainmu."
    "Sisi lain?"
    "Kejujuranmu, mungkin. Atau kamu cewek yang baik, suka membantu teman."
    Aku bertanya-tanya; kelakuan baik macam apa yang pernah kulakukan? Memang sesekali aku membantu teman. Itu pun tidak istimewa. Setiap orang pasti membantu teman-temannya.
    Aku tak percaya surat itu benar-benar untukku.
    "Okelah, kalau kamu nggak percaya. Toh surat itu datang!"
    "Buat orang lain, Yun."
    "Buatmu. 'Kan di lacimu!"
    "Salah alamat kayaknya. Ini bukan buatku."
    Yuni bilang, meski surat itu tidak mencantumkan nama penerima, ia percaya surat itu untukku, karena amplopnya pink dan beraroma buah jeruk. Di kelas, semua orang juga tahu itu ciri khasku. Aku suka aroma jeruk dan tidak ada teman sekelas yang tidak tahu soal ini.

    Yuni mengatakan itu sambil bisik-bisik agar tidak ada teman lain yang tahu. Ya, kami merahasiakan soal surat kaleng ini. Surat yang ditulis tanpa nama penerima atau pengirim. Polos saja. Di bagian depan tertulis kalimat: "Untuk orang yang kugemari".
    Aku tidak tahu siapa yang menulis ini; mungkin memang ada yang mengagumiku, tetapi kenapa? Atau jangan-jangan ini hanya kerjaan Yuni? Atau, teman-temanku yang lain? Aku belum ulang tahun dalam waktu dekat, jadi tidak tepat mengerjaiku saat ini dengan surat beraroma buah jeruk. Sungguh tidak lucu.
    "Kusimpan," kataku menyimpulkan. Sudah lima surat seminggu ini kutemukan di laciku, dan tidak satu pun kubuka. "Tidak kubaca. Takut salah alamat dan orang yang harusnya nerima ini kasihan. Aku nggak mau lancang membaca surat orang lain." Aku sebenarnya juga tidak mau, kalau memang ini ulah jahil seseorang, menjadi malu sebab berharap ada sesuatu yang bagus di surat semacam itu.
    Yuni menghela napas sebal. Sekali waktu ia memaksa membuka surat itu, sekadar memastikan di dalamnya juga tak tertulis namaku. Temanku yang cerewet ini percaya, bahwa di suatu tempat, ada seorang yang menyukaiku, entah siapa pun itu.
    "Cukup dua hal, Mir," ucap Yuni sok tahu, "Dua saja! Nggak perlu banyak-banyak, juga nggak perlu namamu, untuk tahu itu memang ditulis buatmu atau enggak. Coba bayangin mana ada yang suka jeruk segila kamu di kelas? Paling-paling Pak Herman wali kelas kita! Tapi nggak mungkin orang kirim surat semacam itu buat beliau, 'kan?"
    Aku tersenyum saja mendengar keseriusan Yuni, meski tampangnya malah terlihat lucu.
    Aku masih percaya surat-surat ini salah kirim, atau memang ada seseorang yang mau mengerjaiku. Kemungkinan kedua membuatku tidak nyenyak tidur. Di sekolah aku pendiam dan tidak pernah pacaran. Aku tidak pede menyukai seseorang dan memendam dalam-dalam perasaanku pada seorang kakak kelas.
    Sejak itu aku tak mau membahas surat-surat tanpa identitas penulis ini dengan Yuni. Dia selalu bikin sebal dan sok tahu.
    Tapi minggu kedua surat-surat itu masih datang. Masih dengan warna dan aroma yang sama: pink dan jeruk. Dua hal yang kata Yuni ciri khasku seorang.
    "Di sekolah ini, nggak cuma di kelas ini, perpaduan dua hal itu cuma ada padamu. Yah, mungkin ada sih beberapa adik atau kakak kelas kita yang juga suka warna pink sekaligus aroma jeruk. Tapi, kurasa nggak mungkin surat-surat ini nyasar sejauh itu."
    Yuni benar soal kemungkinan surat ini tidak mungkin nyasar, karena kelas kami, XI-A3, terpisah dari deret kelas sepuluh dan duabelas. Sedangkan teman seangkatan sesama kelas sebelas, banyak yang Yuni kenal dan hafal kebiasaannya. Mereka rata-rata kalau bukan suka warna pink saja, hanya menyukai aroma jeruk dengan warna favorit lain.
    "Tapi terserah kamu sih, Mir," kata Yuni sepulang sekolah siang ini. "Kamu boleh tidak buka surat-suratnya. Itu hakmu. Tapi jangan sampai kamu nyesel belakangan. Orang bilang nyesel selalu datang di akhir dan tidak mungkin di depan. Kamu nggak bisa memutar balik semuanya. Cuma ngingetin sih."
    Aku lagi-lagi tersenyum.
    Sejak mula aku tidak mau percaya surat ini untukku, dan bila memang untukku, aku percaya surat ini bikinan orang iseng yang ujung-ujungnya menertawaiku karena telah tertipu. Tetapi, keteguhan dan alasan Yuni yang logis, membuatku berubah pikiran.
     Di kamar, kupandangi surat-surat itu. Delapan amplop kini. Kesemuanya pink dan beraroma jeruk. Meja belajarku seperti kulkas berisi banyak sekali buah jeruk, sehingga ketika kubuka, semerbak kesukaanku menyambar wajah dan membuatku nyaman.
    Tapi, siapa? Siapa yang menulis?
    Dengan berdebar-debar, kubuka amplop pertama.
    "Tidak, tidak!"
    Aku ragu. Apa lebih baik kuajak Yuni menyelidiki dulu?
    Jam istirahat kami tak pernah diam di kelas. Selalu ke kantin atau perpustakaan. Pada saat itulah si pengirim bekerja; menaruh amplop itu ke laciku dan diam-diam pergi tanpa ada yang memperhatikan. Kelas selalu kosong saat jam istirahat.
    Ah, kenapa tidak dari kemarin-kemarin?
    Kami sibuk berdebat soal surat sampai lupa kenyataan yang satu ini: kelas selalu kosong! Kubatalkan membuka amplop. Besok, aku harus tahu siapa pengirim surat ini dan apa maksudnya.
***
    "Ke mana sih?" Yuni heran saat kutarik ia menuju lorong samping sekolah.
    Tempat itu agak angker dan jarang siswa pergi ke sana, kecuali mereka yang nakal dan mencoba merokok.
    Kami mengendap-endap, Yuni tahu maksudku. Sesampai di bawah jendela kelas, aku memekik. Seseorang berlari keluar dari kelas. Menabrak meja dan kursi, tapi ia cepat menghilang.
    Aku sempat melihat wajahnya.
    Yuni yang terhalang badanku, mendesakku agar bisa juga melihat apa yang terjadi. "Siapa? Siapa sih?"
    Aku diam.
    Yuni mengguncang-guncang bahuku.
    Aku masih diam.
    Malam ini, aku tak lagi bisa tidur dengan nyenyak. Dan mulai besok, Yuni akan lebih cerewet dari sebelumnya, karena pengirim surat itu adalah orang yang selama ini melihatku dari jauh. Tidak. Mungkin lebih tepat: orang yang selama ini kulihat tanpa berani mendekatinya. [ ]
    Gempol, 2015-2016
   
KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Beberapa tulisan dimuat di media cetak/online.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri