Skip to main content

[Cerpen]: "Kerajaan Semut di Kepala Mugeni" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 7 Februari 2016)



Pernah bagian dalam telingamu gatal? Kau tidak bisa menggaruk, tetapi juga tidak tahu bagaimana menghilangkan rasa gatalnya, sebab itu berpusat di jurang telinga. Tak terjangkau oleh batang cotton bud, apalagi jari kelingkingmu.
Ia tak tahu sejak kapan semut-semut nakal menginvasi kepalanya. Tahu-tahu pada suatu malam yang sialan, beberapa semut membangunkan Mugeni dari tidur. Tidak ada maksud membangunkan sebenarnya, tetapi semut-semut itu bicara bahasa manusia dan sepertinya membuat rencana besar guna menggulingkan sesosok manusia di hadapan mereka. Siapa tidak bangun oleh hal seaneh ini?
Kebetulan Mugeni-lah yang tidur di dekat semut-semut ini. Dan para semut nakal tidak sadar suara kecil mereka cukup membangunkan manusia dengan indera pendengar setajam Mugeni.

Tunggu dulu! Semut-semut menggulingkan manusia—yang dalam kasus ini adalah Mugeni? Lelaki ini heran dan tentunya bertanya-tanya; bagaimana mungkin ia, yang biasa membasmi semut-semut di toko, digulingkan—atau sebut saja dibasmi—oleh para semut?
Mugeni menelan ludah. Dia tidak mau mendadak bangun dan menunjuk beberapa ekor semut nakal itu dan bilang, "Hei, Bung, saya dengar loh!" Tidak. Itu justru akan mengacaukan banyak hal. Bisa saja malam ini semut-semut yang terancam karena rencana mereka ketahuan, malah mengerahkan ratusan atau ribuan pasukan semut guna menyerang Mugeni? Bisa benaran terbasmi dia.
Maka Mugeni tetap dalam posisi berbaring, seakan masih tidur nyenyak dan tidak ada bisik-bisik semut kurang ajar. Entah berapa menit, ia masih mendengar suara para semut, yang lama kelamaan menghilang. Suara-suara itu memang tidak ada lagi, tetapi si Mugeni merasa ada yang aneh pada kupingnya. Ia merasakan rasa gatal yang ganjil. Seperti seseorang mencolokkan cotton bud ke salah satu lubang kupingnya.
Mugeni melompat nyaris tanpa suara—masih cemas semut-semut nakal tadi sadar ia bangun oleh ulah kurang ajar mereka. Tetapi, semut-semut sudah tidak ada, dan kini Mugeni merasa bagian dalam telinganya gatal. Tentu saja ia tidak bisa menggaruk.
Pernah bagian dalam telingamu gatal? Kau tidak bisa menggaruk, tetapi tak tahu bagaimana menghilangkan gatalnya, sebab itu berpusat di jurang telinga. Tak terjangkau oleh batang cotton bud, apalagi jari kelingkingmu.
Itu terjadi tidak lain karena semut-semut tadi merayap masuk ke telinga Mugeni.
Lelaki ini tahu kejadian yang ia takutkan telah dimulai. Agaknya, rencana itu sudah berjalan sejak paling tidak tadi siang, ketika ia baru pulang dari rumah pacarnya, setelah mereka pergi ke dokter kandungan guna melakukan aborsi. Dokter itu agak sinting dan tidak pernah menikah dan tentu saja sudah sangat tua. Wajah dokter itu penuh kutil yang tidak akan bisa hilang kecuali kau parut.
Mugeni ingat betul, tadi pagi, waktu menemui dokter keji itu, pacarnya agak segan. Jadi atau tidak, ya, kata perempuan seksi itu. Kalau tidak jadi, janin sial ini bakal besar dan kita harus nikah dalam waktu dekat. Berhubung kamu, Mugeni kere, tidak mungkin menikahiku secara resmi dalam waktu empat tahun, aku harus menggugurkan anak ini.
Tapi, dasar perempuan—selalu ingin dianggap benar, tidak peduli walau jelas-jelas tindakan aborsi adalah dosa besar. Si pacar mengira, dengan menyodorkan Mugeni maju ke depan buat bicara kepada sang dokter berwajah sarat kutil, meminta menggugurkan janin di perutnya, maka pemegang bagian dosa terbesar adalah Mugeni dan si dokter.
"Kalian masing-masing dapat dosa empat puluh persen," kata si seksi ini. "Sisanya, dua puluh persen, buat aku. Nggak apa kok. Aku terima karena kita sama-sama senang waktu membikinnya, 'kan?"
Mugeni kira ini benar-benar membuatnya pusing. Pacar tidak beriman, dokter tidak beradab, serta tentu dirinya yang jobless, membuatnya terjebak di problem pelik macam ini, padahal kalau dilihat-lihat, dirinya lumayan ganteng. Orang ganteng mestinya bisa menikah dan tidak ada aborsi segala. Maka pikiran Mugeni sumpek dan lelah, sehingga ia mengantuk setiba di rumah. Dan tidur, setelah mengubur janin itu di sebuah kebun di belakang toko orangtuanya.
"Mungkin," pikirnya malam itu, "semut-semut itu merayap ke telingaku sejak tadi siang! Atau jangan-jangan, sejak sore ini?!"
Mugeni menghitung, kira-kira, butuh berapa lama waktu buat semut-semut nakal dalam mencapai target mereka. Maksudnya, lelaki jobless ini percaya kalau para semut ini datang dari janin yang siangnya ia kubur di belakang toko. Maka untuk mencapai kupingnya, butuh waktu tidak sedikit bagi semut-semut nakal. Mereka harus lebih dulu melewati barisan singkong, pepohonan pisang, lantas pintu belakang menuju dapur. Di dapur, semut-semut nakal bisa saja berhenti karena ada cobaan; gula dan berbagai jenis makanan. Biarpun pengangguran, rumah Mugeni penuh makanan. Bukan cuma yang dipajang di toko, melainkan juga meja makan. Maklum, lelaki ini belum pernah atau malah tidak ingin berpikir hidup berpisah dari orangtua.
Di sinilah anehnya. Kalau memang semut-semut itu datang dari janin, berapa lama waktu mencapai telinga Mugeni? Barangkali beberapa semut tidak tergoda oleh cobaan di dapur dan meja makan, sehingga terus saja merayap hingga sampai ke kamar Mugeni dan memanjat kasurnya untuk kemudian merayap masuk ke lubang kuping. Janin segar berbau amis, tentu mengundang para semut. Mugeni percaya itu.
"Kalau begitu, mungkin semut-semut yang sampai telingaku tidak sebanyak yang kupikir," duga Mugeni.
Ia membayangkan beberapa ekor semut, atau puluhan, bahkan ratusan, merayap ke sana dan membangun sebuah koloni demi rencana besar penggulingan terhadap sesosok manusia pembunuh janin. Mugeni berharap ia benar; bahwa gula dan berbagai makanan di dapur dan meja makan cukup ampuh menahan sebagian besar semut untuk tidak maju. Dengan demikian, beberapa ekor semut saja tidak mungkin membunuhnya.
Semoga.
***
Mugeni tidak lagi mendengar suara semut-semut itu memang, tetapi rasa gatal di bagian jurang telinganya, sama sekali belum hilang, malah makin parah. Setelah lima belas menit melompat dari tidurnya, ia mulai merasa getaran-getaran aneh dalam kepala. Ia merasa semut-semut itu memang tengah menjalankan rencana busuk itu. Kalau benar begitu kenyataannya, apa yang terjadi? Apa ia mati? Atau, ia berubah menjadi manusia semut raksasa?
Mugeni ngeri membayangkan betapa banyak semut-semut yang menginvasi kepala dia di malam celaka ini. Dapurnya baik-baik saja. Tidak ada satu semut pun! Padahal ia yakin, semut-semut laknat—tolong, jangan sebut mereka nakal, karena ini mulai tidak lucu—itu datang karena ada bau amis janin hancur. Semut-semut itu pasti berasal dari sana, dan tidak mungkin keluar dari tempat-tempat tersembunyi di kamar Mugeni.
Rumah ini selalu bersih dan bebas semut. Itu yang orang tahu. Mugeni cukup andal menorehkan kapur ajaib pembunuh semut dan memanfaatkan cairan antiserangga (tanpa membuka kemungkinan berbahaya bagi manusia) sehingga toko dan dapur aman-aman saja. Kini, mendadak beberapa semut bicara dalam bahasa manusia dan menyelinap masuk dan menimbulkan gatal yang teramat kurang ajar di telinganya. Gatal yang tidak bisa digaruk. Bayangkan betapa susahnya Mugeni. Ditambah kata-kata penggulingan— atau anggap pembasmian manusia—lelaki jobless ini mengira di kepalanya telah berdiri kerajaan semut dan tidak lama lagi ia pasti akan mati.
Mugeni menangis menyesali dirinya yang ceroboh. Kenapa pacaran sama wanita seksi? Kenapa tidak dengan perempuan lugu, berwajah penuh jerawat, gendut, sehingga ia tidak terangsang dan otomatis tidak pula terjadi kehamilan di luar nikah?
Kenapa, kalau memang ada kehamilan, nomor telepon dokter keji berwajah sarat kutil itu harus ia catat? Kalau saja tidak kenal temannya yang pemabuk, ia tidak tahu ada dokter itu, dan ia tidak kemasukan semut-semut laknat seperti ini? Tidak ada janin yang dikubur di belakang toko. Dengan demikian, malam ini ia bisa tidur nyenyak.
Alangkah banyak sederet daftar penyesalan Mugeni—yang semua berkaitan secara langsung ataupun tidak dengan adanya invasi ini. Semut-semut menggulingkan sesosok manusia jobless. Mugeni mengimajinasikan kabar kematiannya masuk berbagai media nasional dan menjadi trending topic. Arwahnya tidak tenang dan mencoba menuntut balas pada para semut. Sayangnya, semut-semut itu berjumlah kira-kira seribuan lebih, sehingga ia tidak tahu bagaimana memulai pembalasan dendamnya?
Belum apa-apa, berbagai pikiran jelek menginvasi Mugeni. Rasa gatal luar biasa di jurangnya kuping belum hilang, dan tidak akan pernah hilang, karena bahkan cotton bud pun tidak bisa menjangkau. Memang tidak, karena pada dasarnya semut-semut itu tidak lebih dari perasaan bersalah karena dulu-dulu Mugeni adalah anak mama. Hari ini, ia jadi pembunuh. Dan kita tidak tahu sampai kapan semut-semut mencoba membasminya. Barangkali, sampai kiamat. Semoga semut-semut nakal itu bersabar. [ ]
Gempol, 3 Februari 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

  1. Keren, Bang. Endingnya jleb. :)

    Salam
    Kang Acil

    ReplyDelete
  2. Haaa ada qiutenya yang pakai orang ganteng mestinya bisa dan tidak perlu ada aborsi segala.

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri