(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 24 Januari 2016)
1/ Kematian
Anita tidak mau sekolah. Ia pengen bolos, kalau
bisa selamanya. Aku tidak tahu cara membujuknya. Kujanjikan boneka baru, tidak
mau. Kujanjikan es krim kesukaan, juga tidak mau. Bahkan, janji memberikannya
hadiah terbaik, berupa seekor kucing Persia di hari ulang tahun ke delapan,
juga ditampik. Segala iming-iming yang—jika di situasi normal—membuat anak itu
melonjak girang, ditolak. Anita menangis makin keras, karena tak ada seorang
pun, termasuk aku, ayahnya, yang bisa mengembalikan nyawa seekor kucing.
Anakku, yang tiga bulan lagi berumur delapan tahun
itu, sangat mencintai kucing. Aku sendiri tidak suka, tapi juga tidak benci.
Dan, kalau bicara soal kucing, tidak bisa tidak selain mengiyakan semua yang
Anita tetapkan, sejak suatu hari setelah ia main ke rumah temannya dan melihat
beberapa kucing lucu, lalu tertarik dan ingin memiliki. Ketetapan itu adalah:
dia mau kucing berbulu putih, sehingga setiap saat bisa bermain dengan kucing
di mana pun tanpa kularang.
"Janji deh, Anita ranking terus!"
kata-kata itu akhirnya membuatku total menyerah. Ia bikin aturan sendiri dan
menepatinya seperti seorang pengucap janji sejati. Ia selalu membuatku bangga
di hari penerimaan rapor.
Aku tersenyum mengamati ia dan kucingnya setiap
hari, nyaris 24 jam berdua. Duduk berteman buku atau bermain-main di halaman.
Sepeninggal istriku, cuma Anita yang kupunya. Aku tidak mau mengecewakan anak
gadisku. Jadi, apa pun soal kucing, terserah dia sajalah. Toh, Anita telaten
dan rajin. Kucing itu selalu bersih dan kenyang. Berada di tangan Anita, kucing
itu terjamin segala-galanya.
Sampai akhirnya pagi ini tiba.
Kemarin kucing itu sempat hilang seharian. Baru
ditemukan menggerung ganjil di dapur malamnya. Betapa Anita menjerit tak keruan
mendapati kedua bola mata kucing itu melotot. Seperti sesuatu yang gaib menekan
kepala mungilnya sehingga segala yang terpendam di balik tengkorak itu terpaksa
harus keluar.
Tapi, tentu saja, mata kucing itu di sana. Tidak
meloncat. Maksudku, sesuatu yang gaib itu, entah apa, kubayangkan benar-benar
menekan seluruh bagian tengkorak hewan itu sehingga ia berjalan sempoyongan,
dan pada akhirnya tidak bisa berdiri sama sekali. Anita menangis dan
menarik-narik lengan bajuku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Tak ada
dokter hewan di dekat-dekat sini. Aku sendiri juga tak tahu, apa yang terjadi
pada si Putih?
Besoknya—atau pagi ini—si Putih ditemukan mati di
keranjang tidurnya. Kedua bola matanya meletus dan wajah kakunya basah oleh
nanah. Tak tahu bagaimana itu terjadi dan apa yang membuatnya begitu. Anita
menjerit-jerit dan pingsan. Aku bergidik melihat kondisi si kucing—sampai lupa
betapa anakku tak sadarkan diri dan harusnya aku lebih mencemaskannya. Aku
terlalu shock.
2/ Kejayaan
"Kamar mandi nggak dikuras, Pa?"
Anita tahu-tahu datang mengagetkanku Minggu pagi
itu. Seperti biasa, di peluknya, si Putih mengeong-ngeong manja. Baru diberi
makan, katanya. Tetapi belum sempat dia mandikan, sebab air di bak kamar mandi
kotor.
"Kotor lagi?"
"Tikus! Huh, kenapa sih, rumah kita
banyak tikusnya, Pa?"
Aku bangkit, menutup laptop, dan sembari
mengiringi langkah Anita dan si Putih ke belakang—kucing itu nyaman di
gendongan anakku—kujawab saja ini wajar. Rumah kami 'kan dekat dengan sawah.
Anak itu bukannya puas, malah ngedumel dan usul agar suatu saat kami
pindah rumah. Sebab, walau si Putih rajin menjaga sehingga tikus-tikus nakal
mulai jarang datang, perut kucing itu juga tidak selebar perut buaya.
Ya, si Putih lumayan sering membantu dalam urusan
ini: menangkap dan melahap habis tikus yang masuk melalui celah kecil di pintu
dapur, atau pipa-pipa saluran air dari talang rumah. Entah dari mana saja
tikus-tikus masuk, tetapi berkat kucing itu, mereka mulai berkurang dan hanya
datang sekali seminggu. Itu pun tak tentu. Kadang malah dalam sebulan tak ada
satu ekor pun masuk.
Si Putih memang hebat dan tangkas, walau tubuhnya
lumayan berisi—kalau tidak bisa disebut gendut. Anita yang menggendong setiap
hari, bahkan tidak sadar bahwa berat kucing itu bertambah dan betambah sejak
setahun lalu kami membelinya di pet shop waktu perjalanan ke luar kota.
Ketika kubilang, "Wah, si Putih perlu diet, nih!" ia malah ngakak
dan heran. Padahal, lumayan menguras keringat menggendong si Putih. Seperti
membawa seorang bayi kelebihan berat badan.
Kata Anita, mungkin karena makan banyak. Ia tidak
pernah telat memberi makan kucingnya. Belum lagi bila ada satu-dua tikus
menyatroni dapur kami pada suatu malam, si Putih tak segan menangkap dan
menghabisi keduanya hanya dalam hitungan dua jam. Benar-benar bisa diandalkan.
Di sekolah, kepadaku Anita mengaku, membuat iri teman dekatnya yang memelihara
kucing, dengan cerita-cerita "heroik" si Putih hingga rumah kami
mulai berkurang tikusnya.
"Kucingnya Leli cemen, Pa. Tapi dia
bilang, bukan cuma kucingnya saja, tapi juga semua kucing di kota ini,
rata-rata gak berani lawan tikus. Palingan malah diajak main hom pim
pa," kata Anita mengikik geli.
Kami tertawa semalam suntuk setelah ia menunjukkan
rekaman video kucing milik Leli, yang memang benar-benar main hom pim pa dengan
seekor tikus. Kubayangkan, kucing itu barangkali hendak menyerang, tapi tidak
yakin sanggup memenangkan duel melawan musuh bebuyutannya. Sehingga, mau tidak
mau, kelihatannya mereka sedang main hom pim pa.
Hari itu akhirnya kutunda aktivitas menulis sampai
pukul sepuluh demi menguras bak mandi, menyikat, menyabuni, dan memberinya
antiseptik, sampai bersih dari segala jenis kuman yang mungkin ditimbulkan oleh
seekor tikus. Anita biasa memandikan si Putih di sini, dengan bak plastik
khusus dan selang serta sabun yang ia beli sendiri. Ia lakukan itu setelah
temannya yang memelihara kucing mengajarinya. Biar hemat karena tidak harus
sering-sering membawanya ke salon.
Saat bekerja, kudengar kekonyolan anakku yang
berbisik serius pada si Putih. Ke sana, kamu tahu, ya? Yah, seperti biasa.
Jangan kotorin lantai lho. Tahu? Dan lain-lain. Seperti rapat darurat
karena si Putih barusan gagal menangkap tikus yang masuk bak mandi dan
berenang-renang, lantas kabur lewat pipa saluran pembuangan.
Sepanjang sisa hari, Anita bermain sendiri di
kamar, membaca komik atau melukis. Si Putih dilepas ke sekitar rumah untuk
suatu misi. Bukan hal istimewa, sebab memang begitulah biasanya kucing itu
berfungsi—kalau tidak bisa disebut sekadar main-main oleh anakku.
3/ Ambang Kehancuran
Sebenarnya saya hampir mati—atau jangan-jangan
memang sudah saatnya mati? Ah, sebagai seekor tikus, selama ini saya tidak
terlalu tahu dan peduli apa yang manusia lakukan dan rencanakan pada kami, para
tikus. Yang penting saya kenyang dan pulang. Itu saja. Hidup sebagai tikus
memang enak. Bebas makan dan kawin. Saya kira manusia tidak akan percaya,
karena mereka kelihatannya jijik kepada kami. Mereka hanya akan memandang kami
sebagai makhluk tak berguna di bumi, yang kotor, yang menjijikkan, mengandung
banyak penyakit, dan patut dibasmi.
Saya sadar saya mungkin menjijikkan dan itu bukan
masalah buat saya. Dengar ini: sejijik-jijiknya manusia pada para tikus, hal
yang paling saya takutkan justru kekejaman yang terjadi oleh manusia. Dua
minggu lalu; tujuh anggota perkumpulan saya mati kaku di lubang pembuangan.
Seekor kucing, yang jadi musuh kami beberapa bulan ini—sejak saya bayi,
sepertinya kucing itu sudah ada—tidak pernah mau menyentuh bangkai para
rekan. Berarti jelas, bukan dia pelakunya. Dia memang menyebalkan dan pembunuh,
tapi melakukannya seketika, di satu tempat, pada waktu yang sama; bukan
menjebak, melainkan mengejar. Sama sekali bukan ciri manusia.
Kalau manusia? Persis sebelum tujuh tikus tadi
ditemukan mati (semoga mereka tenang di sisi-Nya), seorang manusia
membuang-buang makanan di sekitar sawah dan kebun belakang rumah mereka. Saya
tahu orang itu biasa pergi ke sawah. Nenek-nenek bermuka seram yang saya kira
kalau sudah meninggal bakal jadi hantu penunggu padi. Saya tahu ia juga
membenci para tikus, tetapi anehnya malah membuang-buang sesuatu yang kami
cari.
Beberapa tikus berebut makan; saya tidak kebagian
karena terlalu asyik mengamati tingkah laku nenek-nenek petani tadi. Ia pulang
ke rumah dan menutup pintu dan tidur dengan nyenyak. Ada apa ini? Apa yang ia
rencanakan?
Besoknya teman-teman mati. Oh, saya tahu. Ini
pasti karena makanan itu. Tapi saya tidak tahu dan tidak bisa membedakan apakah
makanan tertentu mengandung tulah atau kutukan serupa atau tidak, sebab saya
lihat makanan yang ditebar si petani biasa saja—bahkan cenderung tidak terlihat
seperti makanan. Saya juga tidak tahu apakah bila kita memakan makanan yang
ditabur di permukaan tanah bisa mati keesokan harinya atau tidak? Dan saya
lebih tidak tahu lagi apakah setiap makanan di piring menjamin keselamatan para
tikus atau tidak?
Dari dulu, kami bebas makan apa saja dan di mana
saja. Dan kami toh tetap hidup. Jadi, saya tidak tahu yang membikin mereka mati
apa. Saya tidak yakin soal makanan yang ditebar tadi; barangkali—bisa saja,
'kan?—si petani taubat dan mulai menyayangi tikus sebab kami juga makhluk
ciptaan Tuhan. Dan ia hanya memberi kami semacam vitamin, namun karena memang
sudah tadkirnya ketujuh rekan saya mati, ya matilah mereka.
Saya hidup tenang selama dua minggu. Makan seperti
biasa di sawah atau sesekali tempat sampah dan sesekali rumah besar yang dihuni
kucing putih itu. Suatu pagi saya pusing dan badan saya serasa dibakar. Apa
ini? Saya merasa saya hampir mati—atau jangan-jangan memang sudah saatnya mati?
Seperti ada dorongan masuk ke bak mandi dan merendam diri selama mungkin,
tetapi saya tak sudi mati di perut kucing busuk itu. Saya kabur dan sembunyi,
meski akhirnya tertangkap juga.
Waktu itu ingin saya bilang, "He, Kucing, aku
keracunan!"
Tapi kucing itu terlalu buas. Dasar tukang makan!
Tunggulah saatmu, Bung!
Gempol, 18 Nov '15
Cerita ini terinspirasi kematian seekor kucing di sebuah pabrik dekat rumah saya. Kucing malang itu keracunan hingga kedua bola matanya melotot, sebelum akhirnya mati. Saya sendiri pecinta kucing. Maka saya berusaha membuat agar cerita ini tidak terlalu menunjukkan kesakitan sang kucing. Namun tentu saja, usaha semacam itu bisa berhasil dan bisa pula gagal di mata pembaca yang berbeda-beda. Yang penting, semoga cerita ini menghibur.
Edyan... Joss...
ReplyDeletekeren Mas
ReplyDeleteWaduh...Mas Ken nih...selalu mantap. Jadi pengen lihat tikus hom pim pa sama kucing. heee... btw-jadi keinget kucing saya dulu "Si Toni" karena saya juga penyuka kucing Mas. :)
ReplyDeletemas kennnnnnn :)
ReplyDelete