(Dimuat di Republika edisi Minggu, 17 April 2016)
Orang-orang berkumpul di
masjid pagi itu, menonton seorang ahli ibadah sedang berada dalam posisi sujud
selama lebih dari satu jam. Tentu saja beliau sudah mangkat. Orang
memanggilnya Pak Kodir. Sehari-hari jualan soto di pertigaan dan semua orang
kenal soto ayamnya yang lezat. Jadi, ketika kabar ini merebak, orang-orang pun
berpikir, "Siapa yang jual soto seenak itu lagi, ya?"
Meninggalnya Pak Kodir
segera jadi kabar yang melesat ke segala arah. Tidak ada yang bicara keburukan;
semua kenal beliau baik dan suka memberi makan gelandangan, pengemis, atau
sesekali orang gila. Siapa pun mampir ke warungnya, tetapi tidak bawa uang,
tidak perlu khawatir, karena Pak Kodir bakal memberi seporsi gratis buat Anda
(kalau mau lebih juga boleh). Meski begitu, sotonya laris manis dan beliau
tidak pernah rugi.
"Memberi makan orang
sebanyak itu, kalau saya, wah...ya rugi!" kata Pak Mudakir, penjual gulai
kambing yang warungnya berdiri persis di seberang warung Pak Kodir.
Tapi memang dasarnya Pak
Kodir baik, tindakan ini bukan masalah. Beliau senang karena bisa menghangatkan
perut orang.
"Perut hangat adalah
bagian dari kehidupan, meski kita tidak disuruh untuk hidup dengan
mengenyangkan diri. Maksudnya, makan secukupnya, asal perut kita ini hangat.
Dengan demikian, kehidupan berjalan lancar," begitu kata beliau semasa
hidup.
Pak Kodir meyakini, hidup
bukan untuk makan, tetapi makanlah untuk hidup. Jadi, beliau senang melihat
sesama makhluk hidup bisa bertahan hidup dan tidak kelaparan. Dengan begitu,
mereka yang tidak kelaparan itu memiliki tenaga untuk beribadah. Pak Kodir
kadang-kadang membagikan beberapa mangkuk sotonya gratis. Pernah juga satu hari
hanya laku beberapa mangkuk, sisanya tandas oleh mereka yang tak berduit, dan
beliau pulang dengan senyum mengembang.
Orang tidak heran Pak Kodir
bisa berbuat sebaik ini, tanpa ada yang protes. Istri sudah meninggal beberapa
tahun lalu. Anak-anak? Beliau tidak pernah punya anak. Satu kali menikah, satu
kali perpisahan karena kematian; itulah kisah asmara Pak Kodir yang tidak mencintai
dunia secara berlebih. Ia hanya bahagia hidup di dunia ini karena di sini ia
bisa berbagi.
Begitu hafalnya watak orang
akan tabiat nyaris malaikat dari Pak Kodir, maka tak jarang orang
memanfaatkannya. Pelanggan soto kadang sengaja datang tidak membawa dompet.
Begitu selesai makan, beralasan, "Waduh, Pak, dompet ketinggalan nih!"
Dan Pak Kodir pun
melambaikan tangan, "Santai. Berarti itu rezekimu."
Kadang-kadang ada juga yang
malah secara langsung, tanpa sungkan, menadahkan tangan meminta dua piring nasi
soto karena sangat kelaparan. Pak Kodir pun melayani orang semacam ini
sebagaimana ia melayani mereka yang membayar. Beliau memang tidak pernah
pandang bulu.
Banyak penjual seperti
Mudakir yang heran dan tidak habis pikir; bagaimana bisa ada penjual seperti
Pak Kodir ini? Berjualan adalah cara mereka menyambung hidup, tetapi berjualan
cara Pak Kodir seperti tidak masuk akal. Lagi pula, satu-satunya rezeki beliau
cuma dari jualan soto.
"Beda kalau Pak Kodir
jualan apa gitu di rumahnya, selain soto di warung dekat pertigaan
itu," kata seseorang.
"Dan beda lagi kalau
punya bisnis jualan baju gaul via online," kata yang lain.
Begitu banyak asumsi bahwa
Pak Kodir mungkin punya pesugihan di rumahnya sehingga uangnya selalu
saja ada dan rezekinya seperti mengalir tiada henti. Mungkin beliau membagi
soto secara serampangan agar semua orang menganggapnya orang baik, padahal
aslinya bejat dan senang pergi ke dukun.
Dugaan ini, sayang sekali,
tidak pernah terbukti. Setiap hari Pak Kodir selalu ke masjid. Tidak ada yang
pergi ke masjid sesering beliau. Beliau berjualan soto dari jam delapan pagi
hingga jam dua siang. Dan sisa waktu itu, lebih banyak beliau habiskan di
masjid. Beliau berada lebih lama di rumah apabila sedang tidur atau memasak
soto pada dini hari sebelum azan subuh. Masjid seperti rumah kedua. Ia juga
selalu mengaji dan kadang-kadang menjadi imam salat. Tidak ada ciri orang suka
pergi ke dukun pada diri Pak Kodir.
"Orang seharusnya
tahu, rezeki ini datang dari Allah. Diturunkan dari langit, dan keluar dari
perut bumi. Semua yang kita kerjakan, semua yang kita doakan, selalu ada
balasan yang setimpal," kata Pak Kodir, jika ada yang bercerita bagaimana
orang-orang curiga ia memiliki pesugihan. Pak Kodir tertawa dan istighfar
beberapa kali.
Tentu saja, penjual soto
ini tidak pakai cara salah. Ia berjualan soto seperti biasa; hanya saja orang
tidak tahu ketika setiap kali semangkuk soto yang beliau bagikan pada siapa
pun, selalu kembali sepuluh kali lipat dari nilai laba semangkuknya.
Misal suatu pagi seorang
ibu-ibu turun dari mobil dan memesan sebungkus soto ayam untuk menyambut calon
menantu. Katakanlah ibu tersebut melakukan ini darurat. Ibu ini membayar dengan
uang lebih besar dan pergi setelah mengatakan terima kasih berkai-kali karena
soto Pak Kodir menolongnya keluar dari situasi malu.
Atau pernah juga begini:
Pak Kodir memberi makan bocah pengamen, lalu anak itu bercerita ke semua orang
hingga sampailah cerita kebaikan penjual soto pada seorang pemilik rental
mobil. Orang itu lalu membeli soto beliau dan merasakan sotonya sangat enak. Ia
katakan pada teman-temannya, "Soto ayam di dekat pertigaan itu enak
banget. Cobain saja."
Lalu berbondong-bodonglah,
beberapa hari kemudian, orang-orang yang diketahui sebagai teman pemilik rental
mobil. Karena sotonya enak, mereka memaksa Pak Kodir menerima bayaran lebih
besar.
"Soto ini mengingatkan
masa muda saya," kata salah seorang.
"Soto ini memberi saya
ide bagaimana jadi pengusaha baik, yang dekat dengan Tuhannya," kata orang
kedua.
Begitulah cara 'aneh' yang
Tuhan tunjukkan demi membalas kebaikan seorang Pak Kodir.
Pak Kodir sendiri tidak
pernah berharap balasan mendadak semacam ini dan beliau memberi makan orang
cuma untuk membahagiakan sesama. Uang itu akan beliau olah lagi menjadi soto
dan sebagian ditabungnya untuk sebuah rencana besar: membangun satu masjid di
dekat tempat tinggalnya, sebab masjid yang biasa ia tempati untuk salat dan
mengaji sudah begitu tua dan nyaris roboh. Tidak ada yang inisiatif merenovasi
atau apalah.
Niat ini tidak pernah
terucapkan, kecuali ditulis di sehelai kertas di dalam dompet Pak Kodir. Ketika
beliau meninggal dan di sakunya ditemukan dompet tersebut, orang memeriksa
isinya dan ketahuanlah niat membangun masjid dari tabungan yang dipunyai selama
ini.
Pagi itu menjadi pagi
paling mengharukan; kematian Pak Kodir membuat banyak orang kehilangan dan di
kepala mereka terbayang masjid baru yang pernah dimimpikan seorang penjual
soto. Sebuah masjid dengan kubah putih berkilau, yang di dalamnya selalu penuh
orang-orang beribadah dan berdoa.
Aku sendiri ikut mengurus
jenazah Pak Kodir yang bertubuh lumayan gendut, tapi beliau tidak terasa berat.
Ringan seakan menggotong beberapa keping kayu bakar yang kering. Mudakir juga
mengakui itu dan sadar fenomena macam ini berhubungan dengan perbuatan baik
manusia semasa hidup. Ia menangis sesenggukan karena dulu berburuk sangka pada
Pak Kodir.
"Kukira punya pesugihan.
Malah pernah juga kukira dia bandar togel atau apalah yang tidak halal,"
kata Mudakir pada suatu hari. Aku dengar ia berkata itu dengan wajah merah
padam.
Sekarang, begitu menangis,
Mudakir tidak bisa berucap lain selain istighfar.
***
Tidak butuh waktu lama,
setelah ditemukan mangkat dalam posisi sujud, jasad itu telah diuruk
tanah dan batu nisan telah tertancap dengan tulisan: Pak Kodir bin Jaelani. Di
bawah ada tanggal lahir dan tanggal beliau wafat. Ditulis secara sederhana,
dengan torehan huruf agar berantakan, karena yang menulis itu tidak kuat
menahan tangisnya. Padahal, ia dianggap paling tegar, karena semua yang di sana
tidak bisa menulis lebih baik. Orang-orang gemetar begitu hebatnya, hingga ada
yang tak kuat berdiri.
"Siapa yang jual soto
seenak itu lagi, ya?"
Pertanyaan itu kembali
terngiang selama tujuh hari berturut-turut setelah kematian Pak Kodir. Aku
pelanggan soto ayamnya. Tetapi tidak pernah berbohong dengan bilang dompetku
ketinggalan atau dijambret orang. Aku bawa uang dan membayar soto seperti
sewajarnya. Aku tidak protes kenapa Pak Kodir sering memberi orang yang tidak
dikenal makanan. Bahkan anak jalanan yang berkelompok kadang membawa teman
mereka untuk turut makan.
Aku hanya berkata,
"Bagaimana menata niat itu, Pak?"
Selalu, Pak Kodir
menjawabnya dengan santai, "Kita punya rahasia dengan Allah. Dia mahatahu
dan kita tidak tahu apa-apa, 'kan? Dia sudah tahu apa yang kita niatkan dan
lakukan apa yang menurut Nak Toni baik. Niat tidak perlu diumbar, yang penting
menghasilkan kebaikan buat orang sekitar. Saya kira, itulah cara menata niat. Saya
tidak tahu cara menjelaskannya lebih detil. Maklum, bukan orang pinter.
Hehehe." [ ]
Gempol, 13 April 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.
Kalo baca cerpen kakak jadi ː̗̀☀̤̣̈̇ː̖́S̤̥̈̊є̲̣̥м̣̣̥̇̊ά̲̣̣̣̥йG̲̣̣̣̥α̍̍̊τ̣̣̥ː̗̀☀̤̣̈̇ː̖́ buat nulis....
ReplyDeleteAku suka sekali baca cerpen - cerpen kakak di blog ini.. Hehe
ReplyDeleteMenarik bangets
ReplyDelete