Skip to main content

[Cerpen]: "Sarmila dan Berita Kematian" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 17 April 2016)

Sarmila tidak ingin ke mana-mana. Bangun tidur, tak mandi. Ke dapur mengaduk kopi, oh, nikmat. Lalu duduk manis di depan TV, ambil remote, pilih program apa saja. Mungkin kartun, mungkin acara musik, atau reality show. Ah, di hari libur barangkali acara gosip tidak libur. Baiklah, banyak pilihan. Ia juga tidak perlu masak. Di kulkas, telur mentah habis. Nasi semalam sudah dimakan. Cukup kirim SMS ke Pak Usman, penjual nasi di seberang jalan, juga sekalian titip sekotak susu cokelat plus beberapa camilan di mini market padanya. Beliau tak keberatan karena Sarmila sudah biasa. Ini hari libur dan ia butuh bermalas-malasan.

"Tidak salah seminggu sekali memanjakan diri," bisik Sarmila pada diri sendiri.
Denting sendok beradu dengan cangkir mengingatkannya pada dengung tawon di kebun belakang. Kebun itu bersisian dengan kuburan. Sarmila sering menutup jendela kamar kontrakan pada hari libur, karena pernah bermimpi diserbu tawon-tawon ganas.
"Tawon-tawon menyerang tanpa lihat situasi kondisi. Mereka mengantup mulai dari kepala, leher, pundak, punggung, dada, perut, hingga pantat dan kemaluan! Ya ampun. Saya ketakutan, Bu. Jadi, tolong pahami." Begitulah suatu kali Sarmila memberi alasan pada induk semang, bahwa ketika ia libur, ia tidak pernah buka jendela-jendela. Bahkan ia pernah seharian menutup pintu rapat-rapat, dan hanya keluar jika mendengar ketukan pintu Pak Usman; titipan makan sebagaimana biasa.
Selesai mengaduk kopi, Sarmila mencari majalah yang kemarin dibeli. Di situ ada koran. Oh, dia lupa dua hari lalu beli koran di bocah kumal. Dilemparnya majalah ke kasur. Nanti dulu, ya, gantian, ucapnya seakan-akan dua jenis bahan bacaan itu adalah bocah mungil di suatu antrean toko mainan. Ia baca koran terlebih dulu, baru majalah, ia putuskan. Lumayan seharian ada teman selain TV. Ia tidak biasa membaca koran, tetapi karena kasihan, ia beli seeksemplar pada penjual kecil yang putus sekolah itu.
"Hmm, berita pembunuhan. Di mana-mana selalu ada orang mati. Di mana-mana, nyawa tidak ada harganya," desisnya.
Ditatapnya lamat-lamat inset—foto kecil di pojok—yang mencetak tampilan tubuh di-blur dalam selokan, tubuh tak bernyawa Mrs. X. Tak terbayang betapa sakit perasaan keluarga yang lihat foto itu, yang lalu menyadari bahwa pakaian bermotif kotak-kotak itu ternyata punya keluarga yang mendadak hilang beberapa hari lalu; bisa ibunya, bisa kakaknya, bisa adiknya, bisa tantenya. Kasihan.
Sarmila membayangkan mayat di foto itu dirinya. Bagaimana kalau aku yang dibunuh? Dirampok? Diperkosa? Amit-amit deh. Sarmila tahu kematian itu pasti, sepasti kotoran yang keluar dari anus. Ia pun bisa saja dibunuh hari ini, bahkan sore sepulang kerja—kalau tidak libur. Untunglah ia baca koran itu saat berada di rumah kontrakan. Jadi, ia tidak terlalu kepikiran.
Kopi masih panas. Sarmila menenteng cangkir di tangan kanan. Tangan kiri pegang gulungan koran yang baru dibaca sekalimat: judul berita memilukan. Ia ambil remote, lalu pilih channel secara asal. Acara musik? Baiklah, ia berjoget sejenak dan menyesap sedikit demi sedikit kopi. Kurang manis? Ia ke dapur, ambil toples sekalian sendok.
"Ya ampun! Gara-gara berita pembunuhan, lupa pesan sarapan!"
Sarmila memekik. Dari dapur, ia ke kamar, raih ponsel untuk SMS Pak Usman. Saat itulah, dari celah sempit jendela kamar yang masih ditutup, Sarmila dengar suara itu. Bulu kuduknya meremang. Ia menyesal membaca berita tidak enak di koran.
Tentu saja, suara itu membuatnya tak akan tidur nyenyak nanti malam. Jelas di kuping Sarmila: bunyi logam beradu tanah, dahak tukang gali kubur, dan sesekali tembang Jawa mengalun lewat siulan khas.
"Siapa yang mati, ya?" Sarmila bertanya sambil mengaduk kopi yang ia tambah beberapa sendok gula. Ia lirik gulungan koran; mengerikan bila dua hal itu bersatu-padu dan membangun suatu mimpi buruk: mayat tanpa KTP plus cangkul menyentak tanah. Meski tahu si penggali bukan membuat lubang peristirahatan buat mayat dalam foto itu, Sarmila biasa berpikir yang tidak-tidak jika dua hal yang jadi ketakutannya berkumpul di waktu yang sama: berita kematian dan suara cangkul menggali kubur.
Misalnya saja pagi ini; ia membayangkan mayat itu bangkit dari kubur pada malam hari untuk mencari pembunuhnya. Dan itu cukup membuat Sarmila menggigil di balik selimut dan tidak berani ke kamar mandi meski kebelet pipis.
Kadang ia ingin protes, tetapi tak tahu ke siapa. Toh, di sini juga menyewa, sendiri pula. Jauh dari keluarga dan untuk bekerja. Ia bahkan tidak ingat pernah punya keluarga. Sarmila, sejak belasan tahun lalu, sudah hidup sendiri dan ia tidak pernah tahu ke mana harus pulang bila lebaran. Jadi, rumah ini seperti rumahnya. Tapi ia benci kamar mandi. Ruang itu berada di balik kuburan. Hanya berbatas tembok. Tak tahu apa yang ada di kepala pemilik rumah sehingga dulu membangun kamar mandi dekat kuburan. Jadilah, sebuah kematian—yang Sarmila dengar—membuat ia menahan diri untuk kencing di malam hari, apalagi berak, selama seminggu.
Sambil membayangkan itu, ia termangu di kursi. Televisi memutar klip terpopuler. Tidak menarik. Ganti saluran yang menayangkan film kartun. Masih tidak menarik. Di kepalanya terbayang nasib Mrs. X dan orang yang meninggal pagi itu, yang entah siapa. Alangkah malang, seseorang mati dan kehilangan identitas. Lalu dibawa ke ruang otopsi, dijadikan bahan pelajaran para mahasiswa. Dibedah, dibolak-balik, diambil organ-organ penting dari tubuhnya. Dan, sesudah itu, dikubur begitu saja tanpa batu nisan. Maka, Sarmila tahu, lubang yang digali di balik kamar mandinya bukanlah untuk mayat tanpa KTP. Paling tidak ia memiliki nama, entah lelaki, entah perempuan. Dan tentu, nama itu cukup dikenal di kawasan sini. Tetapi siapa?
Sarmila berdiri dan jalan mondar-mandir di depan TV. Ia sudah melupakan sarapan, lupa bahwa sebentar lagi nasi di warung Pak Usman sudah habis, dan ia jadi tak makan sampai siang. Ia juga lupa bahwa kopi yang masih tiga per empat gelas itu sudah dingin. Ia juga bahkan tak ingat bahwa gula yang tadi tumpah—saat tangannya sedikit gemetar menuang ke gelas kopi—mengundang semut-semut ke atas meja.
Sarmila menghibur diri, bahwa orang yang meninggal itu adalah orang baik-baik, sehingga kematian membawa ruhnya ke surga. Benarkah? Oh, ia tidak yakin, karena selama ini jarang ibadah dan tidak paham soal agama. Tapi, kalau orang yang meninggal itu jahat, kemungkinan di kuburnya tidak tenang, lalu mayat itu bangkit pada malam hari dan menerkam siapa saja, seperti di film-film horor.
"Sial. Siapa sih yang mati?"
Sarmila kesal. Ia—demi hari libur yang tenang, demi tidur nyenyak selama tujuh malam ke depan—menghapus komitmen bahwa hari ini tidak ke mana-mana. Terpaksa ia keluar dan mencari tahu siapa yang mati. Dari tadi tidak didengarnya pengumuman di mushala ujung gang.
Belum juga tangannya meraih gagang pintu, seseorang mengetuk pintu itu, keras sekali. Duk, duk, duk! Sarmila hampir melempar ponsel, tetapi urung. Ia buka pintu dan seseorang asing berdiri manis.
"Anda siapa?"
"Ikut saya."
"Lho, lho! Mau dibawa ke mana saya?!"
Sarmila panik saat tamu itu menarik tangannya kasar. Ia menjerit-jerit, tetapi para tetangga tidak peduli. Orang-orang di jalanan depan rumahnya tiba-tiba ramai. Beberapa motor parkir. Ada ambulans dan mobil polisi. Sarmila lega, karena mungkin yang mati pagi ini adalah orang penting. Dan biasanya orang penting itu baik. Tetapi, ia tak tahu kenapa orang-orang diam saat tamu asing ini menculiknya?
"Ke mana sih?!" Sarmila gusar. "Bu, Pak, tolong saya! Ada orang gila!"
Orang-orang masih tak peduli dan Sarmila mulai menggigil.
"Ikut saya!"
"Ke mana?!"
"Kuburan!"
Pada saat itu, Sarmila merasa dirinya diserbu tawon-tawon ganas. Dan ia tak tahu dengan apa bisa menghalau saat kepala, leher, pundak, punggung, dada, perut, hingga pantat dan kemaluannya disengat. Karena ternyata, tangannya sudah dirantai dan ia tak bisa melawan. [ ]
Gempol, 2015
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya tersebar di media cetak lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri