(Dimuat di Sumut Pos, Minggu, 20 Maret 2016)
Imo menangis menjerit-jerit seperti anak sinting pagi itu. Saya tidak
tahu siapa si brengsek yang mengajarinya bahwa seorang bapak tidak lebih baik
dari pamannya. Dia benar-benar tidak mau saya antar ke sekolah setelah tahu
dari ibunya bahwa sang paman baru saja pulang.
"Kenapa nggak pamit sih?! Imo pokoknya nggak mau ke
sekolah kalau nggak diantar Paman!"
rengek anak itu.
Benar-benar habis kesabaran saya. Setelah menjerit-jerit soal pamannya,
yang begitu saya benci sejak lama, Imo mulai menagih hadiah yang pernah saya
janjikan padanya: robot
mainan yang bisa bergerak-gerak sendiri. Yang dimaksud tentu saja robot
berteknologi remote control.
Tanpa perlu memberitahunya bahwa saya belum punya uang, dan tentu saja
bahwa tadi saya sempat menolak uang
pemberian adik ipar saya—pamannya yang tercinta itu—saya sambar tangan Imo dan saya tampar dia.
Istri saya menjerit juga setelah diam kaku bagai patung selama dua menit pertama. Lihat, sekarang
posisi saya serba sulit. Anak membela paman dan istri membela anak. Siapa yang
membela saya?
Sebagai kepala keluarga, saya tersinggung karena Imo bilang lebih suka
diantar ke sekolah oleh Paman karena dia selalu bersih dan wangi. Malu sama Bapak, kata anak itu selalu, karena Bapak tidak pernah mandi dan
jelek.
Kemarin-kemarin saya masih bisa
bersabar. Saya biarkan ipar saya yang laknat itu mengajak Imo jalan ke
mana pun anak itu mau:
supermarket, taman bermain, toko olahraga yang menjual kaus sepakbola klub kesayangannya, dan lain-lain. Dan
saya biarkan pula setengah perhatian istri tersita padanya karena dia tamu
jauh. Dan seorang beragama memang sepatutnya memperlakukan tamu dengan mulia,
bukan?
Hanya saja, berkat ipar saya
itu Imo yang lucu
berpotensi tumbuh jadi bocah durhaka. Memang pantas saya anggap ipar ini
laknat. Lagi pula, di belakang ia tidak
menghormati saya. Walau pengangguran, tentu saya pantas ia hormati, bukan malah dilecehkan. Dan saya tahu
kebaikan-kebaikannya di depan saya selama ini hanyalah topeng.
Itulah alasan saya menyuruhnya pulang lebih awal. Tidak usah memberi
hadiah lagi untuk Imo. Saya bapaknya. Saya bisa membuat anak itu bahagia tanpa
dandanan klimis dan tanpa bau wangi serta tentu saja tanpa kendaraan mewah yang
membuat hati lugu Imo ternoda.
Saya yakin anak itu mencintai
sang paman lebih dari saya, bapak kandungnya sendiri, adalah karena mobil dan
hadiah-hadiah. Ipar tidak tahu diri. Dulu saya bantu dia bayar uang sekolah,
waktu saya masih kerja dan mapan. Kini kebangkrutan membuat saya tidak berdaya
dan tidak diakui.
Roda hidup berputar seratus
delapan puluh derajat tanpa saya mau. Giliran saya di bawah. Dan adik ipar itu
di atas. Saya senang mulanya. Kunjungan-kunjungan awalnya kemari, beserta
perkenalannya dengan Imo yang masih kelas satu SD waktu itu, tidak ada yang
aneh. Hanya saja, tiga tahun berlalu, Imo mulai berani membantah. Dan ini
biasanya terjadi setelah kedatangan adik ipar saya.
Saya tahu ia sukses karena
usahanya sendiri. Istri saya tidak pernah mau meminta bantuannya, walau jelas
utang kami menumpuk. Ia bisa menjaga harga diri saya sebagai suami. Tapi
adiknya, setelah tahu saya tidak mungkin bangkit, bukan menghormati sebagai
bentuk balas budi, malah menjatuhkan saya di mata Imo.
Tidak sekali dua kali saya
dengar bisik-bisik mereka soal mobil. Katanya pada Imo, "Bapakmu mana bisa
beli begini? Paling cuma gerobak. Nanti Paman saja yang antar." Bagaimana
tidak sakit hati? Istri saya juga tahu, tapi menganggap mungkin adiknya itu
bercanda. Dari dulu dia suka bercanda; saya tahu. Tetapi saya tidak bodoh. Saya
bisa bedakan mana yang bercanda murni dan melecehkan.
Karena adik ipar tinggal jauh
di luar kota, setiap kunjungannya ke rumah selalu tidak kurang dari seminggu.
Dan selama itu dia selalu mengantar jemput Imo ke sekolah. Bisa dibayangkan
bagaimana cerahnya hati anak itu. Kalau biasanya ia selalu murung karena saya
bonceng pakai sepeda kayuh, ketika berubah jadi mobil mewah, anak itu bergaya
seperti sudah bisa cari uang sendiri.
"Ini mobil
bapakku," katanya mula-mula.
Lalu, anak-anak lain
menjawab, mana bisa bapakmu beli begitu. Iya, mana bisa, kata yang lain.
Suara-suara ragu saling bersahutan. Dan ini yang membuat saya sakit hati: Imo
lalu mengaku bahwa lelaki klimis yang tinggi dan ganteng itulah sebenarnya
bapak kandungnya.
Bagaimana saya tahu omongan
itu adalah dari satpam sekolah, yang dulu teman karib saya. Dia bercerita
banyak soal gaya Imo di sekolah kalau sang paman menginap. Macam-macam cerita
yang kiranya membikin teman-teman sekelas cemburu, dia bawa ke sana. Dia
tumpahkan juga berbagai mainan—kecuali robot remote control,
tentunya, karena benda itu hanya bisa dibeli di luar kecamatan tempat kami
tinggal—sehingga setiap anak cemburu. Anak itu menjadi
pribadi yang suka pamer.
Saya nasihati Imo. Ia
membantah bahwa Bapak tidak usah melarang-larang karena yang beli itu semua
adalah Paman. Dan ini untuk Imo. Bukan urusan Bapak, yang tidak bisa membelikan
bahkan satu buah pun layang-layang.
Saya sungguh sakit hati. Anak
ini masih kecil, tapi bicaranya pedas sekali. Saya kira, Imo menjadi manusia
tidak tahu aturan suatu saat nanti kalau dibiarkan. Jadi, benar adik ipar itu
laknat. Harga diri saya, juga masa depan anak saya, benar-benar rusak di
tangannya. Teman saya yang satpam itu hanya bisa mengelus dada prihatin. Dia
tahu saya lama menganggur dan tidak bicara apa-apa. Mungkin takut menyinggung
perasaan saya.
Imo mulai melangkahi saya
ketika saya makan. Ia juga tidak pernah lagi mencium tangan saya sebelum
berangkat sekolah. Istri saya tidak jarang menegur anak itu sampai dua-tiga
kali agar pamit pada Bapak, tapi Imo bilang, "Tidak usah. Bapakku di
sana." Dan saya lihat senyum samar sang paman di sisi mobil mewah yang
akan mereka naiki.
Akhirnya saya tidak tahan.
Saya bicara empat mata dengan
istri dan meminta sikap tegas darinya kepada sang adik. Saya masih membatasi
diri untuk tidak menegur ipar itu secara langsung. Takut tidak bisa menahan
emosi dan malah saya hajar dia. Saya tidak mau dipenjara.
Tapi istri juga sungkan.
Nanti dulu, katanya mencari alasan. Selalu. Bilang saja tidak sanggup menegur,
kata saya marah. Kalau memang begitu, tidak usah lagi adiknya datang kemari dan
mengingap dan merusak hati suci bocah delapan tahun macam Imo. Bila saya
biarkan adiknya menginap lagi dan lagi di sini, mau jadi apa saya ini? Mau
dibuang?
"Masih kecil sudah bisa
pilih-pilih!" kata saya lalu menjambak rambut anak itu.
Istri masih membela Imo,
tetapi tidak berani melihat wajah garang saya. Ia hanya mundur-mundur dan
mengambil tas Imo yang jatuh.
Saya kira, tidak ada di dunia
ini yang berani merendahkan saya sebagaimana Imo dan pamannya. Anak itu
menjerit-jerit dan mengeraskan suaranya seperti anak sinting, karena si paman
sudah pulang tanpa pamit. Tidak ada lagi mobil mewah. Tidak ada lagi mainan.
Istri sempat membujuk Imo agar mau saya antar ke sekolah seperti biasa kalau
tidak ada Paman, "Minggu depan pamanmu balik kok," katanya.
Saya bantah, "Tidak
balik! Pamanmu sudah mati di rumahnya sana. Dikubur dan tidak ada yang datang
ke kuburannya karena dia orang jahat!"
Imo menolak. Ia bilang,
sayalah yang jahat karena memisahkannya dari kebaikan seorang paman, juga jenis
kebahagiaan yang tidak pernah saya berikan padanya selama ini. Kata-kata ini
tidak bisa ditoleransi. Harga diri saya benar-benar rontok tak bersisa. Saya
bawa anak itu ke kebun belakang dan semua tetangga melihat keributan tanpa ada
yang berani bertindak.
Biar, biar semua orang tahu
betapa saya sakit hati dan betapa saya masih punya harga diri. Dulu saja saya
kerja lebih keras hanya agar adik ipar itu bisa sekolah sampai beres. Sekarang,
saat dia di atas, saya direndahkan dan dibuat kalah di mata Imo. Anak ini
harusnya melihat dunia sebagai hitam putih saja. Tidak perlu ada pelangi yang
ipar saya sajikan dalam berbagai kemewahan duniawi.
Saya tahu, saya pengangguran
dan tidak bekerja apa-apa selain mendapat upah dari membetulkan genteng
tetangga atau membersihkan rumput liar di berbagai tempat. Apa saja yang bisa
saya kerjakan sebagai lelaki, saya pasti kerjakan—selama itu halal.
Dan kini Imo tidak menghargai saya, bapak kandungnya. Semua gara-gara ipar itu.
Istri saya meraung-raung
ketika Imo terikat sempurna di pohon jambu di belakang rumah. Anak itu
menjerit. Saya menampar dan menjambaknya. Berkali-kali seperti tak jera. Ia
mula-mula mengatai saya tidak bisa beli mobil kecuali gerobak jelek. Lalu, saya
dengar yang lebih serius: tidak pernah mandi dan seperti orang gila.
Demikianlah Imo semakin menaikkan level kebenciannya selama ini—yang saya yakin turut ditanamkan ipar saya yang laknat tadi—yang diam-diam mereka wujudkan dalam paduan kosakata memuakkan dan simpan
di belakang saya.
"Sudah, Pak.
Sudah!"
Istri saya memohon-mohon.
Setelah beberapa tamparan, Imo lemas dan darah mengucur dari bibirnya. Saya
mungkin tidak akan berhenti dan nyaris kalap mengambil pisau kalau warga tidak
segera mencegah. Pak RT datang dengan segala ceramahnya dan tentu saja saya
tidak bisa ke mana-mana karena warga langsung mengikat saya erat, jauh lebih
erat ketimbang ikatan untuk Imo.
Anak itu dibebaskan dan
dibawa ke Puskesmas tidak lama kemudian; dia masih hidup. Tetapi saya tahu,
sejak hari itu, tidak ada lagi kelengkapan di rumah kami seperti dulu. Tidak
ada lagi satu anggota keluarga di rumah, karena dia mati tidak lama setelah
ini. Dia benar-benar mati akalnya.
Setahu saya, esok hari adalah
gelap. Dan nyamuk-nyamuk di gubuk bekas kandang kambing amatlah ganas. Saya
tidak tahu sampai kapan orang memasung saya di sini. Itu tidak penting. Selama
ipar saya tidak balik dan membawa Imo pergi ke luar kota, saya tidak akan
mengamuk dan meronta bagai banteng yang bernafsu menanduk perut siapa pun. Coba
saja kalau berani. [ ]
Gempol,
24 Februari 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.
Comments
Post a Comment