Skip to main content

[Cerpen]: "Cita-cita Terakhir Mudakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Buletin Jejak vol.60/Maret 2016)

    Sering kali cita-cita terlambat datang. Mudakir punya cita-cita baru sepulang dari rumah dokter. Dulu waktu duduk di bangku kelas dua SD, dia bercita-cita jadi seorang anggota dewan, dan itu kesampaian. Belum cukup di situ; juru ceramah juga ia impikan, dan kesampaian. Mudakir juga mau jadi dokter gigi, dan kesampaian. Alangkah banyak cita-cita kecil Mudakir yang kesampaian, sehingga cerita ini agak melenceng, karena harus menyinggung cita-cita di masa tua.
    Cita-cita sejati, demikian namanya, adalah yang datang di masa tua.
    Mudakir tidak tua-tua amat sebetulnya. Kepala empat permulaan. Istri cantik dan awet muda. Dua anak gadis; cantik-cantik mirip ibunya. Rumah besar ada empat; dua di dalam negeri, sisanya di negeri orang. Kekayaan, kehormatan, dan keluarga harmonis, semua ia miliki.
    Tidak ada di dunia ini yang tidak bisa Mudakir capai.
    Tentu saja, itu diwujudkan dengan usaha keras. Mudakir tidak suka pakai dukun atau tradisi sogok menyogok. Dunia selalu menawarkan kemungkinan itu dan ia selalu menolak. Baginya, hasil yang baik hanya bisa dicapai dengan cara yang baik.
    "Percuma istri cantik, tapi tidak rela," katanya percaya diri. Maksudnya 'percuma istri cantik tapi hasil guna-guna'. Bukankah yang begitu itu bukan cinta sejati?
    Mudakir tidak ganteng; ia sadar itu dan tidak sekali pun terpikir operasi plastik di Korea sana demi memperbaiki pemandangan orang-orang di sekitarnya, atau tidak sudi pergi ke dukun demi menggadaikan keimanan. Yang bisa Mudakir perbuat sejak muda adalah: belajar dan bekerja keras.
    Demikianlah maka ia rebut hati Nancy, kembang sekolah yang ia sukai sejak SMP. Nancy anak konglomerat, tetapi karena Mudakir berprestasi dan pintar mencari uang sendiri, siapalah saingan yang bisa mengalahkan? Calon mertua kagum seratus persen. Kalau boleh seribu persen, tetapi tidak ada yang namanya seribu persen, begitu canda mereka selalu. Mudakir dan Nancy pun menikah dan dilimpahi kebahagiaan.
    Tidak ada KKN, tidak ada dukun. Semua berjalan sebagaimana anjuran agama dan buku tata cara meraih sukses paling best seller pada masa itu.
***
    "Bapak ada meeting, bukan?" tanya Janus, sopir pribadi Mudakir.
    Yang ada di kepala Mudakir kini bukan lagi harapan besar yang harus ia capai dengan jalan lurus. Bukan lagi. Ia tahu ialah satu-satunya anggota dewan yang disukai rakyat. Ialah yang paling menentang kebijakan yang kurang pro-rakyat. Dan ia pulalah yang paling keras meneriakkan yel-yel anti-korupsi di antara segelintir anggota dewan yang memang sungguh-sungguh melakukan itu. Tanpa niat cari sensasi atau pencitraan.
    "Saya tidak enak badan. Kita pulang," balas Mudakir.
    Janus heran. Jarang atau tak pernah bos yang ia cintai ini membatalkan meeting penting dengan klien terkait perusahaan tambangnya. Klien yang memungkinkannya mendapatkan keuntungan besar pula. Lagi pula, Mudakir orang yang selalu tepat waktu dan tidak suka membatalkan janji.
    Namun, Janus tidak enak bila ia memaksakan diri bertanya. Ia hanya mengangguk dan mengikuti perintah. Sementara Mudakir, di kepalanya, telah lebih dulu berjejalan gagasan lain soal cita-cita, sehingga tidak sempat berpikir nama baiknya akan coreng gara-gara tidak menepati omongan.
    "Gara-gara dokter itu. Gara-gara kamu," ucap Mudakir pelan. Ia mengembus napas keras dan ingin marah. Cita-cita datang tidak disangka dan kini, di sini, itu datang lagi. Lama Mudakir tidak merasakan serunya membangun cita-cita di kepala, seperti waktu kecil. Ada gedung DPR, ada mimbar yang disediakan khusus dirinya, ada pasien-pasien yang bahagia karena tidak sakit gigi lagi.
    Bayangan itu kini tidak ada artinya, termasuk bayangam Nancy yang sejak SMP ia cita-citakan harus menjadi istrinya kelak. Rambut panjang hitam itu, bibir merah mungil itu, wajah tirus itu, dan kulit nyaris tanpa cacat. Kecantikan sempurna. Seakan Tuhan sengaja membuat makhluk secantik itu sebagai kado bagi pejuang cita-cita setangguh Mudakir.
    Bapak anggota dewan kita yang tercinta ini pun menyandarkan tubuh ke kursi.
    Mudakir lelah. Dokter itu teman pribadinya. Semalam ia datang ke ruangannya dan dipersilakan duduk. Mengobrol seperti biasa. Macam-macam topik seru, tetapi ketika tiba di titik itu, semuanya berubah.
    "Dia punya rencana. Cita-cita. Semua orang punya cita-cita," desis Mudakir; tanpa ia sadari, wajah ramah dan bersahajanya berubah menjadi wajah penuh dendam. Dokter itu teman kuliahnya. Mugeni namanya. Siapa tidak kenal Mugeni semasa muda? Play boy kelas kakap dan telah banyak anak gadis orang dibikin menangis.
    Jantung Mudakir berdegupan dan napasnya mulai sesak. Ya ampun, ia merasa tadi, saat Mugeni bicara soal penyakit parah di tubuhnya, yang ia bayangkan hanya Nancy. Tidak ada yang lain selain dia. Dan, tentu ada kemungkinan buruk selain itu: dua anak gadisnya tak kalah cantik dari ibu mereka.
    "Sudah tidak bisa disembuhkan, Bro," kata Mugeni datar.
    Mudakir tidak tahu yang ada di kepala dokter itu, tetapi ia yakin si dokter sahabat lamanya ini, tertawa terpingkal-pingkal dalam hati. Ia bayangkan batok kepala Mugeni berisi badut yang menari dan melompat sambil meniup terompet ulang tahun. Begitu pun isi dada Mugeni; jantung di sana bekerja lebih cepat dari biasa dan memompa darah dengan begitu keras akibat membayangkan sesuatu yang menjadi harga diri seorang lelaki: istri yang cantik.
    Mudakir tahu, pada saat itu, cita-cita sejati datang padanya. Barangkali inilah, cita- cita terakhir dalam hidupnya.
***
    Nancy kelihatannya tidak marah; ia tahu yang terjadi pada Mudakir itu takdir. Dan di dunia ini tidak bisa manusia melawan takdir, bahkan yang sepanjang hidupnya selalu dipenuhi perwujudan cita-cita macam suaminya.
    Mudakir memang berangkat dari nol, tetapi semua harapan tidak pernah gagal. Ia selalu bisa meraih pencapaian sesuai target, bahkan tidak sedikit yang jauh lebih baik dari harapan semula. Dan kini, sesuatu yang sama sekali tidak dipikirkan, bahkan oleh orang paling rajin olahraga macam Mudakir, justru mengalami kegagalan fatal. Mudakir tidak kuasa menahan malu dan entah perasaan apa lagi yang ia bawa, ketika penyakit berbahaya menyerangnya: impotensi.
    Cita-cita datang; istri dan anak-anak secantik bidadari harus terjaga bagaimanapun caranya.
    Mudakir, sebagai anggota dewan, paham tabiat manusia urban yang sering dengan sengaja membinatangkan diri. Baik di depan, busuk di belakang. Topeng-topeng dijual di mana-mana. Ia tahu. Sebab itulah, mengingat cara Mugeni menatapnya saat penyakit itu ketahuan, membuat Mudakir tidak enak makan dan tidur. Nancy dan kedua anaknya dalam bahaya. Tidak bisa tidak. Bahkan tidak hanya Mugeni saja yang perlu ia curigai bakal melakukan yang terburuk bagi sang istri. Semua lelaki tiba-tiba saja setan. Setan yang diam-diam mengendap-endap di belakang untuk kemudian mencuri miliknya yang berharga. Harta benda mungkin aman, tetapi keluarga? Mudakir tidak yakin.
    Sepulang dari ruangan Mugeni, Mudakir bermimpi buruk. Tugas sebagai anggota dewan terganggu. Timbul opini publik yang menyesatkan bahwa kini Mudakir tidak lagi seperti dulu, atau kini ia terbongkar kedoknya; ternyata ia sama dengan anggota dewan lain, yang berasal dari benih manusia, namun bermetamorfosis menjadi tikus berdasi. Kaum tikus laknat kurang ajar, tetapi bisa berkuasa dan tidak ada orang kecil berani menyentuh, bahkan meski orang kecil itu kekar dan bisa membuat mampus dengan hanya sekali tinju.
    Padahal orang tidak tahu, Mudakir drop akhir-akhir ini. Di kepalanya, satu cita-cita tidak sekadar seperti gumpalan permen karet yang bisa dilepeh ke selokan, melainkan terus berkembang seperti lumut di tempat basah: ia akan selalu tumbuh meski Mudakir coba menghabisinya.
***
    "Janus, saya ingin pulang sendiri," kata Mudakir malam itu.
    Sopir tidak membantah. Bos yang ia cintai, mungkin belakangan agak aneh, tetapi perintah adalah kewajiban yang harus dijalankan. Lagi pula, pulang sendiri bagi seorang anggota dewan sekaligus penceramah sekaligus dokter gigi tidak melanggar janji untuk selalu mengabdi kepada rakyat kecil, bukan?
    Maka Janus menumpang angkutan umum dan Mudakir menyetir mobilnya sendiri. Esok hari Mudakir sakit. Ia berkali-kali menyebut nama Nancy dan kedua anaknya. Para bidadari sedih dan gelisah. Kedua anak gadis tidak tahu papanya mengidap impotensi, tetapi mama mereka tahu.
    Nancy meyakini, Mudakir berubah akhir-akhir ini, agak pemalas dan ketus, adalah karena penyakit itu membunuh setengah kewibawaan, walau hanya di depan istri dan seorang sahabat lama. Nancy kira wajar. Ia menerima akibat dari takdir ini. Tapi ia salah. Ia tidak tahu soal cita-cita terakhir Mudakir. Semacam obsesi yang muncul di hari tua, meski usianya baru menginjak kepala empat. Sebuah obsesi yang membawa masalah besar di kehidupan mereka.
    Polisi dan para wartawan datang esoknya. Nancy tidak mengerti kenapa Mudakir dikait-kaitkan dengan kematian dokter kelamin bernama Mugeni. Ia kenal Mugeni dan pernah ketemu dua kali di pesta. Itu pun di tempat ramai dan mereka bersama pasangan masing-masing.
    Nancy makin tidak mengerti bagaimana mungkin suaminya diam saja ketika polisi menjelaskan kecurigaan mereka betapa pembunuhan itu dilakukan oleh Mudakir. Kalau saja Nancy tahu. Memang itu yang terjadi: Mudakir benar melakukannya. Cita-citanya melindungi kemolekan tubuh sang istri, jauh lebih unggul dibanding cita-cita Mugeni dalam merayu dan mendekati Nancy.
    Nancy sadar. Penyakit itulah yang membuat Mudakir cemas. Obrolan aneh soal cita-cita sempat bergaung. Dan, entahlah, perempuan cantik ini justru tidak cemas. Hari ini ia total tidak akan cemas. Sejauh ini, paling tidak, Mudakir tidak tahu betapa sejak lama ia dan Janus bermain api. Mugeni memang kaya, tetapi tidak pernah tahan lama. Dan Nancy memilih mana yang terbaik. [ ]

    Gempol, 28 Januari 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri