(Dimuat di Merah Putih Pos edisi 14/ 28 Maret - 3 April 2016)
1/ Lelaki Kesepian Hatiku terbelah jadi dua dan kini sepotong hatiku hilang entah ke mana. Kucari ke mana-mana, tidak ketemu. Tapi, karena hidup harus terus berlanjut—tidak peduli hatiku tinggal separuh dan itu membuatku merasa tidak sehat—aku bertindak seolah-olah tak ada kejadian yang berarti. Jadi, tidak semua orang tahu hatiku tinggal separuh. Padahal, ini masalah besar, 'kan?
Siapa yang membelah dan mencuri sepotong hatiku? Seandainya kau bertanya itu, sudah, lupakan saja. Aku sendiri berusaha melupakan itu, maksudku, pelakunya. Karena aku lelaki, ia pasti perempuan sepantaranku, yang tahun depan berusia dua puluh enam. Ini bukan kisah menyimpang. Ini kisah biasa saja. Yang menjadikannya berbeda adalah soal hati yang dibelah dan dicuri, sehingga kini aku merasa hidupku tidak lagi sehat.
Apa aku mati? Tidak. Mestinya separuh hati yang tersisa menjadi alasan agar aku hidup—dan aku tak boleh menyangkal, bahwa separuh yang tersisa itu bisa membuatku disebut manusia. Bila tubuhmu tak berhati, bukan lagi kau manusia. Dan, bila tubuhmu tak berhati, kau pun mati. Setuju?
Kulupakan orang yang membelah hatiku dan mencurinya—tepatnya, berusaha aku lupakan, sebab kadang-kadang keluargaku bersikap seakan aku benda mati dan mereka adalah pemilikku yang berhak berbuat apa saja padaku.
Aku akui aku rela pelaku kekejian itu kabur dan hidup dengan siapa saja, mungkin pacar barunya, mungkin suami baru, mungkin seorang pejabat, entah siapa pun. Lalu aku di sini menderita kesakitan yang sangat karena hatiku dibelah dua dan salah satu potongannya dicuri.
Kendati demikian, aku harus mencari separuh hatiku yang hilang atas suatu alasan. Aku harap separuh hatiku kembali biar aku bisa membuka lembar baru tanpa harus sakit. Lembar itu—ah, sial—seharusnya tidak perlu dibahas di sini.
"Bodoh sekali. Kalau aku jadi kamu, aku kabur saja!" kata seorang teman.
"Lho, saya ikhlas kok. Dan saya tidak bisa kabur begitu saja. Saya tidak mau jadi anak durhaka."
"Dasar pengecut."
Aku diam dibilang pengecut, karena memang benar. Aku pengecut mengingat apa dan bagaimana ini bermula. Dulu hatiku retak dan bisa sewaktu-waktu pecah tanpa dibelah. Ketika itulah ia datang, maksudku pelaku pembelahan dan pencurian hati ini. Ia datang seakan-akan menawarkan bantuan.
"Kamu mau hati itu kembali utuh?" Ia berkata.
Itu mustahil; kalaupun bisa, pasti membutuhkan waktu yang sangat lama dan ada risiko besar: kematian.
Tapi dengan telaten, wanita itu membimbingku ke kamar, melepas bajuku, dan meminta izin menambal hati itu dengan lakban bergambar hati warna merah maroon. Mungkin aku salah. Mungkin itu bukan lakban, melainkan plester luka yang ada obat khusus di sana sehingga nanti hatiku bisa kembali sembuh.
"Adanya cuma gambar hati, sih. Tapi nggak apa. Cocok. 'Kan yang ditambal juga hati," katanya seraya membolak-balik beberapa lembar kertas semacam sticker, namun aku tahu benda itulah plester yang dimaksud.
Agak malu juga aku, karena dia sangat cantik dan manis dan pastinya seksi, sedang aku di situ, di kamarnya, dalam kondisi telanjang dada. Darahku berdesiran, sementara dia santai mengambil kotak berisi gunting, lalu memotong plester luka.
Aku gugup dan dia bilang, "Lho, sini. Mau saya obatin, gak?"
Selesai menambal bagian-bagian retak itu—yang kalau tidak salah posisinya ada di sudut kanan atas gumpalan hatiku—juga memakaikan bajuku seperti sediakala, wanita itu menciumi dan memelukku, sambil memohon-mohon agar aku mau jadi pacarnya.
Sejak itulah, tanpa kusadari, sebuah takdir telah dimulai.
2/ Perempuan Berbisa Saya akui saya yang membelah dan mencuri hatinya. Mau bagaimana lagi? Saya telanjur cinta dan tidak rela dia kawin sama perempuan lain. Apa saya dosa? Saya yakin, tidak. Apa kamu terima disebut calon penghuni neraka, padahal kamu kasmaran?
Saya tidak mau banyak mengenang, karena menyakitkan. Dan karena kamu sangat ingin tahu, serta agak memaksa, bolehlah saya cerita sedikit padamu. Jelas saya girang karena berhasil mengobati keretakan hati seorang lelaki. Ia mengaku nyaris mati karena ditinggal pacarnya. Bagi saya itu berlebihan. Masa' ditinggal pacar sampai mau mati? Memang sih, saya belum pernah jatuh cinta sebelumnya, kecuali cinta monyet pada saat SMA, yang mana cinta itu mengajarkan saya bagaimana bermain cinta dengan baik di ranjang, dan ini sama sekali tak berurusan dengan hati.
Wah, kalau bicara ini, jadi ingat bapak tiri saya. Kejam dan jahanam. Saya pernah diperkosa waktu Ibu ke luar kota dan harus nginap di rumah saudara karena suatu acara. Saya kira, sejak itu hati saya kebal. Dan saya menganggap hal-hal mengenai hati dan luka yang ditimbulkan olehnya, adalah omong kosong belaka.
Saya tertawa saja saat lelaki itu—orang yang baru saya kenal itu—mengaku mau bunuh diri sebab ditinggal pacarnya kawin. Lalu saya obati dia dengan tulus, tanpa niat apa-apa. Saya candai dia agar menjadi pacar saya biar tidak kesepian. Tapi anehnya saya merasa bahagia, karena bisa bikin si lelaki itu jauh lebih tenang dan batal bunuh diri—di luar alasan dia menerima candaan saya dan menganggap itu sebagai hal yang serius.
Dia mulai rutin ke rumah saya. Membawa kado-kado dan cokelat dan baju bagus. Dia membuat hati ibu saya yang keras menjadi leleh seperti es batu di tengah lapangan basket pada musim kemarau. Dulu ibu saya es, yang keras dan tidak kenal toleransi. Saya nyaris dibunuh gara-gara sempat kebobolan; hamil sama pacar sebelum lulus. Saya pun berhenti sekolah, tetapi yang malu justru Ibu. Barangkali karena itu, dia jadi sekeras es batu.
Nah, si lelaki yang hatinya saya tambal ini, yang kemudian menjadi pacar saya— benar-benar pacar, bukan main-main seperti niat awal saya—mendobrak pintu hati Ibu yang keras dan menaklukkannya. Ibu dapat bingkisan-bingkisan juga, seperti perhiasan dan sandal baru. Bahkan, ibu saya juga dibelikan kerudung. Meski sejak dulu menolak pakai kerudung, hari itu Ibu berjanji mau pakai terus sampai mati.
Barangkali karena itu...
Saya tidak tahu hati saya yang kebal pergi ke mana? Kok mendadak ganti menjadi hati yang perasa? Apa diam-diam lelaki itu datang ke kamar saya dan menuangi hati saya dengan air hangat—selama sebulan berturut-turut sejak saya obati hatinya, hingga lama kelamaan hati saya juga menjadi normal; menjadi hati yang peka dan perasa?
Saya tidak tahu, tapi yang jelas saya merasa candaan itu menjadi kenyataan. Maka, begitulah bagaimana saya bisa cinta padanya dan lelaki itu juga cinta kepada saya. Lalu kami putuskan kami menikah. Dia tidak peduli walaupun saya bukan lagi perawan dan pernah ditiduri banyak orang dalam sepuluh tahun terakhir.
"Apa sih yang bikin kamu nekat?" tanya saya.
Dia tersenyum dan bilang, kalau ini bukan soal nekat tidaknya, tapi semata soal hati. Berkat saya, katanya, hatinya kembali utuh dan ia yakin itu modal yang bagus bagi kami membina rumah tangga.
Sayangnya, ya, cukup di sini saja aku cerita. Agaknya kelewat banyak kubeberkan padamu. Jadi, tolong, berhenti memaksa dan bertanya-tanya kenapa aku tega membelah dan mencuri separuh hatinya!
3/ Ibu yang Hatinya Luluh
Katanya sih, anakku mau dilamar. Ini serius? Aku bilang, anak saya itu pelacur, lho. Kamu yakin? Si bocah mengangguk mantap. Mau bagaimana? Kendati aku berusaha terlihat kurang yakin, toh—karena alasan ekonomi dan perbaikan kualitas mental, serta tentu: harapan agar anakku satu-satunya taubat—aku luluskan saja permintaannya. Kubilang, "Jadi suami yang baik. Ingatkan kalau anak saya kumat."
Tapi, yah, rencana tinggal rencana. Semua berantakan setelah kedatangan pemuda itu. Dari malam ke malam teror terus mendatangiku. Ada yang kirim kado isinya kodok mati. Ada yang kirim paket isinya kain kafan. Dan lain sebagainya.
Tidak tahu siapa yang kirim, tetapi kemudian—di hari kelima—ada surat kaleng. Di situ tertera ancaman bahwa aku harus melarang anakku dekat-dekat lagi dengan anak mereka. Oh, paham. Aku sadar. Aku tahu anakku sudah tidak beres dari awal. Gara-gara mantan suamiku yang gila, yang memperkosa anakku sampai tidak bisa disebut gadis. Keluyuran ke mana-mana jadi jadwal harian sampai hamil dan kusuruh stop sekolah. Ia gugurkan janinnya dan bekerja di tempat maksiat. Segala cerita pahit itu aku telan. Dan kini, pada akhirnya, tidak ada cerita manis apa pun, meski harapan itu sempat kurasa.
Aku ikhlas kalau memang tidak jadi dapat menantu alim dan kaya. Dan karena teror itu terus datang, mau tidak mau kuajak anakku pindah. Malam itu, sebelum kami berangkat, ia izin pamit. Pacarku kasihan, Bu, katanya mengiba, biar kami ciuman dulu sebelum dia jadi istri orang.
Oke, tapi cepat-cepat balik, kataku. Ketika pulang, sekantung keresek ia lempar ke kasur, lalu ia menangis. Apa lagi sih, tanyaku. Dia tidak jawab dan kuhirup bau amis di mana-mana. Kupastikan itu dari keresek yang entah isinya apa. Sewaktu kubuka, kulihat separuh hati manusia di situ, separuh gumpal hati yang segar dan berlumur darah, yang di bagian sudut kanan atasnya ditempeli plester luka dengan gambar hati warna merah maroon.
"Hati siapa, Nak?" tanyaku.
"Hati kodok!"
Dan kami pun pergi malam itu, sementara anakku tidak henti menangis sepanjang malam yang tersisa. [ ]
Gempol, 13 Maret 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di di berbagai media lokal dan nasional.
1/ Lelaki Kesepian Hatiku terbelah jadi dua dan kini sepotong hatiku hilang entah ke mana. Kucari ke mana-mana, tidak ketemu. Tapi, karena hidup harus terus berlanjut—tidak peduli hatiku tinggal separuh dan itu membuatku merasa tidak sehat—aku bertindak seolah-olah tak ada kejadian yang berarti. Jadi, tidak semua orang tahu hatiku tinggal separuh. Padahal, ini masalah besar, 'kan?
Siapa yang membelah dan mencuri sepotong hatiku? Seandainya kau bertanya itu, sudah, lupakan saja. Aku sendiri berusaha melupakan itu, maksudku, pelakunya. Karena aku lelaki, ia pasti perempuan sepantaranku, yang tahun depan berusia dua puluh enam. Ini bukan kisah menyimpang. Ini kisah biasa saja. Yang menjadikannya berbeda adalah soal hati yang dibelah dan dicuri, sehingga kini aku merasa hidupku tidak lagi sehat.
Apa aku mati? Tidak. Mestinya separuh hati yang tersisa menjadi alasan agar aku hidup—dan aku tak boleh menyangkal, bahwa separuh yang tersisa itu bisa membuatku disebut manusia. Bila tubuhmu tak berhati, bukan lagi kau manusia. Dan, bila tubuhmu tak berhati, kau pun mati. Setuju?
Kulupakan orang yang membelah hatiku dan mencurinya—tepatnya, berusaha aku lupakan, sebab kadang-kadang keluargaku bersikap seakan aku benda mati dan mereka adalah pemilikku yang berhak berbuat apa saja padaku.
Aku akui aku rela pelaku kekejian itu kabur dan hidup dengan siapa saja, mungkin pacar barunya, mungkin suami baru, mungkin seorang pejabat, entah siapa pun. Lalu aku di sini menderita kesakitan yang sangat karena hatiku dibelah dua dan salah satu potongannya dicuri.
Kendati demikian, aku harus mencari separuh hatiku yang hilang atas suatu alasan. Aku harap separuh hatiku kembali biar aku bisa membuka lembar baru tanpa harus sakit. Lembar itu—ah, sial—seharusnya tidak perlu dibahas di sini.
"Bodoh sekali. Kalau aku jadi kamu, aku kabur saja!" kata seorang teman.
"Lho, saya ikhlas kok. Dan saya tidak bisa kabur begitu saja. Saya tidak mau jadi anak durhaka."
"Dasar pengecut."
Aku diam dibilang pengecut, karena memang benar. Aku pengecut mengingat apa dan bagaimana ini bermula. Dulu hatiku retak dan bisa sewaktu-waktu pecah tanpa dibelah. Ketika itulah ia datang, maksudku pelaku pembelahan dan pencurian hati ini. Ia datang seakan-akan menawarkan bantuan.
"Kamu mau hati itu kembali utuh?" Ia berkata.
Itu mustahil; kalaupun bisa, pasti membutuhkan waktu yang sangat lama dan ada risiko besar: kematian.
Tapi dengan telaten, wanita itu membimbingku ke kamar, melepas bajuku, dan meminta izin menambal hati itu dengan lakban bergambar hati warna merah maroon. Mungkin aku salah. Mungkin itu bukan lakban, melainkan plester luka yang ada obat khusus di sana sehingga nanti hatiku bisa kembali sembuh.
"Adanya cuma gambar hati, sih. Tapi nggak apa. Cocok. 'Kan yang ditambal juga hati," katanya seraya membolak-balik beberapa lembar kertas semacam sticker, namun aku tahu benda itulah plester yang dimaksud.
Agak malu juga aku, karena dia sangat cantik dan manis dan pastinya seksi, sedang aku di situ, di kamarnya, dalam kondisi telanjang dada. Darahku berdesiran, sementara dia santai mengambil kotak berisi gunting, lalu memotong plester luka.
Aku gugup dan dia bilang, "Lho, sini. Mau saya obatin, gak?"
Selesai menambal bagian-bagian retak itu—yang kalau tidak salah posisinya ada di sudut kanan atas gumpalan hatiku—juga memakaikan bajuku seperti sediakala, wanita itu menciumi dan memelukku, sambil memohon-mohon agar aku mau jadi pacarnya.
Sejak itulah, tanpa kusadari, sebuah takdir telah dimulai.
2/ Perempuan Berbisa Saya akui saya yang membelah dan mencuri hatinya. Mau bagaimana lagi? Saya telanjur cinta dan tidak rela dia kawin sama perempuan lain. Apa saya dosa? Saya yakin, tidak. Apa kamu terima disebut calon penghuni neraka, padahal kamu kasmaran?
Saya tidak mau banyak mengenang, karena menyakitkan. Dan karena kamu sangat ingin tahu, serta agak memaksa, bolehlah saya cerita sedikit padamu. Jelas saya girang karena berhasil mengobati keretakan hati seorang lelaki. Ia mengaku nyaris mati karena ditinggal pacarnya. Bagi saya itu berlebihan. Masa' ditinggal pacar sampai mau mati? Memang sih, saya belum pernah jatuh cinta sebelumnya, kecuali cinta monyet pada saat SMA, yang mana cinta itu mengajarkan saya bagaimana bermain cinta dengan baik di ranjang, dan ini sama sekali tak berurusan dengan hati.
Wah, kalau bicara ini, jadi ingat bapak tiri saya. Kejam dan jahanam. Saya pernah diperkosa waktu Ibu ke luar kota dan harus nginap di rumah saudara karena suatu acara. Saya kira, sejak itu hati saya kebal. Dan saya menganggap hal-hal mengenai hati dan luka yang ditimbulkan olehnya, adalah omong kosong belaka.
Saya tertawa saja saat lelaki itu—orang yang baru saya kenal itu—mengaku mau bunuh diri sebab ditinggal pacarnya kawin. Lalu saya obati dia dengan tulus, tanpa niat apa-apa. Saya candai dia agar menjadi pacar saya biar tidak kesepian. Tapi anehnya saya merasa bahagia, karena bisa bikin si lelaki itu jauh lebih tenang dan batal bunuh diri—di luar alasan dia menerima candaan saya dan menganggap itu sebagai hal yang serius.
Dia mulai rutin ke rumah saya. Membawa kado-kado dan cokelat dan baju bagus. Dia membuat hati ibu saya yang keras menjadi leleh seperti es batu di tengah lapangan basket pada musim kemarau. Dulu ibu saya es, yang keras dan tidak kenal toleransi. Saya nyaris dibunuh gara-gara sempat kebobolan; hamil sama pacar sebelum lulus. Saya pun berhenti sekolah, tetapi yang malu justru Ibu. Barangkali karena itu, dia jadi sekeras es batu.
Nah, si lelaki yang hatinya saya tambal ini, yang kemudian menjadi pacar saya— benar-benar pacar, bukan main-main seperti niat awal saya—mendobrak pintu hati Ibu yang keras dan menaklukkannya. Ibu dapat bingkisan-bingkisan juga, seperti perhiasan dan sandal baru. Bahkan, ibu saya juga dibelikan kerudung. Meski sejak dulu menolak pakai kerudung, hari itu Ibu berjanji mau pakai terus sampai mati.
Barangkali karena itu...
Saya tidak tahu hati saya yang kebal pergi ke mana? Kok mendadak ganti menjadi hati yang perasa? Apa diam-diam lelaki itu datang ke kamar saya dan menuangi hati saya dengan air hangat—selama sebulan berturut-turut sejak saya obati hatinya, hingga lama kelamaan hati saya juga menjadi normal; menjadi hati yang peka dan perasa?
Saya tidak tahu, tapi yang jelas saya merasa candaan itu menjadi kenyataan. Maka, begitulah bagaimana saya bisa cinta padanya dan lelaki itu juga cinta kepada saya. Lalu kami putuskan kami menikah. Dia tidak peduli walaupun saya bukan lagi perawan dan pernah ditiduri banyak orang dalam sepuluh tahun terakhir.
"Apa sih yang bikin kamu nekat?" tanya saya.
Dia tersenyum dan bilang, kalau ini bukan soal nekat tidaknya, tapi semata soal hati. Berkat saya, katanya, hatinya kembali utuh dan ia yakin itu modal yang bagus bagi kami membina rumah tangga.
Sayangnya, ya, cukup di sini saja aku cerita. Agaknya kelewat banyak kubeberkan padamu. Jadi, tolong, berhenti memaksa dan bertanya-tanya kenapa aku tega membelah dan mencuri separuh hatinya!
3/ Ibu yang Hatinya Luluh
Katanya sih, anakku mau dilamar. Ini serius? Aku bilang, anak saya itu pelacur, lho. Kamu yakin? Si bocah mengangguk mantap. Mau bagaimana? Kendati aku berusaha terlihat kurang yakin, toh—karena alasan ekonomi dan perbaikan kualitas mental, serta tentu: harapan agar anakku satu-satunya taubat—aku luluskan saja permintaannya. Kubilang, "Jadi suami yang baik. Ingatkan kalau anak saya kumat."
Tapi, yah, rencana tinggal rencana. Semua berantakan setelah kedatangan pemuda itu. Dari malam ke malam teror terus mendatangiku. Ada yang kirim kado isinya kodok mati. Ada yang kirim paket isinya kain kafan. Dan lain sebagainya.
Tidak tahu siapa yang kirim, tetapi kemudian—di hari kelima—ada surat kaleng. Di situ tertera ancaman bahwa aku harus melarang anakku dekat-dekat lagi dengan anak mereka. Oh, paham. Aku sadar. Aku tahu anakku sudah tidak beres dari awal. Gara-gara mantan suamiku yang gila, yang memperkosa anakku sampai tidak bisa disebut gadis. Keluyuran ke mana-mana jadi jadwal harian sampai hamil dan kusuruh stop sekolah. Ia gugurkan janinnya dan bekerja di tempat maksiat. Segala cerita pahit itu aku telan. Dan kini, pada akhirnya, tidak ada cerita manis apa pun, meski harapan itu sempat kurasa.
Aku ikhlas kalau memang tidak jadi dapat menantu alim dan kaya. Dan karena teror itu terus datang, mau tidak mau kuajak anakku pindah. Malam itu, sebelum kami berangkat, ia izin pamit. Pacarku kasihan, Bu, katanya mengiba, biar kami ciuman dulu sebelum dia jadi istri orang.
Oke, tapi cepat-cepat balik, kataku. Ketika pulang, sekantung keresek ia lempar ke kasur, lalu ia menangis. Apa lagi sih, tanyaku. Dia tidak jawab dan kuhirup bau amis di mana-mana. Kupastikan itu dari keresek yang entah isinya apa. Sewaktu kubuka, kulihat separuh hati manusia di situ, separuh gumpal hati yang segar dan berlumur darah, yang di bagian sudut kanan atasnya ditempeli plester luka dengan gambar hati warna merah maroon.
"Hati siapa, Nak?" tanyaku.
"Hati kodok!"
Dan kami pun pergi malam itu, sementara anakku tidak henti menangis sepanjang malam yang tersisa. [ ]
Gempol, 13 Maret 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di di berbagai media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment