Skip to main content

[Cerpen]: "Ada Neraka di Kepala Maria" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Ada Neraka di Kepala Maria" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Riau Pos edisi Minggu, 1 Mei 2016)
 
    Sudah seharian Maria di gudang. Tidak boleh keluar karena harus membayar mahal atas kematian Lili. Sungguh bodoh si gila itu, menyelipkan Lili, anak anjing saya, ke roda mobil tetangga dalam keadaan terikat. Anjing itu hanya mengaing-ngaing dan pada saatnya ia berhenti karena mati. Maria berteriak girang dan menari-nari seperti orang baru menangkap maling.
    Saya tanya, "Kenapa senang?"
    "Lili masuk neraka, Kak! Aku yang bikin neraka. Biar tahu rasa!" kata Maria.
    Begitu tubuh gepeng Lili diseret dari bawah mobil, diiringi tatapan jijik dan tidak tahu apa-apa tetangga kami yang sudah tua dan agak tuli, saya menjerit dan bersumpah dalam hati bahwa Maria tidak boleh bernasib lebih baik dari ini.
    Maria memang seharusnya tidak pernah bernasib baik. Sejak pertama kali ia datang kemari, ia sudah mencuri kebahagiaan saya. Dunia ini terlalu lebar untuk diisi orang seperti Maria. Saya kesal, tapi Papi bilang, "Itu saudaramu, Nak, bukan setan." Terus menerus Papi bilang begitu, sekalipun banyak yang bilang, bahwa Maria itu anak setan.
    Saya tidak tahu bentuk setan seperti apa, tetapi Maria bodoh dan nakal. Mungkin saja ia memang anak setan seperti yang orang lain bisikkan. Semua teman saya di kelas pun, ketika tahu saudara saya bertingkah aneh, berliur, dan sering berak di celana, menganggapnya anak setan.
    "Tidak ada anak manis berak di celana," kata mereka selalu. Demi Tuhan, saya jadi malu. Maria sangat saya benci karena sejak orang tahu kami bersaudara, saya jadi punya lebih sedikit teman.
    Hari-hari di rumah, ketika saya melihat Maria duduk di teras dan memandangi apa pun di jalan depan, sangat membosankan, dan terkadang memuakkan. Maria suka sekali membuat kotoran di lantai, entah berak atau muntahan, atau eksperimen-eksperimennya yang konon lahir dari semacam mimpi.
    "Ada neraka di sini, Kak," katanya suatu hari, menunjuk kepalanya yang bulat dan agak kebesaran, "Tapi bukan Tuhan yang bikin. Ini nerakaku. Aku yang bikin buat menghukum orang berdosa."
    "Kamu gila, ya? Ada Tuhan yang melakukannya kalau sudah kiamat nanti!"
    "Pokoknya aku bikin neraka di sini. Nanti ia keluar kok."
    Maria lalu mencampur plastisin merah dan biru di satu wadah, dan menuanginya minyak tanah. Ia terus mengulen dan mengulen seakan membuat kue, dan mulai bicara hal-hal yang menurutnya menyenangkan, selain neraka di kepala. Ia berbisik, jangan bilang siapa-siapa, ya. Ini rahasia. Saya tahu plastisin itu pengalih perhatian. Papi mami tidak boleh tahu, ya, bisiknya lagi.
    Saya tidak tahu dosa apa orangtua kami dulu sehingga lahir bocah seperti Maria. Ia tidak pernah absen membuat kekacauan di hari ulang tahun setiap bocah, sehingga saat mereka hafal insiden senada, menolak undangan untuk Maria. Anak itu tidak boleh ke pesta siapa pun.
    Saya yang datang ke berbagai pesta, karena masih mendapat undangan teman, kena imbasnya. Undangan untuk saya dirobek Maria dan ia tidak suka saya datang. Tapi, saya datang. Saya dikado si A boneka kesukaan dan inilah giliran saya membalas kebaikan teman. Ia membanting mainannya. Ketika saya dikado si B buku harian bagus dengan sampul tebal, tentunya juga harus saya balas. Ini cara saya agar mendapat banyak teman dan memang sewajarnya begitu. Kepada teman harus saling membahagiakan, bukan?
    Maria tidak setuju. Semua orang bukan teman, dan mereka semua pantas masuk ke neraka, katanya. Ia tidak berhenti membanting mainan, lalu beralih ke gelas dan piring di dapur, sampai Papi mendatangi kamar saya dan mengatakan ini secara tegas, "Mulai sekarang, tidak ada lagi pesta!"
    Padahal umur saya baru lima belas. Benar-benar setan!
    Maria yang lahir dengan kutukan nasib buruk seperti menularkannya kepada saya. Di balik wajah bodoh dan tidak waras itu, tersimpan niat untuk menjegal saya agar kami sama-sama dibenci semua orang. Maria sering tersenyum diam-diam dan saya tidak tahu maksudnya. Ia berhenti begitu melihat saya.
    Saya bilang pada Mami, saya beda dan saya bukan saudara Maria. Saya harus tahu itu benar dan jangan lagi menyebut-nyebut anak setan itu saudara saya. Mami menangis lama sekali, dan tidak ada yang tahu kecuali kami berdua.
    "Jangan bilang papimu, ya. Jangan bilang." Itu saja yang ia ucapkan dan saya tidak tahu maksudnya. Besoknya saya terus bertanya pada Mami jangan bilang itu apa? Saya tidak tahu dan harus tahu. Mami menangis lagi, lalu menyeret saya ke belakang dan Maria membuntuti kami.
    "Kamu harus berhenti, Cindy! Kamu sudah besar dan Maria itu saudaramu! Mami yang melahirkannya, tetapi bapaknya setan!"
    Maria bertepuk tangan dan saya mulai menjerit tidak sabar. Mami menyuruh saya berjanji tutup mulut dari Papi dan tidak lagi bicara soal ini. Saya tidak suka Mami ambil gampangnya. Saya tidak mau lagi hidup ini rusak oleh Maria, apalagi anak anjing yang saya dapat dari Papi dalam ulang tahun dua bulan lalu, mulai didekati Maria dengan cara yang sangat mencurigakan.
    Maka Mami putuskan, setelah menyuruh Maria pergi ke depan bermain plastisin, saya boleh tidak bicara atau menyapa anak itu di rumah. Saya juga boleh mengerjakan semua hal yang saya sukai, bermain di luar rumah, atau apa pun itu, tanpa mengajak Maria.
    Dari dulu saya yang menjaga Maria, sekalipun ada pembantu yang menemani kami. Saya tidak bisa menghindar karena Papi selalu bilang, "Itu saudaramu, Nak!" Oh, kali ini tidak. Mami berjanji menyewa seorang penjaga anak agar si gila itu berkutat dengan dunianya tanpa mengganggu dunia orang lain. Papi tidak mungkin menolak. Papi harus setuju.
    Tapi, sebelum penjaga anak itu datang, meski persetujuan Papi sudah kami dapat, Lili lebih dulu mati. Saya menjerit-jerit seorang diri karena tidak ada orang dewasa satu pun, kecuali tetangga yang pemilik mobil itu, yang lantas mengambil inisiatif mengubur Lili di halaman samping rumah.
    Papi dan Mami ke luar kota, urusan bisnis sekalian menjenguk kerabat yang baru saja melahirkan. Papi bilang, "Ini tugas terakhir." Saya membuat catatan apa saja yang bisa kami lakukan (maksudnya, saya dan Lili) setelah Maria jauh dari kami. Sekalipun ia mendekat, saya akan dengan tenang menjauhinya. Anak itu suka sedih dan menangis jika dibenci. Saya tidak sungkan menunjukkan kebencian yang sudah lama ditabung.
    Saya juga tidak sungkan mengatakan pada teman-teman di sekolah, "Maria bukan saudaraku kok. Dia diambil dari jalan waktu masih bayi. Karena papi mamiku baik, Maria diangkat anak, walaupun bodoh dan seperti anak setan. Mungkin memang benar ia anak setan."
    Lalu, daftar-daftar lain membuat tidur saya tidak nyenyak malam itu. Sampai saat Papi dan Mami meninggalkan kami besoknya, dan saya ke kamar mandi untuk pipis, saya tidak sadar rencana saya tidak pernah terwujud.
    Maria ke depan sambil bernyanyi. Ketika saya keluar, anak itu terdengar memekik, "Nah, keluar juga! Keluar juga! Memang betul kok, di sini ada neraka!" Saya ke depan dan tubuh Lili sudah gepeng.
    Tetangga itu memisahkan kami saat saya menggelut Maria dan menjambak rambut anak itu sampai rontok beberapa helai. Rambut itu saya buang ke got dan Maria tidak berhenti menangis satu jam. Beberapa lama kami baru bisa tenang, setelah tetangga ini menelepon Papi untuk menceritakan kejadian aneh pagi tiu.
    Pembantu kami bilang, "Sudah, Non, sudah." Ia bergetar membawa tubuh gepeng Lili sementara anak sulung tetangga kami menggali tanah. Saya jawab Papi dengan 'ya' dan 'tidak' sesuai yang ia harapkan, padahal di dada muncul neraka sendiri. Sebuah neraka yang khusus saya ciptakan untuk Maria.
***
    Sudah seharian Maria ada di gudang. Tidak boleh keluar karena harus membayar mahal atas kematian Lili.
    Mulanya saya bersikap baik seperti sewajarnya seorang kakak. Saya pandangi anak itu makan sereal dan susu dengan rakus dan ingus yang terus mengalir. Begitu dia tidur, saya seret tubuhnya ke gudang dan memerintah pembantu agar tidak macam-macam. Di gudang, Maria saya ikat tangan dan kakinya, sehingga ketika siang ia merasa lapar dan pengaruh obat tidur itu hilang, ia meminta saya suapi.
    Tidak ada yang tahu kejadian ini, tetapi ketika besoknya Maria sudah bebas, serta Papi Mami sudah pulang, anak itu tidak enak badan. Ia menggigil dan dibawa ke rumah sakit. Ia tidak selamat dan mati. Ia dikubur dan saya merdeka.
    Ketika Mami tanya, "Ada apa sih, Nak?", saya bilang: "Ada neraka di kepala Maria. Jadi, Tuhan menghukumnya. Mami bilang Tuhan itu adil, 'kan?"
    Mami tidak menjawab dan menangis. Papi tidak bicara soal ini, sekalipun ia tahu di gudang ada setumpuk plastisin yang seharusnya tertinggal di kamar Maria. Tidak ada yang pernah sudi menyentuh benda aneh itu, lagi pula Maria juga tidak suka ke gudang. Benda lengket itu kini berantakan dan sempal di hampir semua bagian. Merah dan biru campur aduk. Ada botol minyak tanah juga. Benar-benar tugas akhir yang menyenangkan. [ ]

    Gempol, 13 April 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri