Skip to main content

[Cerpen]: "Ada Timo di Depan Kamar" karya Ken Hanggara


(Dimuat di Tabloid Apakabar Indonesia Plus Edisi #06 Thn. 21 Mei - 3Juni 2016)

    Timo duduk di depan kamar kostku dan berjanji tidak pergi sebelum kuberikan apa yang ia minta. Dasar sinting. Orang ini benar-benar bikin pusing. Sudah kubilang, mau dia tiduran di situ sampai kiamat pun, aku tidak peduli.
    Timo bukan pergi; ia dengan sepenuh hati mengambil selimut dari buntalan kain, menggelarnya di teras kamar dan dengan penuh ketenangan berbaring melingkar seperti trenggiling.
    Tetangga kamar kostku tidak ada yang bereaksi, kecuali bisik-bisik. Sebagian pergi ke toilet, yang aku yakin sebagai tanda kesungkanan tertawa terang-terangan karena aku mahasiswi yang dihormati berkat otakku. Tapi sesudah ini, berkat si Timo gila, apa kata orang tentangku, ya?
    Tentu aku tidak mungkin mengabulkan permintaan itu: memberi seluruh hidupku untuknya dalam pernikahan. Kubilang pada Timo, menikah tidak sesederhana beli es teh, yang tidak dipikir matang-matang, tetapi begitu dapat langsung disosor sampai tandas. Menikah butuh pertimbangan, bukan cuma rasa suka semata.
    Kau tahu, saat mengatakan itu, jantungku berdegup kencang tak keruan. Takut si gila marah sewaktu-waktu dan memukul kepalaku dengan balok kayu di dekat kakinya.
    "Siapa bilang kamu es teh?" katanya panik.
    Timo bingung mencari bahan pembelaan. Ia meringkuk semakin dalam dan mulai menangis. Lalu ia bicara soal masa lalu. Ia dulu selalu menungguku pulang dari sekolah. Saat itu Bapak belum membeli motor, jadi kubiarkan saja si gila ini menjadi ojek gratis. Lumayan juga. Banyak teman yang iri, tetapi tidak sedikit yang mengingatkan bahwa mungkin suatu hari nanti Timo minta balas budi.

    Aku tidak yakin akan itu. Balas budi? Orang segila Timo mengerti soal balas budi? Anggap saja dia memberiku bantuan sedemikian banyak. Tiap satu bantuan itu berubah wujud sekeping koin. Keping demi keping jatuh dan masuk ke lubang di kepalanya; satu kali perjalanan pulang, tidak terjadi kalau tidak ada bensin yang ia beli dari hasil kerja serabutan. Dan hari demi hari, perjalanan terus berulang, keping-keping terus bertambah dan membuat kepala Timo penuh. Kelak, suatu hari di masa depan, keping-keping itu dihitung sebagai utang. Konyol sekali. Memang orang gila bisa begitu?
    Lagi pula, aku tidak selalu memanfaatkan orang sinting ini. Aku juga membayar, walaupun tidak dengan uang, tetapi beberapa bungkus rokok atau kadang-kadang bekal makanku yang sengaja tidak kumakan. Timo dengan senang hati melahap habis semua. Pernah ia kubayar dengan gambar artis Korea kesayangan. Si gila ini, kukira, menyukai cewek-cewek berwajah imut.
    "Dia tidak mungkin suka padaku," kataku ke teman-teman yang menasihati. Bukti betapa wajahku tidak lebih baik dari ukuran cantik kebanyakan orang: kulit putih bersih, wajah ala boneka, dan tentu saja: pintar bernyanyi.
    Kurasa tidak ada ciri artis Korea padaku, jadi santai saja kujalani masa SMA. Timo menjemput dengan motor tua setiap hari. Knalpot itu, yang berisik minta ampun dan membuat telingamu mungkin saja meledak kalau mendengarnya satu jam berturut-turut, kubayangkan bagai karya komposer besar Mozart. Dan asapnya yang hitam kelam itu aroma terapi.
    Banyak cowok patah hati karena mereka menganggap ini serius. Mereka kira, aku benar-benar suka pada Timo. Maria dibonceng Timo. Maria dikencani si sinting. Maria dihipnotis, dan lain-lain, mereka terus gaungkan. Aku tidak mendengar semua omongan itu dan tidak pernah peduli. Selama jalan kaki bisa kuhindari, cara apa pun sah-sah saja. Aku tidak suka jalan kaki karena tubuhku mudah capek.
    Waktu itu tidak ada pikiran Timo akan menuntutku untuk menjadi istrinya di kemudian hari. Tidak ada bayangan si gila memaksaku sampai terbawa-bawa ke mimpi buruk. Aku bahkan tidak pernah memimpikan orang itu dalam sebuah tragedi, misalnya, pengejaran hantu laknat pengisap darah perawan manis.
    Kalau sekali saja mimpi buruk itu datang, tentu aku tidak mau dibonceng Timo. Ya, tidak salah orang bilang, bau badannya tidak enak. Mungkin dia tidak mandi selama dua tahun, atau empat belas tahun; tidak ada yang tahu. Orang gila tidak mandi selama apa pun, kita tidak pernah tahu dan tidak sudi menghitung. Teman-temanku yang mengaku peduli dan cemas pada kemungkinan buruk itu, juga tidak bisa menghitung. Tetapi jelas, tidak ada hidung yang berbohong, karena bau badan Timo mendekati bau manusia purba.
    Aku memang tidak tahu bau manusia purba itu seperti apa, tetapi itu memuakkan. Dan aku biasa mengatasinya dengan memakai masker. Jadi, setiap orang yang dangkal akan selalu berpikir, Maria sudah sinting. Mungkin Timo pergi ke dukun dan membawa semacam mantra untuk ditiupkan ke gadis manis itu. Sekarang, si gadis bisa dibonceng setiap hari, tanpa peduli bau sengak ketiak orang tidak mandi bisa menembus masker seharga dua ribu yang dibeli di mini market!
    Bapak mendengar kekonyolan ini dan mencoba mengingatkanku. "Kamu jangan keseringan menumpang Timo. Bapak tidak suka," begitu kata beliau selalu. Aku diam dan mengiyakan nasihat beliau, tetapi setiap Timo menunggu di bawah pohon ketapang depan sekolah, aku melompat girang karena bisa menghemat uang jajanku. Maklum, aku bukan anak orang berada. Naik angkot butuh ongkos. Dan itu lebih baik disimpan, karena ojek gratis selalu tersedia untukku. Bukankah sejak kecil kita diajari agar tidak menolak rezeki?
    Ketika itu tidak ada pikiran Timo akan menjemputku hingga ke luar daerah, atau ke mana pun aku pergi melanjutkan pendidikan. Ia tidak mungkin jauh-jauh datang dan menagih sebuah pernikahan dari gadis yang dahulu sering ia antar pulang dari sekolah. Ini tidak masuk akal.
    Sampai kemarin lusa, tidak ada pikiran soal Timo, hingga suatu malam, seseorang datang dan mengetuk pintu kamar kostku. Ketukan yang tidak sabar dan membuatku kesal. Kukira pemilik rumah tempat kostku berada ini tidak tahu aturan. Ini sudah jam sepuluh malam.
    Dengan kesal kubuka pintu. Saat itulah, aku tahu ketakutan teman-teman di masa lalu itu benar. Bukan pemilik rumah yang mengetuk. Bukan juga tetangga kostku. Timo datang dengan buntalan kain. Ia tampak sangat kacau dan lebih mirip seekor alien nyasar ketimbang seorang lelaki dengan segumpal cinta di hatinya.
    "Pokoknya kamu harus!" Timo bersikeras. Sepanjang malam ia ribut meski posisi berbaring serupa trenggiling tidak berubah. Ia terus menangis membuat keributan. Dan ketika tangisan itu tidak berbuah hasil, si gila berdiri dan mulai bernyanyi lagu yang entah siapa penciptanya.
    Ada si gila di teras Maria, begitu kabar menyebar. Pintu-pintu menguak. Satu-satu wajah, yang belum tahu Timo karena tidur lebih awal, muncul dari balik jendela dan menganga.
    Sebagian penghuni kost tertawa. Bukan teman kampus. Yang tertawa, para pegawai kurang hiburan. Mereka kerja di berbagai tempat seperti kafe atau mini market dan tidak pernah terlihat bahagia menjalani pekerjaan. Kau tahu, orang-orang seperti ini terbiasa beramah tamah palsu terhadap costumer, meski kadang-kadang hatinya susah. Melihat seorang gila mampir dan menuntut pernikahan pada mahasiswi baru sepertiku, menjadi bahan hiburan dan suntikan vitamin gratis. Aku merasa jadi orang paling sial di muka bumi.
    Aku tidak tahu bagaimana mengusir Timo dari sini. Pemilik kost juga masih di luar kota. Mungkin aku akan begadang sampai pagi dan memastikan Timo tidak menerobos ke kamarku. Kalau aku menutup pintu dan menolaknya lebih keras, kemungkinan si gila ini akan nekat mendobrak dan keadaan akan bertambah kacau. Ini tempat kost khusus wanita dan tidak ada satu pun dari kami bisa bela diri. Kami juga tidak tahu apakah si gila ini membawa senjata di buntalan kainnya atau tidak. Segala kemungkinan buruk itu, hanya bisa dicegah dengan aku yang tetap berdiri di sini menunggu pagi.
    Timo yang kelelahan berhenti satu jam kemudian dan ia mulai menggelosor dekat kakiku. Ia sentuh sandalku dan aku menghindar. Ia bilang, betapa ia mencintaiku dan aku harus menjadi istrinya. Aku tidak berani menolak dengan kalimat kasar, kecuali memakai kata-kata yang lebih wajar: "Aku sudah punya pacar."
    Tapi Timo tak peduli dan ia mulai berbaring di bawah kakiku, sementara aku masih jongkok. Para penonton masuk kamar masing-masing. Sungguh sial. Tidak ada seorang pun menemaniku mengatasi si gila ini.
    Aku merasakan penyesalan teramat besar pada detik ini. Bagaimanapun, Timo juga manusia. Tidak seharusnya aku memanfaatkannya, walau tak ada pikiran seorang gila akan menghitung jumlah keping kebaikan di kepalanya.
    Ketika terbukti Timo berangkat menagih itu pada saat yang tidak tepat, aku tidak tahu harus berbuat apa. Kukira, Bapak pasti tertawa kalau nanti aku pulang dan mengisahkan pengalaman pahit ini padanya. Dan aku akan mendapat nasihat yang lebih panjang dari biasa, sehingga harus membuat kepalaku pusing karena lebih banyak mengangguk! [ ]
 
  Gempol, 8 Maret 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri