(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 3 April 2016)
Meli seakan turun ke bumi
sebagai malaikat menyaru bocah. Ia kulahirkan setelah hubunganku dan mertua
tidak seharmonis dulu. Tujuh tahun menikahi Mas Yanto, baru aku bisa memberinya
cucu. Tentu saja, Meli bukan cucu pertama, tetapi karena saking telatnya aku
memiliki anak, hari-hari terakhir mertua lebih sering dilalui dengan Meli
ketimbang siapa pun. Anak itu kecil dan lucu. Tidak ada yang membencinya,
sekalipun aku yang melahirkan Meli, yang oleh wanita tua itu tetap dibenci
sampai kapan pun.
Mas Yanto mulai jarang
menyapa ibunya sejak pertengkaran itu. Aku sangat malas menceritakan kejadian
menyakitkan ketika mertuaku bilang aku tidak berguna sebagai istri karena tidak
kunjung memiliki anak dari dahulu, dan sekalinya bisa punya anak, tubuhku
telanjur tidak bugar, kendor, dan mendekati masa menopause.
"Meli tidak bakal
punya adik," katanya. "Coba kalau kamu perempuan baik-baik, sekarang
anakmu banyak dan tidak ada bocah kesepian seperti si Meli!"
Aku diam, meski hatiku
sakit. Tentu saja aku perempuan baik-baik, tidak seperti yang ia tuduhkan.
Mertuaku tidak begitu percaya takdir Tuhan. Ia sering berkata, ketika ada ustaz
yang mengingatkan betapa umur tidak bisa ditebak, jadi semua manusia patut
bersiap diri agar kelak selamat dari api neraka, bahwa: "Belum pernah ada
orang yang sudah pergi ke neraka. Belum ada saksi dan bukti, jadi tidak ada
yang perlu kita takutkan." Ia sungguh tak percaya pada neraka, meski
mengaku mengimani Tuhan.
Mas Yanto memahamiku,
tetapi tidak mertuaku. Ia pusing pada lidah tajam sang ibu, juga keimanan
beliau yang semakin hari semakin menipis. Seharusnya, orang renta lebih dekat
pada Tuhan, begitu keluh suamiku. Aku tidak berkata apa-apa, karena bosan sejak
awal dicela terus oleh mertua. Mungkin saraf yang mengontrol jembatan emosiku kepada
sosok seorang mertua di rumah ini, tidak lagi berfungsi seperti dulu, atau
malah sudah jebol?
Itulah yang membuat Meli
sering bertanya, "Mama dan Oma tidak pernah bicara?" Anak itu
bercerita soal oma dan mama temannya, yang mengantar ke taman wisata pada suatu
ketika. Keluarga itu banyak bicara, sampai tidak terasa dua jam Meli terus
tertawa mendengar lawakan oma dan mama temannya yang kompak.
Meli ingin aku dan omanya
juga kompak. Sedangkan aku dan mertua tidak pernah bisa memenuhi keinginannya.
Tidak mungkin bisa, sejak ia menuduhku pernah aborsi dan segala macam di masa
mudaku dulu, sebelum menjadi menantunya, sehingga kini sulit memiliki anak dan
lain-lain. Tuduhan-tuduhan yang menyakitkan. Semua itu tidak bisa menimbuni
jurang yang ada antara aku dan mertuaku, dengan bergumpal-gumpal cinta dari
bocah bernama Meli. Tidak cukup jurang itu tertimbun oleh cinta yang Meli bagi
untuk kami.
Kendati begitu, Meli yang
lahir dari rahimku menjadi kecintaan omanya, yang sejak bertahun silam
berbaring di tempat tidur karena sebuah penyakit. Tak bisa ke mana-mana, dan
aku yang merawatnya tiap hari, mengganti popoknya, membersihkan tubuhnya dengan
kain handuk direndam air hangat, dan membedakinya agar wangi selalu. Aku
melakukan itu dengan ikhlas, meski kami masih membisu satu sama lain.
Mas Yanto menangis suatu
malam, menyadari baktiku pada mertua yang tidak akan dibalas secara layak oleh
ibunya, mungkin sampai beliau tiada kelak. Kubilang, "Tidak masalah, Mas.
Selama rumah tangga kita utuh, aku lakukan tugasku dengan ikhlas. Lagi pula, Ibu
sudah tidak seperti dulu sejak Meli mulai pintar. Tidak lagi mengomeliku,
'kan?"
Mas Yanto tahu itu. Di hari
Minggu, diam-diam bersamaku, kami mengintip kamar mertuaku. Di sana Meli
membacakan buku cerita yang ia karang sendiri untuk sang oma. Buku tulis itu
penuh dengan kisah fabel luar biasa hasil karya anakku, malaikat yang menyaru
bocah.
Kusebut Meli malaikat
karena ia putih dan suci, dan tidak memikirkan keburukan sang oma yang pernah
sekali waktu ia pergoki menyentakku karena rasa bubur yang kusuapkan tidak
cocok. Mertuaku kalau mencelaku selalu dengan kata-kata kasar yang tidak
lumrah, dan tidak jarang membawa-bawa nama binatang yang buruk seperti anjing
atau babi atau kadal gurun. Itu tidak membuat Meli berubah. Anak itu,
bagaimanapun, tetap suci seperti ketika ia dulu kulahirkan.
Setiap pagi Meli
membangunkan omanya untuk memberinya segelas wedang jahe hangat, yang
kubuatkan. Anak itu bertugas mengantarnya. Dan untuk imbalan karena ia sudah
berbuat pintar, sang oma memberinya hadiah berupa uang lima belas ribu rupiah
untuk beli snack atau permen karamel atau apa pun yang kiranya Meli suka
di sekolah.
Anak itu tidak memakai uang
dari mertuaku untuk membeli jajanan apa pun, bukan karena tidak mau menelan
rezeki dari oma yang pensiunan guru, tapi anak itu memiliki jiwa sosial yang
tinggi. Ia membaginya ke pengemis di jalan, atau pengamen-pengamen cilik yang
bernasib malang dan jadi kawan ngobrol di sepanjang perjalanan pulang dari
sekolah.
Mertuaku menganggap Meli
cucu terbaiknya, karena ada di hari-hari terakhirnya di dunia. Ia begitu yakin
ajal amat sangat dekat, tetapi masih menyangkal seseorang kelak dilempar ke
neraka. Ia meyakini, orang yang tiada akan bergentayangan seperti hantu, atau
kalau tidak: akan lebur sebagai debu dan hilang selamanya di semesta, tak lagi
hidup, dan tak perlu membayar perbuatan semasa hidup di dunia.
Mas Yanto lelah memberi
pengertian yang tepat dan berhenti mengundang ustaz untuk memberi ibunya
wejangan agar dekat pada Tuhan dengan konsep hidup sesudah mati secara lurus.
Di sisi lain, Meli justru
tidak berhenti hadir di saat-saat omanya mulai sesak napas. Anak itu menghambur
dan melompat ke kasur, lalu memeluk omanya yang renta dan kurus, membisikkan
kata-kata penenang sebagai obat. Wanita tua itu tersenyum damai, seakan tidak
melihat betapa di balik mata indah cucunya, tersimpan mataku, menantu yang
selamanya ia benci.
Meli bilang, "Kemarin
aku dapat sembilan, lho."
Omanya memasang wajah
pura-pura terkejut, "Oh, ya?"
"Iya."
Lalu Meli menceritakan
nilai sembilan itu dari pelajaran mengarang dan agama. Ia sangat pandai di dua
bidang itu. Omanya merenung. Begitulah anakku terus bercerita soal surga dan
neraka dan Tuhan yang tak henti mencatat perbuatan makhluk lewat pena malaikat.
Meli terus bercerita di
hari-hari terakhir mertuaku, hingga wajah tua itu tersenyum saat meninggal. Ia
sempat minta maaf dan aku pun begitu. Kami berdamai sebelum ia dijemput. Dan ia
percaya sepenuhnya konsep akhirat seperti apa yang Meli jelaskan. Kiranya
benar, Meli turun ke bumi sebagai malaikat menyaru bocah.
Gempol, 31-03-2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991.Karya-karyanya terbit
di berbagai media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment