Skip to main content

[Cerpen]: "Para Peneror" karya Ken Hanggara

cara membuat link pada gambar

(Dimuat di Koran Pantura edisi Jumat, 13 Mei 2016)

    Aku bersumpah dua orang itu pernah datang ke rumahku dan meminta pertunjukan digelar. Waktu itu kubilang kepada mereka, bahwa aku bukan promotor tinju. Aku tidak tahu maksud mereka dengan 'pertunjukan', tapi salah seorang membawa seekor monyet dan duduk menerawang langit di atas pohon jambu. Aku menduga dua orang ini putus asa. Tentu saja, topeng monyet bukan barang menarik di desa ini.
    Sekali itu saja mereka datang dengan monyetnya. Aku tidak memenuhi permintaan soal 'pertunjukan', yang kuyakin maksudnya adalah: mengundang anak-anak tetangga. Bila itu terjadi, pukul dua siang di halaman rumahku yang luas, yang penuh pepohonan jambu dan mangga, akan penuh sampah plastik dari permen dan snack. Akan ada banyak anak kecil di halamanku dan mereka melonjak riang menonton seekor monyet ditarik rantai di lehernya. Aku tidak suka melihat binatang disiksa, betapapun jeleknya binatang itu, dan aku benci membersihkan sampah yang diakibatkan anak-anak berbau keripik.
    Jadi, kubilang pada kedua tamu ini, agar mereka duduk dan kuberi mereka makan. Mereka berpandangan satu sama lain. Salah seorang yang menggendong monyet, tidak mau masuk, karena itu bisa membuat si monyet berontak. Ikat di sana saja, kataku, tapi orang itu sepertinya tuli. Salah seorang yang mewakili grup itu bilang, "Kami tidak cari makan. Kami cari panggung."
    Sungguh aneh. Kupikir, dua orang ini sinting. Seandainya aku monyet dan berada di penguasaan dua orang putus asa, aku lebih suka lahir sebagai tahi monyet.
    Bagaimanapun, dua orang itu tetap duduk di terasku dan kuberi makan. Si monyet tidak ketinggalan, kuberi tiga buah pisang yang dilahapnya dengan cepat, seakan takut orang yang menggendongnya tadi merebut jatah itu. Si pembawa monyet yang melepas piaraannya, dengan sepiring nasi rawon di tangan, memandang binatang sial itu dengan kesan benci.
    Ketiga makhluk malang itu makan sama lahapnya, tentu saja. Mereka pasti sangat lapar dan tidak makan selama entah berapa tahun. Aku tahu itu berlebihan, tetapi tidak ada yang bisa memperkirakan seberapa lama orang berpuasa ketika melihat tubuh kurus dan kering macam mumi di depan mata. Tubuh-tubuh itu seperti pohon di pinggir jalan tol, sebatang demi sebatang yang berjarak sekian belas meter jauhnya, tanpa teman, dan meranggas ditelan terik matahari sepanjang tahun.
    Dua manusianya kuberi nasi rawon sisa kemarin lusa dan teh, plus semangkuk kue basah. Semua tandas dalam waktu kurang dari lima menit, tetapi kedua orang itu masih menuntut adanya panggung, atau yang selalu mereka sebut 'pertunjukan', seakan-akan kalau monyet sial itu tidak tampil hari ini, dunia akan kiamat.
    Kubilang, "Saya tidak suka topeng monyet."
    Lalu salah seorang, yang dari tadi selalu mewakili grupnya untuk bicara, menjawab, "Di sini pasti banyak anak kecil."
    "Saya tidak kawin dan saya tidak punya anak."
    Dua orang itu lalu memandangi halamanku yang luas, lalu mata mereka beralih ke teras dan memindai seluruh yang ada di sini. Meja dan kursi rotan. Pot-pot bunga. Vas beling di meja, lalu taplak dengan bordir burung cendrawasih, hadiah temanku yang dulu berharap kukawini, tetapi tidak terjadi, karena aku tidak suka perempuan berdada gepeng.
    Dua tamu ini belum selesai mengamati, sampai seorang yang tadi diam tidak bicara, minta izin ke toilet. Dia tidak setuli yang kuduga, maksudku, memang telinganya tidak bermasalah. Aku pikir, kalau orang asing masuk dan kencing sembarangan (atau berak?) di rumahku, aku tidak akan nyaman dan merasa jijik sebelum kukerahkan tenaga demi menguras isi bak mandi dan membuat bersih seluruh tempat itu, termasuk WC, dengan sikat dan cairan pembersih.
    Jadi, dengan tetap ramah, meski kepalaku sangat pusing, karena tidur siangku ini sudah terganggu, kubilang, "Toilet saya rusak." Setelah itu tidak ada suara. Semua tiba- tiba hening dan kudengar monyet itu menjerit-jerit karena seorang yang kuanggap 'juru bicara' menarik rantai binatang itu secara mendadak dan keras.
    Ingin kubilang padanya, betapa monyet juga ciptaan Tuhan, tetapi aku tidak suka kalau sampai ada yang mengira aku sok ceramah, sok mengatur-ngatur iman seseorang. Aku tidak suka dianggap ikut campur prinsip orang. Masalah menyiksa binatang, sama persis dengan masalah tidak suka perempuan berdada gepeng, sekalipun dengan risiko tidak punya anak sampai kiamat. Kukira, semua orang tahu itu dan tidak akan mengusik pilihan orang.
    Maka, untuk beberapa saat, terasku terasa hening.
    Orang itu akhirnya melompat ke halaman dan kencing di salah satu batang pohon jambu. Aku pandangi dia dengan jijik. Benda itu keluar begitu saja tanpa malu-malu, mengintip dengan helm mengilap berkat sorot matahari. Semoga mendung segera turun dan hujan menyapu kotoran dari barang si sinting.
    "Terima kasih," kata-kata itu terasa aneh di kuping.
    Orang yang memaksa adanya pertunjukan di halaman ini, mungkin menyerah dan tidak bertanya lagi soal anak-anak. Bagus. Ia bisa pergi ke tetanggaku sana dan bertanya soal yang sama, dan mungkin tetanggaku mengizinkan grup ini menggelar pertunjukan mereka. Dasar sok! Diberi makan, minta panggung. Disodori rawon sisa, habis juga.
    Siang itu berakhir setelah mereka pergi dari halaman rumahku.
    Tapi soal grup aneh ini belum selesai sampai sekarang.
    Aku bersumpah, sesekali kulihat orang yang kencing di pohonku itu lewat di depan rumah. Malahan, tidak jarang juga ia berhenti di seberang sana dan memandangi rumah ini penuh kebencian. Aku jelas tahu, karena walau hidupku makmur, aku tidak pernah bekerja atau ke mana-mana; selalu di rumah dan nyaman sebatang kara sebagai lelaki introvert. Dari ruang tamu, yang berjendela hitam, aku melihat orang yang kencing di pohonku tempo hari itu mengamati seperti ingin berbuat jahat. Dan bukan cuma terjadi dua kali saja. Ini terus berulang-ulang.
    Bukan hanya orang yang kencing, si 'juru bicara' kadang-kadang mengayuh sepeda dan menoleh ke rumahku. Tolehan yang aneh, mengingat tidak ada pemandangan bagus di halaman ini. Tidak ada anak kecil, tidak ada taman, tidak ada air mancur. Pepohonan jambu dan mangga tidak menarik hatimu. Apa yang membuatnya suka menoleh? Aku mulai tidak enak dan berpikir melaporkan ini ke polisi.
    Aku tidak tahu di mana grup topeng monyet itu tinggal. Lagi pula, sejak dulu, aku tidak pernah tahu ada grup topeng monyet, kecuali terdiri dari seorang manusia putus asa dan seekor monyet bernasib sial. Tak ada orang optimis mencari nafkah dengan cara menarik-narik leher binatang menggunakan rantai, sehingga suatu hari mungkin seekor binatang mati dengan penyakit tertentu di leher.
    Tubuh kurus mereka kubayangkan dengan mudah dihalau angin. Pernah kutangkap basah dari terasku, salah satu dari mereka, yang segera berlari pergi dan aku menyusul di belakang dengan lari tidak kalah cepat. Aku tidak bisa menyusul dan kehilangan jejak. Orang-orang ini seperti daun mati ditiup badai. Tidak ada yang tahu ke mana daun itu berakhir, kecuali Tuhan.
    "Pikirkan dulu matang-matang. Mungkin cuma perasaanmu," kata Pak RT, waktu kumintai saran bagaimana enaknya bersikap.
    Pergi ke kantor polisi bukan seperti mengunyah sarapan. Kita tidak biasa bertemu hal-hal begituan, atau malah tidak pernah sama sekali. Dan aku belum pernah ke kantor polisi, walau sekadar mengurus SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) untuk kerja di pabrik. Aku tidak pernah tahu hal-hal macam itu.
    Pak RT menambahkan kemungkinan baru, bahwa kedua orang sinting itu tinggal jauh dari sini. Mereka baru sekali itu membawa seekor monyet dan minta digelarkan pertunjukan. Adalah hak siapa pun menolak pertunjukan yang dia tidak sukai, terlebih jika itu bisa menimbulkan banyak sampah di halaman. Dan adalah kewajiban pula bagi setiap tukang topeng monyet menerima apa yang diputuskan orang lain. Tidak ada satu pun penonton di stadion, begitu Pak RT mengibaratkan, tidak lantas membuat pemain sepakbola berhak menyerang rumah setiap supporter.
    "Mungkin kebetulan mereka lewat. Atau malah, yang lewat bukan mereka, tetapi orang yang wajahnya persis? Kita sama-sama tidak tahu dan berharap tidak ada penjahat mengintai rumah warga sini."
    "Tapi saya takut, Pak. Saya takut mereka tersinggung, lalu membunuh saya suatu hari."
    "Ah, kebanyakan nonton film sampean ini. Tidak ada tukang topeng monyet gitu, Mas. Mereka cuma cari duit dan jangan berpikir yang aneh-aneh."
    Pak RT pun pergi, setelah menyarankan padaku untuk berpikir positif. Tentu saja, soal laporan ke polisi, aku bebas memutuskan enaknya bagaimana. Aku bisa pergi ke kantor polisi sendirian dan melapor bahwa mungkin ada dua tukang topeng monyet gila yang membunuhku seperti di film Hollywood. Mayatku mungkin saja bakal dipotongi seperti bangkai ayam, dan ditaruh di karung terpisah, lalu dibuang ke entah mana. Aku bisa melapor dan merinci secara lengkap berbagai kemungkinan buruk, tetapi juga bisa mengabaikan ketakutanku dan menganggap tidak ada tukang topeng monyet membalas dendam.
    Dua hari dua malam, pilihan jatuh ke yang terakhir. Aku abaikan tatapan sarat teror yang masih juga datang dari orang-orang itu. Ya, aku tidak tahu tinggal di mana mereka sebenarnya, dan juga tidak tahu mengapa, kalau memang kebetulan, mereka selalu lewat sini? Pak RT juga mencari info apakah ada tukang topeng monyet tinggal di kawasan di dekat desa kami. Atraksi itu tidak populer di kawasan sini, jadi tidak ada jawaban 'ya' dari mulut orang-orang yang didatangi.
    Aku mulai percaya mungkin ini perasaanku, apalagi tetangga bilang tidak pernah lihat dua orang kurus kering dan seekor monyet berjalan. Namun kepercayaan itu hilang ketika suatu malam kudengar pintuku diketuk. Aku bangun dan membuka pintu, tetapi tidak ada tamu, kecuali bunyi gamelan topeng monyet yang dimainkan begitu nyaring, juga jerit binatang sial dari suatu sudut yang sepertinya amat dekat, meski tidak ada siapa-siapa di halaman luasku. [ ]
    Gempol, 15 Maret 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri