(Dimuat di Kedaulatan Rakyat, edisi Minggu, 17 April 2016)
Pelaku penembakan itu sudah
mati, tapi Maria belum bisa hidup tenang dan masih didatangi mimpi
menjengkelkan. Waktu kutanyakan mimpi macam apa itu, ia bercerita tentang
lelaki bertopeng dengan pistol di tangannya. Lelaki itu menunggu setiap orang
di terminal pada malam hari dan membunuh siapa pun yang bisa dibunuh.
"Terminal itu bukan
sembarang terminal. Bus-busnya membawa setan dari neraka. Dan semua bemo berisi
tuyul-tuyul," katanya.
Maria tidak pernah selesai
menceritakan mimpi buruknya, karena pertemuan kami tidak pernah lebih dari
setengah jam. Dan setengah jam itu selalu saja berisi kisah-kisah yang nyaris
sama; bagian cerita yang harusnya telah lama ia selesaikan, tetapi aku tidak
berani memotong atau mengingatkan.
Sebenarnya satu jam adalah
jadwal kunjunganku, tapi setengah jam pertama selalu berlalu sepi. Demikianlah
bagaimana cerita itu selalu berhenti di tengah jalan dan tidak pernah
benar-benar selesai. Setengah jam pertama, Maria diam dan aku tidak punya
apa-apa untuk ditanyakan.
Ketika hari-hari ini ia
berada di sini, segala pertanyaan tidak ada gunanya. Di sini, aku hanya perlu
mendengar apa yang memang ingin Maria ceritakan. Jika ia tidak ingin cerita,
aku tidak memaksa. Ia yang mengundangku. Memastikan alur cerita tidak salah,
karena ia ingin kisahnya terbit menjadi novel.
"Buang semua opini
publik itu. Aku ingin cerita yang datang dari sudut pandangku sendiri,"
itulah kata Maria di saat kami teken kontrak.
Belasan tahun menggeluti
profesi ghostwriter, aku tidak pernah merasa sesulit ini menggali data.
Aku tidak bersikap penuh rasa ingin tahu seperti wartawan. Mereka biar pergi
dari hidupku, kata Maria ketika itu. Aku datang bukan sebagai wartawan dengan
segudang tanya yang mencuat di kepala publik, yang belum tentu benar. Aku
datang sebagai pendengar dan sahabat.
Kadang-kadang Maria
menyambutku dengan membawa boneka babi kecil. Boneka itu ia peluk dan timang,
lalu sekali waktu pernah juga disusui di depanku. Katanya, dia anaknya. Boneka
itu anaknya. Orang jelas menuduhnya sinting sejak lama. Jujur saja, bagiku
Maria tidak sesinting itu. Ia melakukan itu bukan tanpa alasan.
"Anakku tidak berdosa.
Dia dibawa musuhku pergi dan ditembak," katanya suatu malam, di satu
pertemuan kami. Itu terjadi sebelum ia mulai mengaku soal mimpi buruk
menjengkelkan.
Ketika soal mimpi ini
mencuat, Maria bicara lebih banyak. Tidak ada satu kalimat pun luput
membawa-bawa lelaki bertopeng seakan makhluk itu datang dari dunia nyata.
Seakan lelaki itulah yang membunuh anaknya, setelah keluar dari dalam kepalanya
dan mulai mencari hari yang tepat untuk eksekusi. Seakan lelaki itu arwahnya
masih hidup dan bergentayangan di kepala perempuan ini. Padahal semua orang
tahu, penembak itu tidak lain cuma pria berbadan gendut dengan rambut setengah
botak, dan kini sudah jadi makanan belatung di kuburan.
Aku kenal lelaki itu.
Mandor pabrik rokok beristri dua. Otak cabulnya terbukti dari banyaknya koleksi
video tak senonoh yang polisi temukan di ponselnya. Ia memperkosa Maria, buruh
pabrik yang tidak punya siapa-siapa dan tidak bekerja untuk alasan lain,
kecuali agar bisa makan.
Mula-mula kedekatan mereka
terjalin sewajarnya. Maria tidak terlalu sulit bekerja karena kebaikan si
botak, atau orang sebut sebagai sesuatu yang mendasari tujuan sang mandor.
Mereka lumayan dekat sejak keringangan-keringanan diberikan lelaki tersebut
pada Maria. Teman-teman sesama buruh cemburu dan meneror perempuan ini dengan
berbagai upaya.
Mengenang ini, Maria
menangis. Ia ingat bagaimana suatu kali merasa seisi dunia membencinya. Hanya
Pak Mandor yang baik padanya. Suatu malam ia diperkosa dan ia tidak berani
melaporkan kejadian ini. Begitu hamil, ia tidak lagi bekerja, kecuali hidup
dari kiriman uang rahasia sang mandor. Anak itu lahir normal dan sehat, tetapi
nyaris seperti babi kecil—warisan fisik sang bapak yang bisa digolongkan lelaki
kontet.
Mandor tidak mau tanggung
jawab lagi, tapi Maria ingin anak ini dijamin, walau tidak kenal siapa
bapaknya. Sang mandor tidak sudi. Ia kabur dari Maria. Ia nyaris kepergok
cekcok dengan mantan buruh itu oleh sang istri. Ini mendasari penembakan. Bayi
Maria mati dan sejak itu perempuan ini dianggap gila.
Lelaki itu mendapat balasan
setimpal. Ia ditangkap dan dipenjara sesuai ketok palu hakim. Tapi di sel, ia
bunuh diri dan sekarang jasadnya sudah habis dirubung belatung. Maria dibawa ke
penampungan khusus orang-orang sinting yang berbahaya—karena ia pernah membawa
gergaji ke mini market, sambil menggumamkan nama sang mandor,
"Mudakir, Mudakir..." Orang berpikir ia lebih baik dikurung di tempat
khusus.
Suatu hari Maria menelepon,
"Datang ke alamat bla-bla-bla." Ia sebutkan tempat di mana ia
dirawat, dan berkeinginan aku menulis kisah nyata ini agar bisa diterbitkan
dalam bentuk novel.
"Apa yang istimewa
dari ceritamu?" tanyaku. "Ada banyak kejadian. Sebut kenapa aku layak
menulis semua ini."
Tidak ada jawaban selain,
"Kamu tidak tahu bagaimana lelaki busuk itu bisa masuk mimpiku. Lelaki
busuk itu dahulu pernah juga masuk ke mimpiku, tetapi dalam wujud lain. Ia
masuk lewat bawah dan mendekam di perutku sedemikian lama. Aku menikmati saja,
karena toh ia kukenal waktu kecil dulu. Kami berpisah setelah orangtuaku mati
dan ia jadi lebih sukses dari adiknya yang tak berguna ini."
Aku tidak tahu apa cerita
ini patut, tetapi Maria sekali lagi menimang boneka babi tersebut, dan
menatapku seakan baru saja membuang beban besar dari balik tempurung kepalanya.
[ ]
Gempol, 7-4-2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.
Comments
Post a Comment