Skip to main content

[Cerpen]: "Tragedi Sirkus" karya Ken Hanggara



 (Dimuat di Solopos edisi Minggu, 3 April 2016)

Semalam bocah-bocah tidak langsung pulang. Mereka berbondong ke lapangan bola dekat kelurahan. Ada sirkus, katanya. Tenda warna permen didirikan dan berbagai hewan lucu dipajang, dalam kerangkeng masing-masing, serta tentu saja selebaran dari sisa sore berserakan di sepanjang jalan. Isinya basa-basi: Sirkus keluarga, di lapangan dekat kelurahan. Tiket masuk empat ribu rupiah. Lalu bla-bla-bla soal hewan langka ini-itu, manusia-manusia unik, dan lain sebagainya. Memang itu yang selalu ditulis.
Dendi, anakku yang kelas tiga SD, ikut menonton. Ia lama mendamba gajah dan kuda dan singa dalam satu panggung dan hidup rukun. Di televisi, dunia satwa liar menyajikan tontonan sadistik. Pemangsa versus dimangsa. Darah bercecer dan puncak rantai makanan adalah raja. Kupikir, tidak ada edukasi tayangan itu, karena Dendi takut pergi ke kamar mandi. Takut ada harimau, katanya.

"Di sirkus, harimau tidak galak." Itu yang kubilang. "Semasa Bapak kecil, kira-kira seusiamu, ada sirkus di desa dan seperti sirkus di lain tempat, binatang yang dipakai selalu jinak."
Entah kenapa, tidak lama sesudah ucapan itu, seseorang menyebarkan selebaran yang berisi akan dibuka sirkus malam minggu. Dendi melompat girang. Masa bodoh kera putih langka, masa bodoh manusia karet, dan apa saja; ia hanya ingin tahu, harimau yang di sirkus tidak membunuh satu pun makhluk.
Aku tidak memusingkan. Tenda-tenda warna permen: putih dan merah, motif garis bagai pelangi, demikian yang kuingat, selalu menarik. Lima bulan sekali, dahulu waktu aku masih SD, sirkus sering dibuka dan tontonan layar tancap menjadi tidak gampang menjenuhkan. Maklum saja, televisi pada masa itu masih sangat mahal.
Maka Dendi tidak langsung pulang. Seperti teman-temannya, lepas salat isya di masjid, anak itu ke lapangan dekat keluharan. Bekal jajan sepuluh ribu dari ibunya tentu cukup. Empat ribu buat tiket, sisanya buat jajan. Anak itu akan anteng selama berteman cilok empat ribu rupiah plus es teh seharga sisa uang jajannya. Ibunya juga tidak cemas, malah asyik nonton acara di TV, yang jika ada Dendi tidak bakal bisa nonton. Anak itu menguasai televisi seakan-akan barang itu adalah benda pribadi.
Sirkus dimulai sejak pukul tujuh hingga sembilan malam. Selepas itu, si Dendi pasti buru-buru pulang. Tidak ada acara begadang di jalan raya, dekat tepi sungai yang jika malam memungkinkan memunculkan hantu-hantu keji macam pocong. Anak itu selalu bilang, "Pocong bisa membunuh kita, kayak di televisi." Waktu kubilang, tidak ada yang begitu, dan itu bohongan, Dendi tidak percaya. Aku memang tidak pernah bisa membuktikan kebenaran hantu pocong, sebagaimana kebenaran tentang harimau yang ia saksikan sendiri di sirkus itu.
Demikianlah kesimpulanku. Ibunya tidak cemas, aku juga tidak cemas. Lepas dari nonton sirkus, tanpa disuruh, pasti anak itu balik. Pintu rumah tidak kami kunci, karena jam sembilan malam belum terlalu larut. Aku bisa duduk-duduk di teras, sambil ngobrol dengan tetangga soal apa pun.
Kedatangan sirkus mengukir nostalgia di benakku dan si tetangga. Dahulu, di desa kami, sirkus barang ajaib dan mewah. Barangsiapa tidak nonton, berarti tidak keren. Sekarang mungkin tidak sehebat dulu. Tadi pagi aku lihat truk-truk rombongan sirkus; kelihatan tua dan berkarat. Kemungkinan para pelakonnya kumpulan manusia jarang makan.
Obrolan terus mengalir. Dari soal sepak bola hingga harimau yang dahulu sempat kami takuti karena kabur dari kerangkeng. Sirkus kacau balau dan pimpinannya yang berjas hitam dan bertopi pesulap, digiring ke balai desa, sementara orang-orang sibuk mengejar harimau itu. Nyatanya, sang harimau meringkuk di kandang kambing, takut-takut, tidak melukai siapa pun, karena sudah jinak.
Mengenang itu, membuatku tertawa. Dulu anak-anak tidak bercita-cita lebih dari pemain sirkus, atau bahkan badut konyol yang rela dirinya dilempari buah dan sayur busuk sebagai balasan atas kelucuan. Menjadi bagian rombongan sirkus adalah sesuatu yang hebat bagi kami. Dan, tentu saja, itu belum termasuk bonus melihat gadis-gadis berbadan lentur setiap hari. Gadis-gadis itu punya atraksi khusus: membentuk menara manusia. Ini dambaan bocah sepertiku, yang baru sekali itu melihat hal langka: gadis menjelang dewasa dengan lekuk tubuh menawan.
***
Sampai jam setengah sepuluh malam, Dendi belum balik. Di dekat rumah ada bocah sepantaran Dendi, yang juga ikut nonton. Ia sudah balik lima belas menit lalu dan bilang tidak lihat Dendi di sana. Oh, mungkin jajan dulu, tebak istriku. Tidak ada acara jajan sesudah nonton, kataku. Anak itu pasti tidak betah diam di kursinya, sedang mulut terus menuntut sesuatu untuk dikunyah.
Hingga jam sepuluh, suasana semakin sepi dan Dendi belum muncul di ujung gang. Aku bangkit dan mengambil motor. Kujemput saja, itulah yang kubilang pada istri. Semua tetangga sudah mengunci pintu. Tinggal rumah kami yang belum. Dendi masih di luar.
Mungkin anak itu kemakan bujuk rayu bocah-bocah SMP, yang biasa nongkrong di sungai dan menggoda para PSK. Aku tahu anak-anak bejat itu tidak pernah dipedulikan orangtua. Sudah biasa merokok dan mabuk. Aku cemas Dendi terbujuk dan ikut gabung dalam kebiasaan baru itu. Motor kupacu sekencang mungkin, dan berharap aku belum terlambat.
Ternyata tenda itu belum dibongkar. Rombongan sirkus belum pergi sampai besok lusa. Pada hari keempat, subuh-subuh, baru orang tidak lagi melihat tenda itu menjulang dari jarak berpuluh meter. Tenda itu lumayan besar untuk ukuran lapangan bola kantor kelurahan. Sampai di sini, motorku menepi dan kuperhatikan, anak-anak SMP bejat tadi masih di sana, menggoda gadis-gadis berbaju senam ketat, sehingga tak ada pikiran lain selain kandang harimau di kepalaku.
Dendi benar-benar ingin melihat kuda dan harimau, setidaknya dua jenis hewan itu, berada di satu tempat tanpa saling bermusuhan. Mungkin tadi ia sudah melihat, tetapi agaknya anak itu belum puas. Aku menduga Dendi diam-diam menyelinap ke belakang dan melihat harimau itu dari dekat, di luar kandangnya.
Seorang badut menahanku, karena mencoba menerobos ke area khusus rombongan sirkus. Kukira, di sanalah kandang binatang diletakkan. Kubilang pada badut itu, aku mencari anakku. Ciri-ciri Dendi kusebut dan berharap dia mau membantu. Barangkali anak itu menyelinap demi melihat harimau mereka.
"Oh, nggak ada, Pak," kata badut itu santai. Tusuk gigi menari-nari di tepi bibirnya yang kelam. Sepertinya, ia baru selesai menyantap makan malam. "Tidak ada anak kecil. Semua sudah balik."
"Tapi anak saya tidak pulang!"
"Mungkin ke rumah teman." Badut itu ngeloyor setelah berpesan, aku boleh saja mencari Dendi di mana pun, asal jangan ada yang hilang. Dasar edan. Memangnya siapa mau mencuri? Aku hanya mencari anakku dan tidak ada di dunia ini orangtua waras membiarkan anaknya dicaplok harimau!
Etahlah, aku mendadak berubah pikiran. Dahulu sirkus begitu mewah dan anggota sirkus adalah orang-orang berduit. Kami selalu iri dan bercita-cita kelak kalau kami sudah dewasa, lebih baik menjadi pemain sirkus saja. Tidak perlu sekolah tinggi, tidak perlu belajar matematika dan ilmu pengetahuan alam, dan apa pun yang sungguh bagi kami ketika itu memuakkan di bangku sekolah. Guru-guru yang galak tidak lebih baik ketimbang harimau jinak.
Itu di kepala anak-anak pada masaku, tapi detik ini aku berpikir lain: rombongan sirkus tidak semewah dulu. Mereka terlupakan dan bahkan teringat mencuci mobil box pembawa properti pun tidak. Truk-truk ditutup terpal seadanya, karatan dan mungkin saja ambrol sewaktu-waktu. Sekian banyak anggota sirkus butuh makan dan uang empat ribu per kepala penonton kukira tidak terlalu mencukupi perut mereka di zaman serba duit ini.
Sembari berpikir itu, aku cemas mencari di sela kandang harimau, kuda nil, gajah, zebra, dan entah apa. Bau binatang-binatang ini memuakkan, dan mereka sangat kurus, serta kurang gairah. Melihatku, mata mereka memancarkan cahaya harapan: seakan akulah malaikat maut yang bisa membawa mereka lepas dari jerat menyebalkan dunia sirkus. Bagaimana tidak disebut menyebalkan? Kau tidak mungkin hidup dengan hanya mengandalkan tepuk tangan.
Sampai sepuluh menit, seluruh area 'terlarang' versi badut aneh itu, telah kutelusuri. Tidak ada Dendi. Kupanggil-panggil anak itu dengan panik sampai membikin beberapa angggota sirkus lain datang dan membantu mencarinya. Tidak ada hasil. Aku benar- benar stress.
Kupastikan ke pimpinan sirkus, apakah ada binatang buasnya yang kabur. Oh, kita tidak punya yang buas, Pak, katanya sedih. Kuakui, ia masih lebih manusiawi dari badut edan tadi. Sementara yang lain sibuk mencari Dendi, badut itu duduk bersama seorang pemain trampolin yang kakinya terkilir. Si badut tidak henti menatapku dengan tatapan seakan aku hanyalah pengganggu istirahat mereka.
***
Sampai pagi ini, Dendi belum ditemukan. Tidak ada cara lain, aku kerahkan beberapa tetangga untuk membantu. Siapa tahu anak itu memang ke tempat temannya dan sekalian menginap karena takut pulang sendiri. Di sungai tempat para PSK biasa mangkal, orang-orang juga bersaksi tidak melihat anak-anak SMP bejat itu. Mereka puas menggoda gadis-gadis lentur di tepi lapangan ini sampai jam satu petang.
Jadi, Dendi ke mana?
Istriku sedih bukan main. Dan ia mulai menjerit-jerit seperti orang gila.
Sampai rombongan sirkus itu pergi dan polisi turun tangan, Dendi tidak ditemukan. Sejak itu aku benci sirkus dan apa pun yang dulu kuyakinkan pada anakku untuk tidak dia takuti. Yang paling kubenci tentu badut itu. Ia sering datang ke mimpiku dan membawa Dendi. Anak itu tidak boleh dibawa pulang begitu saja, katanya.
"Ada harga yang harus Bapak bayar," kata badut edan itu lagi.
"Berapa?"
Badut itu bilang, setara kepalamu.
Aku marah dan menampar wajahnya. Ia tertawa dan memasukkan Dendi ke karung, lalu pergi ke dapur. Aku tidak bisa mengejar mereka, karena di pintu dapur itu tertulis: selain pegawai sirkus dilarang masuk!
Gempol, 7 Maret 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri